Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Contoh Membuat Konsep Garap Monolog

 Konsep Garap Monolog Trik Karya Putu Wijaya

 Monolog Trik Karya Putu Wijaya

“Salah satu ciri manusia Indonesia adalah hipokrit” begitulah pernyataan Mochtar Lubis seorang sastrawan Indonesia. Sebuah pernyataan sekaligus kritik yang cukup tajam bagi bangsa ini. Barangkali, sifat itu merupakan kebejatan yang abstrak dalam diri setiap manusia, membutuhkan proses untuk dapat menerka dan menilainya. Sifat yang sulit diungkap karena manusia yang melakukan kemunafikan akan melahirkan kemunafikan-kemunafikan baru untuk menutupi sifatnya itu. Sebagaimana para penguasa yang memimpin negeri ini berlomba-lomba menduduki tahta kekuasaan atas nama kepentingan rakyat, kepedulian dan kecintaan terhadap rakyat tetapi ternyata dibalik omong kosong itu terdapat hasrat-hasrat kemunafikan; hasrat untuk memperkaya diri sendiri, hasrat untuk menyejahterakan suatu golongan atau partai tertentu, hasrat untuk bersenang-senang diatas kursi kekuasaan, bahkan hasrat untuk memuaskan libido ekonomi dan seksualnya.

Demikianlah Putu Wijaya “menguliti” wajah orang-orang Indonesia dalam naskah monolog Trik. Saya katakan “menguliti” karena monolog ini memang tidak hendak menghadirkan sosok heroik, yang serba kuat dengan ideologinya, serba baik, serba nasionalis, serba perkasa dan selalu memekikan kemenangan. Tokoh Aku dalam monolog ini merupakan cerminan masyarakat Indonesia -manusia pada umumnya- yang bisa kalah oleh pelbagai hasrat. Tokoh aku yang digambarkan sebagai sosok yang memegang prinsip TIDAK BANGGA MENJADI ORANG INDONESIA. Prinsip yang lahir dari kepedihan, kesengsaraan, kemiskinan, dan kerakusan para penguasa yang terjadi di negerinya. Prinsip itu membawanya ke dalam kondisi penderitaan; ia harus rela diusir dari rumahnya kemudian rumahnya dihancurkan, disiksa masyarakat, dijebloskan ke dalam penjara karena dianggap sebagai penghasut dan bisa memicu terserabutnya nilai-nilai kebangsaan masyarakat di negeri ini. Bahkan, di dalam penjara, para penjahat pun berhak menyiksanya karena merasa masih punya jiwa kebangsaan yang tinggi terhadap negerinya. Walaupun mendapatkan penderitaan dalam hidupnya, tokoh Aku tetap konsisten dengan prinsipnya, bahwa ketidakbanggaan pada bangsanya lahir dari keprihatinan terhadap kondisi bangsanya yang terpuruk oleh oknum-oknum tidak bertanggung-jawab. Menjelang akhir cerita, Putu Wijaya meruntuhkan kembali karakter tokoh Aku yang telah dibangun kokoh -sebagai sosok idealis, teguh memegang prinsip, punya jiwa kebangsaan tinggi terhadap negeri- oleh sebuah hasrat libido seksual pada sosok perempuan cantik anak pak RW. Setelah tergoda oleh hasrat seksualnya, tokoh Aku kemudian rela menggadaikan prinsipnya demi mendapatkan perempuan cantik itu. Ia kemudian menjadi bangga pada Indonesia walaupun kemiskinan, korupsi, dan dekadensi moral para penguasa terus terjadi di negerinya.

Apabila direnungkan, peristiwa-peristiwa itu merupakan sebuah ironi yang tajam yang bisa menusuk ke segala penjuru perasaan. Peristiwa itu merupakan potret kelam yang sangat dekat dengan realitas di negeri ini. Ironi-ironi itu bisa kita saksikan di televisi, koran, di jalanan atau di mana pun; bagaimana orang-orang berteriak di jalanan dengan yel-yel kebangsaan diikuti dengan pengrusakan fasilitas umum, para calon pemimpin berkampanye demi kemakmuran bangsa diikuti dengan penghamburan uang untuk membeli suara, membuat iklan, mengundang artis dangdut dll, seorang Bupati terpilih yang merasa punya kecintaan pada bangsa dan rakyatnya harus dilantik dan memimpin rakyatnya di balik jeruji besi karena kasus korupsi.

