NASKAH DRAMA PANGERAN GEUSAN ULUN PRABU SUMEDANG LARANG
Abdul_koni (Topeng kesepian) |
BABAK 1
Adegan 1_Di taman Kaputren Cirebon / Malam hari / Kilat dan gunturPenjaga 1
(mengarahkan tombak) Siapa itu ?
Penjaga 2
Damaikan hatimu, kawan. Seperti kau sendiri, aku pun hamba Sang Prabu Girilaya. Melangkahi malam dari ujung ke ujung sebagai penjaga permata negara, Harisbaya. Restu dari segala wanita jelita.
Penjaga 1
Malam ini adalah malam. Dimana jari_jari angin yang tajam dan dingin menyentuh_nyentuh tengkuk. Sedang bintang_bintang menutup kelopak mata tak sudi memandang bumi, selagi orang_orang jahat menemukan kesempatan yang baik untuk melampiaskan keangkaraan yang mengental dalam darah hitam mereka, dan menjadikan dunia ini sebagai tempat yang lebih cocok bagi beragam duka dan derita.
Penjaga 2
Bukanlah malam yang gelap kelam, cumalah khayal seorang penakut yang menggelapkannya, lalu mengisinya dengan makhluk_makhluk mengerikan, yang sesungguhnya bertubuhkan bayang_bayang belaka.
Penjaga 1
Hatiku terbuat dari gumpal yang sama keras dengan hati yang kau pendam di dadamu, tapi malam_malam itu seolah_olah suatu rahasia yang akan terjadi. Kudengar burung_burung malam berulang_ulang berteriak bagai kesakitan, dengan tiap jeritannya malam bertambah berat, bertambah dalam dan sunyi. Danau_danau berbisik bagai beribu_ribu lidah, tentang sesuatu yang mengancam tapi dalam suatu bahasa yang tak dimengerti. Wahai ! rupanya ada suatu yang salah dengan angin, dengan guntur, dengan malam ini.
Penjaga 2
Kalau ada suatu yang salah di dunia ini, tiadalah lain kecuali dengan hatimu sendiri. Marilah kita berkeliling hingga bintang penghabisan kembali ke tempat peraduannya. Marilah kita cari kawan_kawan. Sementara itu, kau hunus senjata untuk menghadapi kekuatanmu sendiri.
(Kemudian Penjaga_Penjaga Pergi)
Adegan 2
Datang Pangeran Geusan Ulun, termenung_menung, diikuti oleh Uwak Batara Lengser, yang gelisah dan mencemaskannya.
Lengser
Gusti..................
Geusan Ulun
(kepada dirinya). Rekah bibirnya yang merah muda, adalah mawar yang bermusim abadi. Dialah penjelmaan Pohaci musim bunga, turun ke bumi menyebar warna dan wangi, dan seluruh gairahku ranum pada kedua belah dadanya.
Lengser
Gusti, Gusti. Langit yang amarah memperlihatkan muka hitamnya. sedang awan menjilat_jilat lidah api ke muka bumi. Guntur bergelegar mengguncang_guncang cakrawala. Mengusir bintang_bintang ke tempat_tempat bersembunyi. Mengapa pula Gusti masih mengembara ? Mengapa Gusti memasuki taman ini dimana maut senantiasa mengancam pada barang siapa yang masuk, siang maupun malam. Gusti. Gusti. Kalau Gusti Sang Geusan Ulun, dengarlah kata_kata Mang Lengser yang cemas.
Geusan Ulun
(kepada dirinya) Siapakah Geusan Ulun, siapakah dia ? Geusan Ulun bukanlah aku. Ia sudah tiada, lenyap bagai berbagai mimpi kecemasannya. Ketika dua bintang dengan kerling jelita mengisyaratkan padaku. Betapa sebenarnya hidupku ini.
Lengser
Demi kepala mang Lengser yang kosong. Gusti bersabda kepada malam karena tak ada sepatah kata yang masuk kedalam akal Mang Lengser.
Geusan Ulun
(kepada dirinya sendiri)
Geusan Ulun lama sudah tiada. Berangkat entah kemana. Di sini hanya bayang_bayangnya saja. Ataukah ini Geusan Ulun yang sebenarnya ? Terbangun dari pelukan tangan kasih untuk mengenal diri yang sesungguhnya ? Ataukah ada dua Geusan Ulun di bumi, ataukah ada sepuluh, seratus, atau beribu ? Memperebutkan sebuah hati ? Oh..., Berikanlah hatiku ini pada Geusan Ulun yang sanggup menghadapi segala_galanya.
Lengser
Gusti. Gusti. Kalau bukan Mang Lengser yang linglung, kita dekat sekali ke Kaputren. Tempat putri Harisbaya semayam. Kalau saja penjaga, seorang penjaga melihat kita, kita cuma akan keluar dari sini sebagai mayat belaka, Gusti. Gusti. Mengapa Gusti menentang bahaya dalam taman Prabu Girilaya ?
Geusan Ulun
Janganlah bertanya mengapa dan bagaimana ? Rupanya orang menjadi dungu ketika dia mengerti arti bahasa yang diucapkan oleh kerlingan mata.
Lengser
Gusti ! Penjaga...... !!!
(Keduanya mencabut keris dan bergerak untuk mempertahankan diri).
Adegan_3
Empat orang panakawan Geusan Ulun, yaitu; Nangganan, Sang Hyang Hawu, Kondang Hapa, dan Terongpeot datang dengan keris terhunus. Setelah mereka masuk dan saling mengenal satu sama lain mereka menyarungkan senjata lagi. Kecuali Batara Lengser dan Sang Hyang Terongpeot.
Kondang Hapa
Telah kami susuri seluruh lereng dan bukit di selutuh kota Cirebon Raya. Telah kami susupi setiap bayang yang telah dijatuhkan gumpalan mega. Karena Gusti lenyap dimata kami, dan bahaya membayang di mata kami.
Nangganan
Izinkan kami menjemput Gusti. Pulang segera ke Pesanggrahan, atau izinkan kami menjaga Gusti, hidup atau mati disisi Tuan.
Geusan Ulun
(kepada dirinya) Malam, Rumah, segala yang menyenangkan cumalah bagi kanak_kanak atau orang yang sederhana, yang menerima dunia seperti adanya, yang menerima hidup dengan kedua tangan. Pulanglah Mamanda lebih dulu......
Kondang Hapa
Tanpa Gusti tak kan pulang. Gustilah permata yang dititipkan oleh rakyat Sumedang Larang. Gustilah azimat Ibunda Suri Pucuk Umun di Sumedang Larang menantikan Gusti di Kutamaya.
Terong Peot
Marilah segera pulang. Atau sedikitnya keluar dari gerahan maut ini, karena sebagaimana Gusti mengetahui Pamanda Girilaya melarang. mengancam dengan hukuman mati, barang siapa masuk ke dalam taman, mendekati Tuan Putri. Marilah pulang bersama kami sebelum para penjaga mendengar atau melihat bayang_bayang kita jatuh di tanah terlarang.
