NASKAH MONOLOG SRINTIL
PANGGUNG GELAP. TERDENGAR TETABUHAN MUSIK PENGIRING RONGGENG. PERLAHAN PANGGUNG MULAI TERANG BENDERANG. AKTRIS MENARI SEIRAMA DENGAN IRINGAN MUSIK RONGGENG (SEDIKIT AGAK LAMA)
KETIKA MUSIK BERHENTI MAKA AKTRIS PUN BERHENTI MENARI. IA BERDIRI. KENES, KEMAYU, TANGGUH, WIBAWA, CERIA, MENYAPA SELURUH PENONTON DENGAN SENYUM RAMAHNYA.
TAK LAMA KEMUDIAN, TERDENGAR SUARA GADUH, CAMPURAN ANTARAN TERIAKAN, JERIT-TANGIS ORANG-ORANG (SUASANA DUKA) DIBALIK PANGGUNG. KEMUDIAN AKTRIS MEMPERHATIKAN SISI PANGGUNG YANG LAINNYA.
Burung-burung gagak hitam nampak tengah asik berpesta pora. Menyuarakan sorak-sorai tentang datangnya kematian di setiap sudut pedukuhan. Ya, maut memang bekerja dengan sabar dan pasti. Maut telah berpengalaman dalam pekerjaannya sejak kematian yang pertama. Tanpa terganggu jerit dan ratap tangis, maut terus menjemput orang-orang ditanah kelahiranku.
“Asu! Asu buntung! Bongkrek asu! Bongkrek sialan! Tembaga uedan! Asu! Wes, pokoe asu kabeh!”
Kejadian itu takkan mudah kulupakan begitu saja. Hari di mana ayahku mati karena mempertahankan harkat dan martabat pekerjaannya sebagai pembuat tempe bongkrek. Demi mematahkan tudingan bahwa tempe bongkrek buatannya ialah penyebab kematian orang-orang pedukuhan, ia lantas menunjukan bukti pada semua orang, ayahku sengaja menantang maut, kulihat ia mengunyah dengan gagah dan menelan tanpa perlahan tempe bongkrek buatannya sendiri.
Ibuku yang melihat ayah terkapar kaku, langsung mengunyah dan menelan juga bongkrek beracun itu. Keegoisan merekalah yang membuatku hidup tanpa orang tua hingga asuhan jatuh ditangan Sakarya; seorang kakek, kakekku sendiri sekaligus orang yang pertama kalinya memohon kepada Kartareja agar aku dinobatkan sebagai seorang ronggeng. Namun, asuhanku oleh Sakarya tidak berlangusng begitu lama, karena setelah aku dinobatkan sebagai ronggeng maka keluarga ronggeng harus menyerahkan si peronggeng pada dukun ronggeng, yakni aku pada Kartareja.
Tidak mudah untuk menjadi seorang ronggeng. Ini bukan cuman sekedar urusan nembang dan joget saja. Ronggeng Dukuh Paruk harus pula memikirkan sumur, dapur, dan kasur. Dan untuk mendapatkan restu serta penobatan sebagai ronggeng dari seorang Kartareja, Sakarya, kakekku, harus membuat ia percaya dan yakin bahwa aku mewarisi indang ronggeng. Berkat bantuan lihai dari Sakum akhirnya Kartareja percaya dan ternobatkalah aku, Srintil, sebagai Ronggeng Dukuh Paruk.
Belum lengkap rasanya bila syarat sebagai ronggeng belum terpenuhi dan telaksanakan semuanya. Setidaknya ada dua syarat lagi yang harus kujalani sebelum aku sah dan pantas disebut ronggeng.
Pertama ialah upacara pemandian di depan cungkup makam Ki Secamenggala. Katanya semasa hidupnya ia menyukai lagu Sari Gunung. Maka siapa pun ronggengnya, ketika ia menjalani ritual ini haruslah menyanyikan lagu itu secara berulang-ulang. Tidak lama kemudian, Kartareja mengigil, orang-orang percaya ia telah kemasukan roh Ki Secamenggala.
Seluruh bumi andalas, semua orang, harus tahu, termasuk kalian yang ada di sini. Konon, moyang semua orang Dukuh Paruk adalah Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang sengaja mencari daerah paling sunyi sebagai tempat menghabiskan riwayat keberandalannya. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah dagingnya.
Semua orang Dukuh Paruk tahu Ki Secamenggala, moyang mereka, dahulu menjadi musuh kehidupan masyarakat. Tetapi mereka memujannya. Kuburan Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukti kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan orang-orang Dukuh Paruk. Gumpalan abu kemenyan pada nisan kubur Ki Secamenggala membutikan pola tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di sana.
