Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

NASKAH MONOLOG [SINTREN]

SINTREN [NASKAH MONOLOG]

juara 2 Teater Piala Gubernur
Di sini, di rumah tua
Ini, riwayat hidupku, dimulai....
Dan mungkin, tak lama lagi, juga akan berakhir di sini....

Entah siapa yang membuat patung sintren ini, kata kakek Bahureksa, ketika dia masih kecil, patung ini sudah menjadi simbol kemakmuran desa kami.
Mungkin umurnya jauh lebih tua dari Ki Bahureksa, leluhur kampung, cikal bakal pedukuhan Cimanuk.

Apa pentingnya ?!

Tapi, Dialah yang paling lengkap menyaksikan perjalanan hidupku. Sejak sebelum aku menetas menjadi seorang calon penari Sintren.

Saat sayap_sayap ghoib, membawaku membumbung menjadi Sri Panggung.
Begitu pun, ketika aku jatuh, tersungkur, tersingkir. Semua ia saksikan.
Bahkan yang tidak terlihat oleh mata. Bahagia dan deritaku, diam_diam Dia simpan.

Tidak seperti kebanyakan orang yang gemar berisik, membicarakan urusan orang lain.

Tanganku, dulu kalian begitu lincah dan luwes.
Sekarang terasa kaku, dan gemetar.
Mata juga tidak lagi awas. Memakai kain saja terasa tidak mudah.

Seandainya ada Mas Suliandhana, dia pasti menolongku.
Mas Suliandana dulu selalu menolongku.

Aku tidak lupa, sore itu seperti biasa suasana sepi. Orang_orang tua bekerja di sawah ladang, dan anak_anak mereka menggembalakan ternak di padang_padang.
Dan aku, bermain sendiri menembang dan menari.
Aku berkhayal menjadi seorang penari Sintren.
Kuputar_putar kain dan sampur. Saat aku akan menjajal menari, tiba_tiba terdengar suara di belakangku “Sulasih, Sulasih, Suliandhana!” Sampai kaget aku.

Suliandhana...!
Sul......!

Rupanya, Mas Suliandhana diam_diam mengamatiku.
Lalu dia membantuku melilitkan kain dan memasangkan sampur di pinggangku.
Dan kami berdua bermain Sintren_sintrenan.

[joged]

Kok, musiknya berhenti, Su!

Suliandhana...!
Suliandhana...!

Mereka cape, tapi aku tidak!

Khayalanku menjadi seorang penari Sintren, seolah menjadi kenyataan karena kehadiran Mas Suliandhana.
Aku membayangkan dia menjadi pasanganku. Lalu aku dan dia menari bersama.

Sesekali tubuh kami bersentuhan.
Setiap sentuhan membangkitkan getar halus di hatiku.
Menggerakkan seluruh tubuhku.

Aku ingin terus menari.....
Terus menari....
Terus menari, tak berhenti!

Waktu aku meminta dia untuk bermain lagi, Mas Suliandhana minta upah!
Lalu, kuberi dia ciuman.

Orang_orang yang melihat kami, bergantian ikut joged dan menari.
Tapi, hanya mas Suliandhana yang kucium sepenuh hatiku.

Sedangkan yang lainnya, setelah mereka sawer, hanya inyong beri ciuman kilat kaya kiye. Asal nempel!
Itupun, karena aku tak tahan, bau apek keringat mereka.

Aku lupa restu itu tidak mungkin aku dapatkan.
Aku khilaf...! kotor..., dan merasa aku tak suci lagi.

Kaki...
Kaki Bahurekso, ampun rama....., maafkan aku.

“Sulasih !! Apa yang telah kamu lakukan !
Kamu telah membuat wajah dukuh Cimanuk menjadi murung.
Mahkota bunga menjadi layu.

Ha...Ha.. Ha..., menjadi seorang penari Sintren? Itu tidak mudah Sulasih ! 
Para Dewa tak sudi memandangmu !
Kau harus pergi ke telaga. Temui ibumu, Nyai Dewi Lanjar. Mintalah restu padanya!
Mungkinkah air matamu dapat meluluhkan hati seorang ibu ?

Haa...haaa.haaa.. pergi, Sulasih ! jangan tunggu pelangi menjemputmu.

Dukuh Cimanuk, sepi melanda, akibat penari telah ternoda.
Para lelakinya membawa gelap, setiap wanita seakan hilang harap.

Tapi kini aku datang, membawa suluh dan terang.
Penari Sintren, akan menjelang, dukuh Cimanuk, tak akan luntur.

Di tubuhku, ada cahaya, ada degup, hidup....!

Aku telah siap, akulah yang akan menjaga Sintren yang telah mati suri.
Pada hari baik, aku datang menemui ibunda suri Nyai Dewi Lanjar.
Aku pasrah jiwa raga demi menjadi seorani penari Sintren yang suci.

Sampai akhirnya tiba untuk menggelar pentas percobaan.
Hari itu aku digarap ibunda suri, Nyai Dewi Lanjar.

Dibaluri, bedak basah.
Campuran tepung dan sari kunyit.
Kulitku jadi bersih.
Kekuningan, seperti bercahaya.
Dibalut kain, sampai ke dada.
Dililit angkin kuning, perutku.
Berjuntai sampur, merah saga.
Dari kiri, dari kanan pinggangku.
Campuran dari gelagah, getah bayang. Memperjelas alisku.
Kukunyah daun sirih, woronane nabibirku.

Susuk_susuk emas dimasukkan ke tubuhku.
Mantra_mantra pengasihan ditiupkan ke ubun_ubunku.

Aku telah siap, akulah yang akan meneruskan penari Sintren.
Sampai cintaku bersatu bersama Suliandhana, kekasih hati.

Post a Comment for "NASKAH MONOLOG [SINTREN]"