Geusan Ulun
(setelah halilintar berbunyi). Rupanya sepasukan Gurindam dan sepasukan siluman sedang berjuang di padang_padang angkasa gemuruh. Langkah_langkah besi, angin bagai ringkik kuda, berdentum_dentum bunyi senjata beradu, berkilat_kilat mata pedang dan lembing. O, adakah perjuangan yang lebih hebat daripada peperangan yang terpendam di medan_medan dalam kalbu manusia ?
Nangganan
Ada sesuatu yang salah dengan Tuanku. Gusti sudah berhari_hari membisu. Awan menjatuhkan bayang menyuramkan muka Gusti. Sudah berhari_hari membisu. Kamilah yang saling bertanya_tanya karena cemas meramal malapetaka. Dan kini, Gusti pertaruhkan jiwa Sumedang Larang menantang maut di taman terlarang.
Kondang Hapa
Bukalah hati Tuanku kepada kami. Bagilah segala duka melalui kata_kata. Demi hidup mati cumalah bagi Gusti semata.
Terong Peot
Sesungguhnyalah, marilah kita dengar supaya pertimbangkan. Supaya kami carikan jalan keluar dari segala persoalan yang menyusahkan hati Gusti. Supaya kami mencari jalan keluar dari Taman ini dan dari ancaman hukuman mati.
Kondang Hapa
Berilah kami sepatah kata walaupun Gusti meminta nyawa sebagai ganti. Gusti lah hidup_mati Sumedang Larang. Tiada lah harga kami disisi Gusti.
Geusan Ulun
Lepaskan hamba memandang sekali lagi. wajah jelita Putri Harisbaya. Dan, besok marilah kita pulang ke Kutamaya.
Nangganan
Demi segala penghuni angkasa. Tak ada_lah halilintar lebih mengejutkan daripada sabda Gusti Prabu.
Sang Hyang Hawu
Marilah kita satukan usul dalam kata_kata, lalu kita ajukan pada sang Prabu.
Nangganan
Sudah kutemukan jawab yang baik bagi Gusti Prabu dan Sumedang Larang. Kita akan pulang ke Kutamaya. Di sana memilih sepasang dara jelita sebagai penglipur hati Sang Prabu dalam menghapus kenangan.
Terong Peot
Biarlah segera kami dengar usulmu, Sang Hyang Hawu. Ingatlah, kita berada dalam taman malapetaka. Katakanlah sebelum penjaga melihat kita, supaya kita cepat_cepat keluar tanpa terluka.
Sang Hyang Hawu
Putri Harisbaya hidup sebagai tawanan Putri Pajang yang dijadikan bunga istana Mataram. Sayang, Putri dipersembahkan kepada Raja Cirebon, Girilaya. Sebagai tanda persembahan agar Girilaya membantu Mataram dalam menghadapi Banten, sebagai burung jelita yang terkurung dalam sangkar emas, betapa kita saksikan dukanya Sang Putri. Bagaimana kalau kita mencari Sang Putri, lalu kita melarikannya ke Sumedang Larang dan menyembunyikannya dalam puri dalam kutamaya.
Nangganan
Demi segala siluman yang menyiksa malam ini. Kata_kata apalah kau ucapkan Sang Hyang Hawu ? Mengapa pula kau racuni hati Sang Prabu ? Kondang Hapa, segeralah katakan kepada kami, bagaimana pikiranmu dalam menentukan nasib kita, nasib rakyat Sumedang Larang dan Kutamaya. Biarlah segera Sang Hyang Hawu mengetahui, bahwa lidahnya terpaksa melawan tiga lidah kita.
Kondang Hapa
Ketahuilah Nangganan, bahwa usulku adalah gema usul Sang Hyang Hawu. Bahwa kata_kataku adalah suara Sang Hyang Hawu. Kami punya dua lidah, tapi kata cuma satu. Lebih baik kita melariakan Sri Ratu, karena hal itu akan lebih baik bagi Sang Prabu. Yang berarti: lebih baik bagi Sumedang Larang, demikianlah pikirku.
Nangganan
Demi segala pujangga dan pohaci. Demi segala isi khayangan, Rupanya dunia sudah begini tua. Kalau tidak, tentu penghuninya. Akan lebih merelakan seorang Putri, daripada seluruh rakyat yang tak berdosa, yang tak tahu apa_apa di Sumedang Larang ! Kalau kita larikan Putri ke Sumedang Larang pasti itu berarti perang ! Perang ! Perang ! Berarti pembunuhan yang besar_besaran, dan pembakaran, perampokan, kelaparan dan penyakit ! Sungguhkah kalian rela, Kondang Hapa, Sang Hyang Hawu ? Mengorbankan beribu_ribu rakyat Kutamaya dan Sumedang larang mungkin menjadi abu demi seorang putri jelita.
Sang Hyang Hawu
Janganlah kau katakan demi Kutamaya. Jangan pula kau katakan demi Harisbaya. Katakanlah demi Sang Hyang Tunggal yang mengerahkan kemerdekaan bagi tiap manusia.
Nangganan
O, pemimpi, pemimpi yang tak pernah terjaga ! Engkau berkata kepada langit dan bukan kepada kami. Engkau berbicara pada para Pujangga dan para Pohaci, bukan pada manusia. Apa kau kira lidah manusia cukup suci untuk membentuk kata_kata merdu bagi telinga mereka yang sakit ? Berpikirlah seperti manusia, berkatalah pada manusia, isi khayangan tak akan mendengarkan katamu. Mereka cuma akan merasa terganggu dan akan menghukum kita dengan perang! Perang! Perang !
Sang Hyang Hawu
Andaikan anakmu seperti Tuan Putri. Dikurung di sini didalam puri sebagai tawanan dan mainan Girilaya. Akan kau tantang isi dunia !
Terong Peot
Demi siluman yang mengacaukan hati orang. Ingatlah, kita berada dalam taman terlarang. Kita sedang berunding dan bukan bertengkar. Cepat putuskan dan cepatlah keluar !
Kondang Hapa
Kata penghabisan adalah milik Sang Prabu. Mengapakah kita mesti bersaing dan bersilang lidah kalau tidak menyatulah hati ? Marilah segalanya kita serahkan kepada beliau. Lalu kita menanti segala perintahnya.
(Bersama)
Gusti, pada Gustilah terletak kata putus. Katakanlah apa yang harus kami perbuat bagi Gusti dan rakyat Sumedang Larang.
Geusan Ulun
(pada dirinya). Kalau kau seorang raja, jadilah raja terhadap hatimu, terhadap dirimu sendiri. Ketika Mamanda berdebat satu sama lain, Geusan Ulun berdebat dengan dirinya sendiri untuk sebuah kata putus yang dapat digantungi oleh nasib Sumedang Larang, mengurungkan maksudnya menemui Harisbaya.
Terong Peot dan Nangganan
Sesungguhnyalah Gusti dilahirkan sebagai seorang raja tidak sia_sialah pujaan rakyat Sumedang Larang yang kini menanti Gusti di Kutamaya. Akan Paman persembahkan sepasang dara jelita. (Nangganan). Akan Paman persembahkan kuda perkasa (Terong Peot). Sekarang marilah kita berlalu sebelum maut meminta nyawa kita, yang selama ini kita pertaruhkan dengan sia_sia di taman malapetaka.