Konklusi monolog ini berada di akhir cerita dan berwujud sebuah perenungan. Putu wijaya, penulis lakon ini, tidak secara jelas memberikan jawaban atas persoalan kebangsaan tetapi justru memunculkan sebuah pertanyaan sederhana “Bagaimana cara mencintai bangsa ini?”. Mungkin sebuah pertanyaan yang tidak sulit untuk dijawab tetapi mempunyai tingkat kesulitan dalam melakukannya. Seolah-olah ingin menguliti orang-orang yang munafik di negeri ini bahwa mencintai bangsa ini harus dimulai dari hal-hal kecil, kecintaan terhadap lingkungan terdekat di sekitarnya.

Konsep Garap Monolog Trik

Sebelum membuat tekstur di panggung, saya sebagai sutradara tentu perlu menyelesaikan terlebih dahulu urusan struktur naskahnya. Diatas, sekilas telah saya paparkan tema permasalahan yang ingin dibicarakan dalam naskah Trik. Analisis naskah adalah hal pertama yang dilakukan. Dalam proses ini saya sebagai sutradara bersama aktor, penata artistik dan penata musik menganalisis tokoh, alur, latar tempat dan waktu. Hasil analisis itu menghasilkan beberapa gambaran:

Tokoh

Tokoh utama atau tokoh penggerak cerita dalam naskah ini adalah tokoh Aku. Di dalam naskah, tokoh ini secara spesifik identitasnya tidak jelaskan (samar); namanya, profesinya, asalnya. Penulis lakon seolah-olah sengaja menyamarkan identitas tokoh Aku supaya bisa memberikan ruang penafsiran lebih luas bagi penonton/pembaca. Tokoh Aku ini bisa mewakili siapa saja dan bisa dialami oleh siapa saja. Karakter yang jelas dari tokoh Aku adalah seseorang yang punya pengetahuan luas tentang perkembangan dinamika kehidupan di Indonesia. Di akhir cerita, tokoh Aku mendapatkan gambaran yang jelas secara ekonomi dan status sosial bahwa ia adalah seseorang yang telah mapan. Tokoh lain dalam naskah ini adalah wartawan, pak RW, warga, polisi, napi, calon walikota, dan perempuan cantik.

Alur

Pengaluran dalam naskah ini berbentuk alur mundur atau flashback. Perisitiwa saat ini terjadi di awal dan akhir cerita, diantara kedua itu peristiwa terjadi di masa lalu.

Latar Tempat dan Waktu

Latar tempat pada awal dan akhir cerita merepresentasikan sebuah ruang di dalam rumah, dan terjadi pada masa kini. Latar tempat yang terjadi di masa lalu adalah sebuah rumah kecil, jalanan, kantor polisi, penjara, dan rumah calon walikota. Diantara adegan awal dan akhir cerita, latar waktu berubah ke masa lalu diikuti perubahan fungsi latar tempat menjadi sebuah rumah kecil di masa lalu. Rumah kecil itu kemudian berantakan dan berubah fungsi menjadi ruang di luar rumah, bisa menjadi sebuah gang atau jalan raya, kemudian menjadi ruang kantor polisi, penjara dan rumah calon walikota.

Setelah mendapatkan gambaran dari hasil analisis di atas, saya membuat konsep artisik, musik, dan pengadegan, berikut uraiannya:

Konsep Artistik

Konsep artistik ditekankan untuk bisa memperkuat peristiwa dramatis, imajinatif dan sugestif pada penonton. Selain memperkuat aspek estetis, artistik juga harus bersifat fungsional. Media yang digunakan adalah benda-benda yang bisa berfungsi ganda, seperti kursi dan meja. Fungsi kursi bisa berubah-ubah; menjadi tempat duduk, menjadi manusia, menjadi keranjang belanjaan, menjadi loteng, dll. Setting panggung yang statis berupa level di belakang tengah panggung dan kiri depan panggung. Fungsi level juga menjadi pembeda ruang peristiwa. Level kiri depan digunakan untuk ruang sebuah rumah dan penjara. Lantai panggung didominasi warna merah dan putih. Masing-masing warna menggunakan material yang berbeda; setengah panggung -dari tengah sampai belakang panggung- terhampar karpet warna merah dan sebagiannya lagi –dari tengah sampai depan panggung- terhampar potongan-potongan kertas berwarna putih. Kedua material ini juga untuk mempertegas dua ruang dan waktu, masa kini dan masa lalu. Karpet merepresentasikan realitas dan potongan kertas memperkuat bayangan, imajinasi dan pengalaman masa lalu. Selain itu juga mengandung unsur-unsur simbolis. Unsur simbolis ini untuk memberikan ruang imajinatif dan penafsiran yang lebih luas bagi penonton, misalnya: karpet dan potongan kertas bisa ditafsirkan apapun. Di kanan depan panggung berdiri tegak tiang dan bendera Indonesia. Selain berfungsi untuk keseimbangan panggung juga untuk beberapa adegan bisa memperkuat ruang peristiwa, misalnya ketika kursi ditempatkan di samping tiang itu maka ruang berubah menjadi sebuah kantor polisi.

Konsep Musik

Musik merupakan salah satu elemen penting dalam teater dan memegang peranan penting untuk terlaksananya sebuah pertunjukan teater. Hal ini berkaitan dengan sifat seni pertunjukan yang dapat diapresiasi dengan berbagai indra yang terdapat pada tubuh kita. Sebagai contoh, untuk menikmatii unsur audio (musik, suara dialog, tata bunyi, dan berbagai suara lainnya) dapat diapresiasi melalui indra pendengaran, kemudian diteruskan ke rasa dan akhirnya menimbulkan sikap apresiatif.

Musik dalam teater mewakili semua hal yang bersifat auditif, untuk itulah diperlukan perhatian yang sungguh-sungguh dalam menggarap elemen musik dalam teater, sehingga dapat mendukung pementasan dan menjadi pelengkap sekaligus membuktikan bahwa musik merupakan salah satu elemen penting yang terdapat dalam teater. Salah satu fungsi yang dapat memperkuat posisi musik dalam teater adalah: musik dapat memberikan interpretasi yang sama kuatnya terhadap adegan yang sedang berlangsung di panggung teater dalam dimensi auditif. Fungsi musik lebih ditekankan untuk membantu suasana, pengatur dinamika, latar tempat, latar waktu, dan memperkuat adegan-adegan dramatis. Kami menggunakan iringan musik live maupun dengan media digital (komputer).

Adegan

Adegan 1

Dalam adegan awal ini saya coba menggambarkan suasana pagi hari di sebuah rumah dengan ditandai oleh suara-suara berita dari televisi tentang kasus korupsi, kerusuhan, bencana alam, dan segala penderitaan yang terjadi di Indonesia. Setelah beberapa saat munculah tokoh Aku dengan handuk di kepala, pakai kaos biasa, dan celana pendek menggambarkan bahwa ia habis mandi. Ia bercerita tentang masa lalunya, pengalaman saat diwawancara oleh wartawan. Perubahan tokoh Aku ke tokoh wartawan ditandai dengan perubahan fungsi handuk. Karakter tokoh wartawan digambarkan dengan gestur seorang banci, hal itu untuk merepresentasikan seorang wartawan picisan yang gemar bergosip.

Adegan 2

Adegan ini adalah adegan mengintip anak pak RW mandi. Fungsi kursi dan meja di adegan 1 berubah menjadi sebuah loteng di atas rumah. Dalam adegan mengintip, tokoh Aku mengalami ektase luar biasa menikmati tubuh perempuan tanpa busana. Digambarkan dengan akting representatif atau dilebih-lebihkan, seperti dengan koreografi dan diiringi musik yang seolah-olah melayang menikmati segala bentuk kenikmatan. Di sini perubahan ruang dan waktu telah terjadi. Ruang dan waktu telah berubah ke masa lalu.