Sedari kecil aku memang suka nembang dan berjoget. Masih kuingat pula kala bibir ini mendaratkan ciuman pertamanya di pipi seorang anak lelaki. Rasus. Ya, kuberi ia ciuman di pipi sebagai upah karena telah mengiringiku berjoget dengan suara calung yang ia buat dengan mulutnya. Kemudian ciumanku menyusul kepada Warta dan Darsun karena mereka turut pula meramaikan suasana.
Di tanah kelahiranku, pertunjukan ronggeng ini memang satu-satunya sumber hiburan. Menjadi seorang ronggeng di Dukuh Paruk ini ialah suatu kebanggan. Keinginan untuk membuat orang lain senang dengan apa yang kita sajikanlah satu dari banyak alasan mengapa aku ingin menjadi seorang ronggeng, ronggeng Dukuh Paruk, ronggeng di tanah kelahiranku. Bahkan sempat kudengar Sakarya, kakekku, pernah berkata, Dukuh Paruk tanpa ronggeng bukanlah Dukuh Paruk.
Sudah belasan tahun Dukuh Paruk ditinggal mati ronggeng yang terakhir. Kini, aku, Srintil, akan membuat Dukuh Paruk hidup kembali, menggeliat tiada henti. Namun, tekadku yang sudah bulat itu nampaknya tidak berarti apa-apa di mata Rasus. Aku tahu sebenarnya ia tidak menginginkan aku menjadi seorang ronggeng. Tapi apa daya, inilah darma baktiku, Srintil, pada Dukuh Paruk.
AKTRIS MENARI DIIRINGI CALUNG KHAS PENGIRING GELARAN RONGGENG. IA MELAKUKAN TARIAN YANG EROTIK ALA RONGGENG KHAS DUKUH PARUK. LUWES. MEMBUAT SEMUA PASANG MATA TERBELALAK. MEMBUAT LELAKI MENELAN LUDAH.
TARIAN DAN LANTUNAN CALUNG BERHENTI. AKTRIS PINDAH KE SISI LAINNYA. SUASANA MISTIK MULAI TERASA DAN TERBANGUN DENGAN PERLAHAN DAN PASTI. DIKUMANDANGKANNYA AJIAN JARAN GUYANG DENGAN MENGANGKAT KERIS JARANG GUYANG SEJAJAR DAHINYA.
Ingsun amatek ajiku si jaran goyang, tetenger tengahing pasar, gegamane cemethi sodo lanang saking swargo, sun sabetake gunung jugrug, segoro asat bumi bengkah, sun sabatake atine sakabeh badan teko welas teko asih andeleng badhan sliraku, manut mituru sakarepe sakabeh badan soko kersaning leluhur moyang.
Rasus. Kau menentang keinginanku, tapi kau malah merestuinya dengan bahasa tanda. Ya, inilah keris Jaran Guyang yang kau berikan padaku. Kau mungkin tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, keris ini ialah keris pangasihan, keris pegangan para ronggeng. “Bajingan! Asu!” Kau turut pula menyumbangkan peran atas aku yang kini menjadi ronggeng Dukuh Paruk. Jangan salahkan aku yang semakin liar di setiap malam. Panas membara membakar pedukuhan ini dengan goyangan dan sejuta tembang.
Berkat kau jugalah Rasus, aku harus menjalani bukak-klambu sebagai syarat terakhir untuk penobatan seorang ronggeng Dukuh Paruk. Aku harus rela menyaimbarakan keperawananku, menjadikannya ajang taruhan, menjadikan satu-satunya makhota milik perempuan menjadi sebuah permainan, siapa yang punya ringgit emas ialah yang berhak mendapat dekap gua yang hangat lengkap dengan tungku perapiannya. Walau akhinya tidak ada beda antara yang membawa ringgit emas dan seekor kerbau, semuanya tetap bisa masuk ke gua, dengan waktu gilirannya masing-masing.