Geusan Ulun
Marilah kita ke pasanggrahan, untuk bertapa, berlupa, berlupa.....
Mereka mulai bergerak..
Adegan _4
Mereka menghunus senjata masing_masing. Mereka mundur dan bersembunyi di belakang semak_semak., bunga_bungaan, dan tiang_tiang besar di bagian belakang panggung. Datang Harisbaya bertelekung, diteruskan oleh Emban yang juga bertelukung, hingga wajah mereka tidak terlihat.
Emban
Bintang_bintang malam akan ketakutan bahkan oleh bayang_bayangnya sendiri dalam malam sebuas ini. Mereka akan tinggal dalam gua_gua masing_masing dengan perut hampa yang cuma berisi laparnya sendiri. Malam begini seram dan menakutkan. Sedang, Gusti manjaan isi negara, mengapa pula mengembarainya? Sedang malam_malam berbulan purnama sering sekali Gusti lewatkan dalam istana.
Harisbaya
Pulanglah, biarkan aku bebas malam ini, walau dalam lingkungan dalam pagar taman yang juga dipagari oleh berpucuk lembing di tangan para pahlawan.
Emban
Kemerdekaan bukan di sini, Ratuku. Kebebasan Gusti tinggalkan dalam Istana, dengan berratus dayang_dayang yang patuh dengan kursi beludru dan katil kencana dengan kekayaan berjuta dan ratnamutu dengan perhiasan emas, intan suasa. Maha besar ada dalam istana tempat Gusti memerintahkan seorang raja kuasa yang menyerah pada tusuk pandang mata Gusti. Marilah pulang dan bermanja_manja yang Gusti tinggalkan sejak pagi.
Harisbaya
Alangkah sederhananya dunia bagi orang semacam kau bagi siapa hidup untuk makan, lalu tidur untuk kemudian bangun kembali, dan kembali mencari makan. Demi para Pohaci di Khayangan, lebih baik aku berkawankan batu daripada orang yang tidak pernah mengerti bahwa dunia lebih luas dari lingkaran piring.
Emban
Gusti, ampunilah kelancangan bibi. Bibi hanya mengajak pulang, karena selama ini tak pernah Gusti keluar malam selarut ini, apalagi dalam cuaca tersiksa saat para siluman keluar mengembara. Adakah yang mentusahkan Gusti ? Katakanlah kepada bibi, bibilah pengganti ibunda Sari yang merindukan Gusti di negeri Pajang.
Harisbaya
O, siapakah di dunia ini yang sanggup menahan kekejaman nasib dan menderita cemoohnya sepanjang waktu ? Aku dilahirkan sebagai putri seorang raja dari negara besar maha raja, suatu kelahiran mulya, yang bahkan dipimpin oleh putri_putri bangsawan tertinggi ! Tapi semenjak aku ingat, aku hidup seperti tawanan belaka. Terkurung dalam benteng negeri Mataram. Waktu aku mulai tumbuh, seperti kuncup menuju bunga. Mereka memanjakan daku; kiranya seperti pada seekor Nuri. Burung jelita yang dapat ditukar dibeli sebagai tanda mata dan tanda persahabatan.
Siapakah yang tahan untuk selalu menjadi buah lelucon. Walaupun penghuni khayangan yang berkelakar ? Barangkali demikian sudah kehendak Sang Hyang Tunggal. Aku cuma dapat dinasibkan untuk berduka, untuk menangis dalam dunia dengan tertawa. Pernah aku melupakan segala kenangan ini dalam kemanjaan, kemewahan dan kekuasaan seorang ratu.
Emban
Marilah kita lupakan saja, Gusti. Marilah kita terima hidup dengan segala kebaikannya, kemewahan dan kesenangannya. Karena tak ada orang yang sanggup memutuskan mental nasib yang dijalin serta diikatkan pada kita oleh isi khayangan.
Harisbaya
Aku tak akan dapat melupakan kembali. Selamat tinggal "tidur nyenyak", selamat tinggal tempat palsu. aku cuma sebuah tanda mata seekor burung dara dalam sangkar kencana.
Emban
Mengapa Gusti berduka kembalu, setelah selama ini menerima segalanya dengan rela ? Mengapa dirobek lagi luka lama yang sudah berangsur melebur didalam waktu.
Harisbaya
Bukanlah kusayat luka lama, tetapi dua pandang tajam menusuk hatiku dalam_dalam. Dari bawah alis yang teduh sejuk. Dan aku untuk pertama kali menunduk ke bumi menemukan nasibku yang malang pada debu kaki Girilaya, suami yang memiliki daku sebagai tanda perdamaian dua negara.
Emban
Siapakah dia yang menghina Tuan Putri dan menyebabkan Gusti bersedih seperti ini ? Celakalah hendaknya dia !
Harisbaya
O, begitu lancang mulutmu ! Dia tidaklah berdusta. Cumalah hatiku yang tak bermalu memfitnah dia.
Emban
Siapakah dia, dari hidup siapa terbuat impian berpuluh putri. Dari nama siapa terjalin berpuluh lagu yang dinyanyikan gadis_gadis kepada malam ke dalam sunyi hati sendiri.
Harisbaya
Seorang muda belia, dari hidup siapa terbuat impian berpuluh putri dari nama siapa.
Emban
Katakanlah, bisikanlah kepada bibi andai tuan takut malam akan mendengarnya.
Harisbaya
Seorang gagah perkasa, seorang muda belia penghuni khayal gadis_gadis pujaan rakyat jelata, permata ibunda suri, dari puri Kutamaya. Prabu Sumedang Larang, Geusan Ulun Kartamala.
Adegan_5
Geusan Ulun keluar dari tempat persembunyiannya, para panakawan diikuti lengser dengan kebingungan mengikuti dari belakang. Harisbaya dan Emban terkejut. Berdiri dan mundur. Telekung Harisbaya terbuka memperlihatkan wajahnya. Dari jauh seruan para penjaga, suara senjata, tameng yang tertanggal...
Geusan Ulun
Kalau kau raja, jadilah raja terhadap dirimu, terhadap dunia ini.
Harisbaya
Siapakah kau ? Hai satria yang malang ! mengapa menyia_nyiakan usia hijau di taman terlarang ? Dengan jeritan para Pujangga kau datang menghabisi harimu di mata lembing dan pedang.
Geusan Ulun
Hamba, Geusan Ulun. Putra Sumedang Larang yang memutuskan untuk menjadi raja terhadap nasibnya, terhadap dunia.
BABAK II
Adegan _1
(Dalam sebuah taman di samping Istana Kutamaya, Sumedang Larang. Pepohonan dan sebuah tempat duduk. Kawung Anten duduk. Sancawiru berdiri tidak beberapa jauh daripadanya dengan bunga di tangannya).
Sancawiru
Langit mengerlipkan bintang pilihan pada kedua malam, bumi merekahkan kuntum mawar, pada bibirmu adalah para Pohaci lupa memberikan padamu sebuah hati, sebuah jantung yang mendenyutkan hangat kasih. Tiga musim telah kau rangkai ratu aneka bunga, kupetik dari tangkai duri di rimba raya namun semua layu semata di tanganku. Tiada hujan tangis akan menghidupkannya kembali. Kali ini untuk terakhir sekali kubawa jalinan mawar dan melati akan kupersembahkan padamu untuk diterima atau dicampakkan di depan mataku sekali.