Adegan 3

Adegan berlanjut ketika Pak RW datang dan mengusir tokoh Aku. Warga pun ikut mengamuk dan menghancurkan rumah tokoh Aku. Dalam pengadegan kerusuhan ini, saya gambarkan dengan koreografi. Koreografi ini untuk memperkuat peristiwa ironis ulah para warga. Warga-warga yang merasa punya rasa kebangsaan tinggi tetapi gemar melakukan tindakan anarkis. Koreografi itu menggambarkan bahwa tindakan anarkis itu seperti sesuatu yang menyenangkan sehingga nilai-nilai kemanusiaan menjadi tidak penting lagi. Koreografi ini juga berfungsi untuk mengubah setting ke adegan selanjutnya. Kursi-kursi yang berada di atas level (kiri depan panggung) dilemparkan keluar panggung.

Adegan 4

Setelah diusir, tokoh Aku kemudian melarikan diri dan melapor ke kantor polisi. Tetapi di sana polisi malah menjebloskan ke dalam penjara. Ruang penjara menggunakan level yang berada di kiri depan panggung. Di dalam penjara tokoh Aku mendapatkan penyiksaan oleh para napi. Pengadegan penyiksaan ini menggunakan laku imajinasi . Tokoh Aku seolah-olah ditendang, dipukul, diseret, dan hampir disodomi.

Adegan 5

Tokoh Aku diselamatkan oleh pak RW, suruhan calon walikota. Tokoh Aku diajak ke rumah calon walikota. Perubahan ruang dan waktu ini dengan memainkan dan memindahkan posisi kursi. Dengan gesture imajinatif, rumah calon walikota itu digambarkan sebuah rumah yang sangat besar.

Adegan 6

Adegan ini adalah pidato calon walikota di depan para wartawan. Isi pidato di dalam naskah sangat panjang jadi butuh penyiasatan pengadegan supaya tidak monoton. Pada umumnya orang yang pidato hanya berdiri di satu tempat tanpa adanya moving posisi. Tapi dalam pengadegan pidato ini saya buat dengan dua cara teknik akting, yaitu: akting presentatif dan akting representatif. Akting presentatif adalah akting yang berusaha mendekati pada realitas sebenarnya dan akting representatif merupakan akting yang mengandung stilisasi atau ada sesuatu pembesaran gestur tokoh. Pada akting representatif pidato, calon walikota berubah menjadi seperti tokoh dalam pewayangan, cara berdialognya sambil menari dan menyanyi.

Adegan 7

Adegan ini adalah adegan tokoh Aku dibujuk untuk mengubah prisipnya. Jurus pamungkas bujuk rayu ini adalah dengan mempertemukan tokoh Aku dengan perempuan cantik yang tak sengaja diintip waktu mandi tempo hari. Ketika tokoh Aku melihat perempuan itu imajinasinya mulai berkeliaran. Imajinasi-imajinasi tokoh Aku digambarkan dengan akting repsentatif dan sentuhan koreografi. Tokoh Aku berhasil dirayu oleh perempuan itu tetapi ternyata imajinasi untuk bisa memiliki perempuan itu sirna karena perempuan itu telah dijodohkan dengan anak calon walikota.

Adegan 8

Adegan ini adalah adegan akhir cerita. Setting panggung kembali lagi ke adegan awal untuk menunjukan bahwa peristiwa dari adegan 2 sampai adegan 7 hanyalah bayangan masa lalu. Terdengar lagi suara-suara berita di televisi. Adegan ini menggambarkan lanjutan dari adegan 1.

Demikianlah sekilas gambaran pertunjukan monolog Trik yang kami garap. Saya tidak berkiblat pada satu aliran teater. Segala pendekatan teknik/aliran teater kami pakai. Konsep garap ini menjadi pijakan kami untuk menghidupkan dan menyampaikan pesan-pesan yang terkandung dalam teks. Saya sebagai sutradara ingin mengajak penonton larut ke dalam pelbagai macam peristiwa yang dihadirkan namun tetap memberikan ruang-ruang alienasi pada penonton supaya penonton mempunyai sikap kritis terhadap pertunjukan.    

Post a Comment for " Contoh Membuat Konsep Garap Monolog "