Cerdasnya engkau malam itu, menggedor jendela kamarku di malam bukak-klambu. Kaulah sesungguhnya yang melayani aku, yang menjadikanku ronggeng Dukuh Paruk, bukan Dower atau Sulam, juga bukanlah Secamenggala dengan seonggok ritual dan tek-tek-bengeknya!. Kaulah sesungguhnya yang memetik kelapa untuk kali pertama. Kaulah sesungguhnya yang membuat aku tergila-gila akan hasrat sebuah cinta. Kau, ya hanya kau, Rasus! Asu buntung kau, Rasus! Aku cinta pada kau, Rasus… (TERDENGAR MARAH NAMUN JUGA MENGISAK-TANGIS)
Aku berjoget dari malam ke malam, dari gelaran ke gelaran. Aku menggoyang lelaki dan seluruh pasang mata dari semua kalangan. Aku bejoget untuk bejoget, aku meronggeng untuk meronggeng. Tidak ada alasan aneh lainnya aku punya, apalagi alasan politik dengan segudang taktiknya. Aku ora paham. Aku ora ngerti politik. Aku bukan orang politik. Tapi aku korban politik. Dukuh Paruk korban politik. Dukuh Paruk kisruh karena politik. Tahun 65 adalah tahun yang penuh misteri.
Semua orang pedukuhan dikumpulkan di lapangan. Sakarya, Secamenggala, dan lainnnya, bahkan aku, Srintil, diboyong oleh aparat karena dituding sebagai komplotan lawan pemeritahan. Aku ora ngeti seluk beluk dunia pemerintahan, aku ora paham dunia perpolitikan. Aku hanya seorang ronggeng yang mengabdikan diri pada malam dan pedukuhan.
Bajingan semua lelaki! Tidak ada yang dapat kupercaya, semua omongannya hanya dusta. Perkataannya ialah sebuah kotak yang isinya cuman angin belaka. Perbuatan lelaki hanya sekerat nafas biadab kebinatangan. Lelaki sama saja, mereka tidak mau mengerti dan merimo apa-apa yang telah didustakannya. Asu! Asu buntung! Lelaki uedan! Laki bajingan!
Rasus, pernah kupinta kau kawini aku, buahi aku, berikan benih titisanmu. Tapi kau menolaknya mentah-mentah. Kau mau menggauli aku tapi tidak mengawini aku. Kau berkata, “Kalau mau jadi bojoku mbo to ya berhenti ngeronggeng.” Kau berubah Rasus, apa hanya karena seragam yang kini kau kenakan maka kau sudah tidak pantas lagi untuk memperistri seorang ronggeng sepertiku ini? Permintaan kau sungguh mengganggu darma baktiku, darma baktiku pada Dukuh Paruk. Kau mau apa Rasus? Sehektar tanah? Usaha di pasar? Ta belikan semuanya untuk kau Rasus, asal kau mau penuhi semua permintaanku! Aku sing bayar! Aku sing tabur uang!
AKTRIS MULAI TERLIHAT KEHILANGAN KEWARASANNYA SEBAGAI MANUSIA YANG UTUH. IA LARI KE SANA KE MARI. NEMBANG DENGAN GILA, BEGOYANG DENGAN LIAR DAN LIAR SEMAKIN LIAR. (MENUNJUKAN KEGILAAN YANG SANGAT)
Lagu Eling-eling Banyumasan:
Dhongkel gelang daning bung alang-alang
Wis sakjege lanag gedhe gorohe
Lisus kali kedhung jero banyu mili
Meneng soten atine bilar-baleran
Wakul kayu cepone wadhah pengarin
Kapaname, kapaname ketemu padha dhewekan
Sebenarnya perempuan itu sama. Bagi kami, perempuan sejati, kami menganga bukan hanya karena haus harta, haus puja, atau haus sapa saja. Kami ini manusia, manusia yang membutuhkan cinta, cinta sejati, tanpa karena atau alasan. Srintil itu perempuan sejati, ronggeng Dukuh Paruk yang menginginkan hidup dan diperistri, miliki jabang bayi, mengasuhnya bersama seorang suami.
AKTRIS KEMBALI BERLARI, BEGOYANG, DAN NEMBANG. KELIARANNYA SUDAH MENDOBRAK AMBANG BATAS.
Lagu jenaka:
Klinthang-klinthung pasar kewan kidul gunung
Tipar lor Sugihan, Jatisalu pasar manis
Terus ngetan anjog maring Pesanggrahan
Klinthang-klinthung ana mantri mikul calung
Mampir gubug randha, urut senthong dilongoki
Mbok menawa Nini Randha nggodho wedang.
AKTRIS JATUH LEMAS DI TENGAH PANGGUNG. RAMBUT DAN PAKAIANNYA KINI NAMPAK BERANTAKAN.
Aku, Srintil, seorang ronggeng, ronggeng Dukuh Paruk, perempuan Indonesia.
BLACKOUT
Post a Comment for "NASKAH MONOLOG SRINTIL"