(Sancawiru bergerak untuk memberikan bunga, tapi Kawung Anten malu_malu)
Adegan_2
(Datang Layungsari. Sancawiru berusaha menyembunyikan bunga sambil menjauh dari Kawung Anten).
Layungsari
Tak pernah sekuntum bunga mekar di padang dunia tanpa disertai kuntum kasih dalam hati manusia. Demikianlah kudengar nyanyian burung pergi tentang kebenaran hidup, tentang kemolekan hari.
Sancawiru
Burung_burung kecil, burung_burung yang bahagia selalu menemukan nada dalam kelopak bunga dan setelah mereguk sedalam_dalamnya tentu mereka berkata manis tentang dunia.
Layungsari
Adakah dunia yang lebih cantik daripada yang ini, adikku ? Tunjukkan kiranya padaku, di bawah langit mana ?
Sancawiru
Ada dunia yang lebih buruk dan itu terdapat dalam hatiku sendiri.
Layungsari
Demi Sunan Ambu ! Demi isi khayangan. Semoga cuma lidahmu saja yang mengucap kata_kata sepahit itu !
Sancawiru
Dan kalaupun hamba bicara dari hatiku tak ada telinga yang mau mendengar, tak ada rasa yang akan tergugah.
Layungsari
O, Tidak, Sancawiru, Adikku ! hatiku telah mendengar duka yang tak kau ucapkan dalam kata. Apakah yang telah terjadi diantara kalian berdua ?
(Memandang ke arah Kawung Anten, lalu bergerak dan duduk disampingnya).
Kawung Anten
Tak ada yang terjadi, Kakanda. Tak ada......
Sancawiru
Tak ada yang terjadi. Sesungguhnyalah, tak ada. Kecuali bunga_bunga yang buruk dan hina ini akan layu di tanganku untuk selama_lamanya.
Kawung Anten
O, Tidaklah sekali_kali bunga_bunga itu buruk dan hina. Tak pernah hamba lihat bunga yang lebih indah daripadanya.
Layungsari
Alangkah indahnya, mawar dan melati. Lambang gairah kasih dan kesucian hati.
(Mengambil bunga itu darri tangan Sanca Wiru).
Marilah kuhiaskan dirambutmu, Anten. Ingatlah kuntum ini hanya kembang semusim saja. Mengapa ragu_ragu menerimanya ? Kalau dalam mimpimu sebenarnya engkau telah berulang_ulang menekannya ke hati, menyuntingkannya dalam jalinan rambutmu....
Kawung Anten
Kakanda, ah.. Kakanda..........
(Layungsari berjalan hendak menghiaskan bunga itu di rambut Kawung Anten. Kawung Anten tertunduk malu).
Sancawiru
Lebih baik bunga_bunga itu layu saja daripada mekar di rambut yang tidak menginginkannya. Walaupun bumi tak akan menumbuhkannya sekali lagi.
Layungsari
Aku mendengar apa yang kau ucapkan dengan lidahmu, tapi kudengar juga bisikan dalam hatimu berdua sekarang, adikku berdua buanglah pengalaman pahit masa lalu. Akan jadi kenangan manis dan daripadanya hatimu akan mereguk bahagia sampai hari tua.
(Ketika Layungsari akan meletakkan bunga itu, terdengar suara telapak kaki kuda, mereka semua berpaling, Kawung Anten berdiri dari tempat duduknya).
ADEGAN _ 3
(Gajah Malela datang dengan terengah_engah, air mukanya kelam oleh sesuatu. Layungsari tak jadi menghiaskan bunga itu, meletakannya di tempat duduk, dia segera menyambut Gajah Malela).
Layungsari
Kakanda, kakanda. Hanya peristiwa luar biasa saja yang akan membawamu pulang di luar waktu. Ucapkanlah kata_kata kecemasan yang memendamkan api dari kedua matamu.
Gajah Malela
Janganlah kiranya kabar ini mengganggu telinga wanita. Biarkanlah mata_mata jelita tetap menyinarkan keriangan dan kedamaian supaya laki_laki tetap memandang cahaya dalam dunia yang jadi gulita.
Layungsari
Kakanda...! (berdatangan gadis_gadis istana dan para satria)
Gajah Malela
Walaupun kalian bertanya_tanya dengan matamu, aku tidak akan menjawab. Katakanlah saja dengan segera di mana Pangeran kita berada. Adikku, Sancawiru menghadaplah engkau kepada mamanda pada Terongpeot dan Nangganan ,pada Sang Hyang Hawu dan Kondanghapa.
ADEGAN _ 4
(Datang Geusan Ulun dan Harisbaya dengan diiringkan gulang_gulang dayang_dayang. Juga uwak Batara Lengser. Mereka menghaturkan sembah).
Geusan Ulun
Adikku, Gajah Malela. Katakanlah apa yang terjadi yang kau lihat dan kau dengar di perbatasan timur Sumedang Larang ? Engkaulah mata dan telinga kami.
Gajah Malela
Gustiku, Geusan Ulun. ......... (masuk para panakawan diiringkan Sancawiru).
Nangganan
Kata_kata laki_laki yang serak dan kasar akan menyakitkan telinga lembut Gusti Prabu.
Geusan Ulun
Pergilah adikku ke Kaputren, tinggalkan kesibukan dunia pada hati laki_laki.
(Harisbaya dan gadis_gadis istana juga para satria pergi. Tinggal dua orang gulang_gulang penjaga Geusan Ulun).
Nangganan
Sekarang anakku, Gajah Malela. Paparkanlah ceritamu jangan sepetah kata pun kau sembnyikan di balik bibir tertutup. Jangan seucap arti pun kau tinggalkan dalam sudut hatimu. Betapapun mengerikan dan berbahaya suatu kebenaran akan lebih berbahaya lagi kebenaran yang dipalsukan.
Kondanghapa
Berikanlah kepada kami kebenaran tanpa dibalut dan dihaluskan kalimat_kalimat sutra.
Gajah Malela
Tujuh musim hamba dan saudara_saudara hamba berjaga di bukit_bukit perbatasan timur. Kamilah mata dan telinga Gusti Prabu yang menatap setiap gerak bayangan, yang mendengar segala bisik daunan demi keselamatan Gusti Prabu dan Sumedang Larang.
Pada suatu malam kami melihat seolah_olah hutan terbakar di sebelah timur, kamipun berangkat ke sana untuk menyelidiki, ternyata cahaya tersebut dipancarkan oleh beratus api unggun yang dinyalakan orang di tepi muara sungai Cipelas.
Dan keesokan harinya kami menyaksikan kemah_kemah bersorak bagai cendawan, sedang di sela_sela kepulan asap berkibar_kibarlah bendera dan beratus panji yang diisyaratkan kebesaran serta keperkasaan Cirebon Raya. sepasukan bala tentara yang bagai semut jumlahnya dengan panah, pedang dan lembing ditangan mereka memalingkan pedang ke arah Sumedang Larang.
Geusan Ulun
(pada dirinya). Manakah kata_kata besar. Manakah segala rencana yang kau renungi siang malam, Ya Geusan Ulun ? Tegaklah ya diri ! ketika seluruh dunia menudingkan telunjuknya ke mukamu. Manakah tantangan lantang, manakah janji_janji tinggi ? Kehidupan yang perkasa akan meremukkanmu kalau kau tidak melumatkannya dalam cengkraman jari.
O, dimanakah Geusan Ulun, dimanakah dia ? Datanglah ! Tampillah ! Kau tak akan dapat lagi menyurukkan muka ke dalam hatimu sendiri !
Nangganan
Telah kuramalkan segalanya sejak semula.Telah kuselipkan diriku untuk menghadapinya. Karena itu, janganlah Gusti cemaskan benar. Gusti tidak seorang diri. Marilah kita merundingkan bersama_sama.
Kondanghapa
Ya, Janganlah Gusti cemaskan benar ! Persoalan akan menjadi kecil kalau kita bersama_sama memecahkannya.
Sang Hyang Hawu
Tak ada satu pun yang mesti cemaskan karena saat ini telah ditentukan oleh Sang Hyang Tunggal untuk menguji keteguhan kita dalam mempertahankan keyakinan yang selama ini telah kita akui. Segala penghuni angkasa ada dipihak kita. Marilah kita tantang Cirebon Raya.
Nangganan
Kita belum lagi menguji kata kita. Belum lagi menyatukan hati. Mengapa mesti mengangkat senjata ? Apakah pendapatmu, Terongpeot ?
Terong Peot
Demi para siluman, hatiku telah kehilangan darahnya. Lidahku telah kehilangan kata_katanya.
Kondanghapa
Janganlah lalu bertanya padaku. Biarkan sejenak telingaku buka lebar_lebar. Biarkan kutenangkan dulu jantung yang berdebar_debar.
Sang Hyang Hawu
Kita akan mengasah pedang dan tombak. Kita akan meracuni paruh anak_anak panah. Kita akan berperang dan pantang menyerah.
Nangganan
Usiamu telah lanjut, tapi darahmu masih juga panas mendidih seperti dalam nadi seorang remaja. Sedang kata_katamu selalu bersayap membumbung ke langit tinggi. Ingatlah, belum tentu kita hanya melawan Cirebon Raya saja. Mungkin sekali Mataram dan Pajang atau bahkan kedua_duanya menyerang kita tanpa piutang dendam.
Sang Hyang Hawu
Jadi haruskah kita mengalah ! ya, tuanku Batara Wiradijaya ?
Nangganan
Demi siluman yang menggelapkan hatimu, pilihlah dulu kata_kata sebelum kau bicara. Bukan kau sendiri pemberani di Kutamaya. Bagaimana kalau kita serahkan suatu daerah yang terbentang di bagian timur kerajaan sebagai pengganti putri Harisbaya ?
Geusan Ulun
Andai saja para penghuni khayangan dengan jelas menarik garis batas antara desa dan jasa, dan dosa akan lebih sederhana hidup manusia, akan lebih kecil derita di dunia. Haruslah manusia membayar dengan keluh kesah, dengan keringat dan air mata, atau bahkan darah untuk setiap pengetahuan suci, yang diturunkan dari angkasa oleh Sang Hyang Tunggal dan Sunan Ambu ?
Aku telah berjanji akan merajai nasibku sendiri. Tapi untuk siapa ? Adakah ini untuk Sumedang Larang ? atau hanya untuk diriku sendiri ?
Sang Hyang Hawu
Gusti Prabu, Yakinlah ! di samping kitalah penghuni angkasa . Izinkanlah hamba membuktikannya dengan nyawa sebagai taruhannya.
Kondang Hapa
Rencana apakah di kepalamu Sang Hyang Hawu ?
Sang Hyang Hawu
Izinkanlah hamba pergi ke perbatasan dengan bebeerapa satria suka rela, dengan beratus_ratus pahlawan.
Nangganan
Gusti, dengarlah pula usul Mamanda. Bagaimana kalau kita serahkan suatu daerah untuk melindungi seluruh Sumedang Larang ? Agar daerah tidak bertitik, agar jiwa tidak melayang.
Sang Hyang Hawu
Haruslah perbuatan Gusti yang mulia dibayar seakan_akan suatu dosa ? Telah kita bebaskan Putri Harisbaya, telah kita tunaikan suatu amanat yang dibebankan Sang Hyang Tunggal pada manusia.
Nangganan
Tapi kau lupakan nasib Sumedang Larang. Amanat seluruh rakyat yang dibebankan setiap pemimpin yang mengganti ayah bunda mereka.
Terongpeot
Sesungguhnyalah, lebih baik kita beriakan tanah tandus di Timur, sedang kita tetap memiliki tanah di Barat yang subur.
Sang Hyang Hawu
Haruskah seorang yang angkara murka di dunia ini diberi diberi hadiah tidak menganiaya ? Dari kita yang benar mengalah seolah_olah kita yang berdosa ?
Nangganan
Tapi usulku demi keselamatan Sumedang Larang !
Sang Hyang Hawu
Tapi usulkupun demi kejayaan Sumedang Larang !
Kondanghapa
Demi segala siluman ! Kalian seperti anak_anak saja yang cuma pandai marah dan saling membentak !
Terongpeot
Sesungguhnyalah kata_kata tajam yang menusuk rasa !
Kondanghapa
Gusti, kami telah mencoba menyatakan hati namun lidah kami bersilang jua, sedang saat sudah tiba untuk bertindak.
Geusan Ulun
Kalau kebenaran tidak dapat dicapai dengan kata, haruskah manusia merebutnya dengan senjata ?
O, apakah arti segala renungan dan kebijaksanaan, kalau ujung pedang musuh sudah di tenggorokan? Kita akan mempersembahkan keringat, air mata dan darah. Entah pada Siluman, entah pada Pujangga dan Pohaci.
Kita berontak terhadap kebutaan manusia sendiri tanpa suatu alasan, terkecuali ini lebih baik berontak dan hancurkan tidak untuk apa_apa.
(Semua memindahkan senjata keikat pinggang sebelah kiri bagian depan).
Sang Hyang Hawu
Pohaci, pujangga dan para Gurindam berdiri dipihak Sumedang Larang !
Nangganan
Kiranya Kutamaya dan Sumedang Larang terperangkap ke dalam perang....... !!!
Kondanghapa
Sekarang marilah kita siap berangkat agar dapat mencapai perbatasan dalam waktu yang singkat.
Nangganan
Kita belum lagi menentukan siasat, mengapa pula harus berangkat ?
Terongpeot
Jangan lupa mengungsikan rakyat, harta, dan ternak dalam waktu yang singkat.
Nangganan
Sekarang marilah kita perhitungkan langkah yang akan kita injakkan ke muka. Hamba usulkan agar kita mengungsikan kerabat ke sebuah bukit di pegunungan timur, sebuah benteng alam yang bernama Bukit_Luhur. Di sana pula cita_cita akan segala daya.
Sang Hyang Hawu
Usul hamba adalah begini, kita jemput musuh ke perbatasan kita nantikan mereka ke dalam rimba. Kita sebarkan tentara kita di semak_semak dan siang_malam kita mengintip menyerang mereka dengan tiba_tiba kalau mereka melalui jurang yang sempit.
Kondanghapa
Ya, penghuni anggkasa ! Rupanya kalian dilahirkan untuk saling bertentangan, serahkan saja segalanya pada Gusti untuk diputuskan.
Geusan Ulun
Dalam jari_jariku yang dingin dan gemetar ini terangkum nasib seluruh Sumedang Larang sepatah kataku, seucap perintah akan menentukan hidup dan matinya bujangga dan pohaci ! kalau kalian berdiri di pihak kami biarlah keputusan ini jadi titik tolak ke arah perdamaian dan kejayaan negara !
Sebagian tentara akan berangkat dengan mamanda Sang Hyang hawu dan mamanda Kondanghapa. Setengahnya lagi akan tinggal di sini di dalam benteng di balik dinding puri dan akan jadi penolong dan pembantu kalau pasukan pertama terpaksa mengundurkan diri.
Sang Hyang Hawu
Para pujangga dan pohaci telah bersabda melalui kata_kata Gusti.
Nangganan
Semoga para pujanggan dan pohaci yang membimbing Gusti dalam saat_saat yang menentukan ini.
Kondanghapa
Marilah kita bertindak sebelum musuh jauh bergerak.
Geusan Ulun
Wak Lengser, tibalah kiranya saat untuk membunyikan Goong keramat, biarlah panggilannya menggema dalam hati siapa saja yang cinta akan tanah airnya.
(Lengser pergi. Terdengar bunyi gong terus menerus).
Mamanda, sebentar lagi mereka berkumpul. Marilah kita menjemput mereka di alun_alun.
Sang Hyang Hawu
Gusti, Pangeran Geusan Ulun. Sebentar lagi kami akan meninggalkan Gusti. Dan, di sini Gusti akan menunggu kami entah untuk beberapa lama akan menjadi mangsa kebimbangan dan kegelisahan. Karena itu hamba merasa perlu juga untuk berpesan agar meringankan Gusti nanti dari segala beban kecemasan. Semoga sang Hyang Tunggal dan Sunan Ambu jadi saksi bagi tiap kataku ini Gusti.
Setelah hamba meninggalkan Gusti perhatikanlah sebatang pohon Hanjuang yang akan hamba tanam di sudut alun_alun Kutamaya.
Kalau pohon Hanjuang ini segar_segar, itu berarti bahwa hamba dan pasukan hamba dalam keunggulan dan kejayaan, namun sebaliknya, jika pohon ini layu dan mati itu berarti kami hancur dan dikalahkan. Dan segalanya akan terserah kembali kepada Gusti di sini.
Geusan Ulun
Mamanda Sang Hyang Hawu, hamba mendengar.......
Nangganan
Gusti, mereka sudah berkumpul. Marilah kita segera menyampaikan kata dan segera berbuat sebelum terlambat (mereka pergi).
Adegan _ 5
(Datang gadis_gadis istana berturut_turut makin lama makin banyak. tidak lama pula datang para satria dengan cara yang sama. Mereka berdiri berhadapan merupakan kelompok. Mereka bicara bersama_sama sebagai paduan suara, ataupun salah satu diantara mereka berlaku sebagai wakil dari yang lain)
Gadis_gadis
Apakah bunga_bunga yang tumbuh di hati kami dipetik maut selagi kuncup, pahlawan ? Mungkinkan segala mimpi yang gemerlapan akan tinggal berupa mimpi semata ?
Para Satria
Untuk jawaban itulah kami berperang. Apakah Sumedang Larang sanggup membuktikan serta mempertahankan keadilan dan kebahagiaan yang jadi buah mimpi rakyat untuk selamanya ?
Gadis_gadis
Sebentar lagi kalian akan berangkat, berjuang di tanah_tanah tidak dikenal. Mungkin hanya nama kalian saja yang kembali diusung angin dari bibir ke bibir. Dan, pahat bercuka akan mengukirnya pada hati kami yang ditinggal.
Para Satria
Ya, nama kami akan selalu kembali diucapkan oleh anak_anak cucu kami. Ditulis mereka dengan tinta kencana, karena apapun yang akan terjadi kami telah mencoba membangunkan suatu dunia yang lebih baik untuk dijadikan tempat hidup mereka.
Gadis_gadis
Terkutuklah kelahiran bangsa wanita, yang dinasibkan untuk mewarisi anak_anak dan menangisi keyatiman mereka.
Para Satria
Diagungkanlah kelahiran kaum wanita, wakil Sunan Ambu di muka bumi yang akan mengasuh dan membesarkan pahlawan_pahlawan yang mengusung amanat yang dititahkan Sang Hyang Tunggal.
Adegan _ 6
Datang Pangeran Geusan Ulun, Nangganan, dan Terongpeot. Juga dua orang gulang_gulang Pengawal dan Uwak Batara Lengser. Setelah menyembah, gadis_gadis dan para satria keluar...........
Putri Harisbaya
Geusan Ulun
Gemuruh mereka pergi, dan hati seolah_olah terbawa oleh arus barisan mereka. Agak terobati pula segala cemas gelisah melihat kegairahan dan tekad para satria dibawah kebijaksanaan dan kepemimpinan Mamanda Sang Hyang Hawu sebagai tulang punggung negara. Tinggallah kita bertukar kata untuk menentukan langkah kita sendiri.
Nangganan
Itulah pula yang hamba pertimbang_timbangkan, Gusti. Langkah apa yang kita ambil agar kita berdiri kukuh menyambut segala kehendak Sang Hyang Tunggal dalam menentukan musim Kutamaya. (Datang Putri Harisbaya dengan iringannya).
Ya, bagaimana kita akan menyingsingkan lengan baju untuk melindungi makhluk_makhluk lembut seperti Gusti Ratu dan gadis_gadis ini. Kita tahu bahwa Kutamaya merupakan suatu benteng yang terbuka bagi mata angin, dan kita dipaksa melawaan kelaparan kalau musuh sanggup mengepung dan memutuskan hubungan rakyat di luar puri. Siapa Sang Hyang Tunggal melumpuhkan Sang Hyang Hawu dalam membendung arus serangan Cirebon Raya. Semoga itu bayangan hati cemas belaka.
Harisbaya
Mamanda, mungkinkah mereka tiba di Kutamaya ? Bukankah mamanda Sang Hyang Hawu merupakan satu_satunya panglima yang belum ada tandingannya di seluruh tanah Jawa ?
Nangganan
Kemungkinan ada di tangan Sang Hyang Tunggal, Gusti. Dan kemungkinan tidaklah pernah memperhatikan keinginan atau harapan manusia. Kemungkinan selalu menurut kemauannya sendiri. Tak pernah memperdulikan harap, suka dan duka karena kemungkinan sendiri tidaklah berhati dan walaupun Sang Hyang Hawu seorang panglima yang ditakuti dia sekarang bukanlah seorang pemuda lagi. Medan perang adalah dunia para pemuda, Gusti dan kita tidah tahu apa_apa tentang jumlah musuh yang menyerang.
Harisbaya
Semoga pujangga dan para pohaci berdiri dipihak Mamanda Sang Hyang Hawu.
Geusan Ulun
Itulah sebenarnya pertanyaan manusia yang pertama_tama adakah yang berdiri dipihak para pujangga atau dengan para yang menentangnya ?
Nangganan
Tapi sekarang bukanlah waktunya lagi mencari_cari jawab teka teki yang diturunkan dari angkasa itu, Gusti. Di tangan Gustilah sepenuhnya nasib Kutamaya, nasib_nasib orang tua, wanita dan anak_anaknya. Hamba telah mengusulkan agar kita mengungsi ke Bukit Luhur yang tak mungkin diatasi.
Geusan Ulun
Mamanda, ceritakanlah pada hamba tentang Bukit Luhur itu !
Nangganan
Sebuah benteng alam perkasa yang dapat dipertahankan oleh tentara kanak_kanak sekalipun.
Geusan Ulun
Tapi bagaimana dengan pohon Hanjuang yang akan memperlihatkan segala alamat tentang hidup mati pasukan mamanda Sang Hyang Hawu ?
Nangganan
Gusti, Kalau pohon Hanjuang layu dan mati, dan sungguh_sungguh menyampaikan alamat buruk dari angkasa, dan kita harus berjuang mati_matian melawan musuh, dan siluman kelaparan sedang kalau kita mengungsi dan pohon Hanjuang memperlihatkan alamat baik apakah ruginya ? Kita cuma akan turun kembali ke Kutamaya setelah sama sekali terhindar dari marabahaya.
Terongpeot
Tentu saja kita akan membawa segala harta emas_intan, kita muatkan dalam kereta.
Geusan Ulun
Tentu kita harus meninggalkan pengintai disini !
Nangganan
Serahkan segalanya ke tangan Mamanda, Gusti. Hambalah yang akan menguruskan segalanya dan dengan tenang kita akan membakar dupa hingga kehendak sang Hyang Tunggal berlaku.
Geusan Ulun
Mamanda Nangganan dan Terongpeot, bahwa ancaman perang seperti ini pikiran bersama akan dapat lebih dipegang tinggi daripada pendapat seorang raja. Marilah kita berangkat dengan segera setelah kita siapkan segala isi istana.
Adegan - 7
(Mereka pergi. Kawung Anten mengikuti mereka dengan ragu_ragu, tapi kemudian mengikuti juga, panggung kosong untuk beberapa lama. Kemudian Kawung Anten muncul kembali. Dia berjalan ke arah tempat duduk. Dia mengambil rangkaian bunga. Lalu mencium dan menekannya ke dada. Kemudian dia meletakan di rambutnya. Dia duduk seorang diri. Telat beberapa lama kemudian datang Harisbaya seorang diri).
Harisbaya
Adikku, Kawung anten. Sudah teguhkah hatimu ? Sungguhkah kau tidak akan ikut dengan kami ?
Kawung Anten
Hamba telah memberikan kata_kata hamba pada Ayahanda Sang Hyang Hawu, Gusti Putri. Bahwa hamba akan menjemputnya kalau kalian kembali nanti.
Harisbaya
Tapi engkau akan merupakan satu_satunya wanita yang tinggal di Kutamaya di tengah_tengah marabahaya.
Kawung Anten
Titipkanlah hamba dalam doa_doa, Gusti. Pada para pujangga dan para pohaci. Dan kita akan berkumpul nanti pada saat yang akan ditentukan Sunan Ambu.
Harisbaya
Semoga para pujangga dan para pohaci lah yang memberikan kekerasan hatimu. Tak ada yang dapat kukatakan lagi selain selamat tinggal sampai berjumpa pada saat_saat yang berbahagia nanti.
Kawung Anten
Kupercayakan Gusti Putri pada Sang Hyang Tunggal. selamat jalan Gusti Putri, sampai jumpa. (Mereka saling berpelukan).
BABAK 3
Adegan 1
(Di Bukit Luhur, dalam bangunan darurat semacam pendopo di tengah_tengah hutan belantara. Pangeran Geusan Ulun, Ptri Harisbaya, Nangganan, Terongpeot, Lengser, beberapa orang satria, penjaga dan gadis_gadis istana yang jumlahnya lebih kecil dari biasanya.
Geusan Ulun
Tiga puluh fajar terbit mengarak kedatangan hari, tiga puluh surya padam di tepi bumi, demikian pula sinar serta kelam kalbuku silih berganti. Bilakah kiranya semua ini akan diakhiri ? Belum sepatah pun kata dari medan perang, belum juga terduga hari esok Sumedang Larang.
Nangganan
Gustiku, Pangeran Geusan Ulun betapapun hebat topan, keluh kesah isi khayangan, tidak pernah mendengarnya, hanya ada dua jalan terbaik bagi manusia, dia harus menggunakan segala anugrah yang diturunkan dari langit kepadanya..............
Nangganan
Selagi dia mampu, kalau tidak, dia menyerahkannya kembali ke tangan Sang Hyang Tunggal.
Terongpeot
Sesungguhnyalah, sesungguhnyalah kita serahkan kepada mereka yang berperang, kita punya urusan sendiri di tempat ini. Gusti.. ! Lihatlah pohon_pohon yang berbunga dan berbuah di Lereng Bukit Luhur maupun di dalam lembah, buah_buahan dan binatang perburuan akan cukup menghidupi seluruh negeri.
Adegan - 2.
(Utusan datang setelah terlebih dulu seorang gulang_gulang memberitahukan kedatangannya. gong berbunyi).
Gulang_gulang
Utusan dari Kutamaya mohon menghadap pada Gusti Prabu dan Pamanda punakawan.
Geusan Ulun
Semoga Sang Hyang Tunggal berkenan memastikan nasib Kutamaya hari ini juga, biar kegelisahan yang tak berarah menemukan salurannya dalam perbuatan yang akan menentukan hidup_mati kita semua.
(Datang utusan menyembah)
Nangganan
Betapa benar arti kata_kata yang diusung lidahmu, ucapkanlah pada kami sejelas_jelasnya, semoga para pujangga dan para pohaci memberimu kefasihan.
Geusan Ulun
Segera katakan pada kami, ya paman tenagkan segala deburan darah di jantung kami.
Utusan
Gusti, Mamanda semua. Berbahagialah sumedang Larang karena dipihak kita lah berdiri para pujangga dan para gurindam dan kini seluruh pasukan kita sedang bergerak ke Bukit Luhur, untuk menghadap Gusti....
Geusan Ulun
Dengarlah kata janjiku, ya penghuni angkasa akan kubangkitkan sebuah lingga menjulang untuk menyatakan bahagia hati dan rasa syukur atas kemurahan Sang Hyang Tunggal dan Sunan Ambu.
Terongpeot
Sesungguhnyalah ! Kita potong seratus ekor kerbau dan seratus ekor kambing, kita bagikan di sepanjang jalan Kutamaya, kita pukul calung, angklung, kecapi, serta karinding, kita lepas gadis dan bujang menari dan berdendang !
Utusan
Tapi, Gusti....., Dengarkanlah kiranya berita hamba tentang kemalangan yang tak dapat dihindarkan....
Geusan Ulun
Tentu korban_korban jatuh di pihak kita. Kuntum belia dipetik tangan nasib akan harum selama_lamanya. Mulia lah mereka yang menitikan darah untuk tanah air yang dicintainya. Selama hati manusia masih menginggat kita akan selalu mengisinya kembali dan menuliskan dengan segala bunga dan lagu dan wangi kemenyan.
Utusan
Gusti, Kematian lain yang sangat menyedihkan telah terjadi. Kemalangan telah menimpa Kawung Anten Putri Sang Hyang Hawu pahlawan yang jadi juru selamat bagi seluruh negeri tak sanggup menyelamatkan putri tunggalnya sendiri.
Harisbaya
Kawung anten ? Demi penghuni angkasa katakanlah sekali lagi apa yang terjadi pada gadisku Kawung Anten ?!
Bersama
Kawung Anten, apakah yang terjadi pada Kawung anten ?
Utusan
Suatu kecelakaan yang tak disangka, Gusti......, Ketika pasukan Sumedang Larang kembali memasuki Kutamaya dengan panji berkibar dan seruan gegap_gempita diantara mereka terdapat beratus tawanan perang.
Geusan Ulun
Mengatakan segala perasaan mereka yang tak mungkin diusung bahasa pada peristiwa yang tak kan terlupakan ini, Ramanda berdua dan kalian para satrialah yang telah menghidupkan kami kembali. Menarik kami dari dalam lobang kubur untuk melihat langit dan fajar masa depan, disamping itu hati kami pun menangis bagi mereka yang gugur untuk Kutamaya dan tak dapat melanjutkan kata_katanya.
Sang Hyang Hawu
Gusti Prabu, Pangeran Geusan ulun telah tunailah tugas hamba kini dalam menepati janji hamba sendiri, telah hamba perbuat apa yang dapat diperbuat untuk membuktikan bahwa penghuni angkasa berdiri dipihak kita. Dan, pohon Hanjuang tetap segar bugar seperti sedia kala, sekarang tibalah waktunya bagi hamba untuk meletakkan jabatan hamba sebagai orang_orang tua negara dan panakawan Gusti atas kehendak sendiri, dengan setulus hati.
Semoga hidup dan jayalah Sumedang Larang sepeninggal hamba, tumbuh dan berkembanglah...........
Seperti pohon Hanjuang di alun_alun Kutamaya. Sekarang selamat tinggal pada Gusti dan Gusti Ratu, ampunilah segala ketololan Sang Hyang Hawu yang mendesakkan diri untuk terus menghamba, padahal tenaganya tidak dibutuhkan lagi, padahal setiap orang tidak mempercayai lagi, mestinya dari dulu Sang Hyang Hawu mengundurkan diri tanpa mementingkan peluang yang tidak berarti.
Kiranya baru sekarang Sang Hyang Hawu tahu akan dirinya setelah Sang Hyang Tunggal menghukum dia dengan mengambil Kawung Anten, anak satu_satunya.
Geusan Ulun
Ya, seluruh kutukan langit timpakan halilintar di batu kepalaku ! Akulah pengkhianat ! Pelanggar janji, Akulah pembunuh Kawung Anten. akulah sekutu para siluman di muka bumi !
Nangganan
Sang Hyang Hawu....... Sang Hyang Hawu........
Harisbaya
Mamanda..... Mamanda..........
(Nangganan berjalan menghalangi Sang Hyang Hawu yang hendak pergi).
Nangganan
Sang Hyang Hawu, siapakah yang dapat menghalangi kehendak Sang Hyang Tunggal yang maha kuasa ? Hati kami berdarah dan akan tetap berdarah dengan luka yang menganga dalam kalbumu.
(Sang Hyang Hawu bergerak untuk pergi, Nangganan memegangnya).
Sang Hyang Hawu, akulah kekuasaan Sang Hyang Tunggal. Mengertilah bahwa semua ini merupakan akibat yang sewajarnya, yang semestinya dari tiap peperangan, semua peperangan. (Tiba_tiba sekali Sang Hyang Hawu mencabut kujangnya dan menghujamkannya ke jantung Nangganan yang sempoyongan dan rubuh.
Gadis_gadis menjerit dan menyembunyikan muka, sementara itu Nangganan merangkak dan memegang kaki Sang Hyang Hawu, kemudian memegang pakaiannya). Adakah aku mati untuk Sumedang Larang, Sang Hyang Hawu ? Adakah aku mati untuk Sumedang Larang, Sang Hyang Hawu...? (Sang Hyang Hawu kemudian merangkulnya).
Sang Hyang Hawu
Ya, kau mati untuk Sumedang Larang, saudaraku. Hanya untuk Sumedang Larang yang kita cintai.
(Nangganan meninggal. Sang Hyang Hawu kemudian mengusungnya dan bergerak keluar diikuti oleh Terongpeot dan Kondanghapa. Sebagian dari para satria bergerak pula untuk mengikutinya).
Sang Hyang Hawu
Tinggallah dengan Gusti kita, Pangeran Geusan Ulun. Dunia adalah milik anak_anak muda, dunia di tangan anak_anak muda. Kami orang tua sudah saatnya mengundurkan diri. Hapuslah jejak kami yang mungkin menyesatkan kalian dalam menuju dunia baru yang lebih baik. (ketiga Panakawan pergi dengan menngusung Nangganan).
Geusan Ulun
Segalanya terjadi karena dosaku, ya Sang Hyang Tunggal !
Harisbaya
Tidak, Kakanda. Hambalah asal_usul dari malapetaka ini !
Geusan Ulun
Tidak, Adinda...... !
Lengser
Tiada diantara Gusti berdiri bertanggung jawab atas segala yang menimpa Sumedang Larang. Kita semua bertanggung jawab atas semua. Kita semua adalah asal mula dari semua.
Gusti cuma merupakan seorang wakil dari suatu pihak yang langsung berhadapan dengan wakil golongan lain yaitu Prabu Girilaya dari Cirebon Raya. Gusti dan Pangeran Girilaya adalah dua orang wakil dari dua pihak yang terus_menerus melakukan perjuangan semenjak keturunan manusia semula.
Sekarang berdirilah Gusti bagi Sumedang Larang bagi tugas kehidupan yang masih dibahu Gusti.
Geusan Ulun
Saudara_saudara para satria Sumedang Larang. Suatu pengalaman besar telah kita tebus dengan cucuran keringat, air mata dan darah. Suatu pengetahuan suci telah kita simpan dalam hati, dan sekarang kita jadi manusia_manusia baru yang membuka tajam menatap ke arah masa depan.
Kaki kita masih terbenam dalam lumpur dunia lam, sedang beban segala masa lampau diletakkan Sang Hyang Tunggal di bahu kita. Walaupun demikian kita akan tetap bangkit demi Sumedang Larang yang besar dan jaya.
Bangkitlah bagi Sumedang Larang !!!
Para Satria
HIDUPLAH SUMEDANG LARANG....! HIDUPLAH GEUSAN ULUN...!!!
Bangkitlah bagi Sumedang Larang !!!
Para Satria
HIDUPLAH SUMEDANG LARANG....! HIDUPLAH GEUSAN ULUN...!!!
(Coretanku_Abdul_Koni)
Post a Comment for "NASKAH DRAMA PANGERAN GEUSAN ULUN PRABU SUMEDANG LARANG"