Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sepotong Budaya dalam Kenduri oleh Supali Kasim

    Setelah Indonesia merdeka tujuh puluh tujuh tahun lalu, baru kali ini muncul Undang-undang yang mengatur secara lengkap tentang kebudayaan, yakni UU Nomor 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Arahnya bukan hanya pelestarian, karena sejatinya kebudayaan itu dinamis, tidak statis. Arahnya adalah memajukan. Dalam UU tersebut tercantum sepuluh obyek, yakni 1) tradisi lisan, 2) manuskrip, 3) adat-istiadat, 4) permainan rakyat, 5) olahraga tradisional, 6) pengetahuan tradisional, 7) teknologi tradisional, 8) seni, 9) bahasa, dan 10) ritus.

Salah satu obyek itu adalah ritus/ritual, atau bisa juga disebut upacara adat. Di Indramayu secara umum terdiri dari dua penggolongan, yakni pertama Upacara Adat Desa/Masyarakat, antara lain berupa Sedekah Bumi, Mapag Sri, Ngunjung, Mermulé, Ngarot, Nadran, Baritan, Mapag Tamba; kedua, Upacara Adat dalam Keluarga, antara lain berupa Ngupati, Memitu/Mitung Wulan, Nglolosi, Puputan, Mudun Lemah, Ruwatan, Bobotan, Nyunati, Ngawinaken, Munggah Susuhunan, Ngrawun, Nelung Dina, Mitung Dina, dst.

Beberapa dari ritual tersebut ada yang mengarah untuk menggapai tujuan ritual kesuburan, ada pula pada orintasi lain, seperti memperingati daur hidup, mengusir wabah penyakit, melindungi dari marabahaya, sebagai presentasi estetis, sebagai penggugah solidaritas sosial, dan pembangun integritas sosial. Pada kaitan ini budaya Dermayu kentara sekali sebagai upaya melanjutkan warisan leluhur. Di sisi lainnya adalah memantapkan sistem sosial dan  mekanisme dalam memaknai sesuatu.

Salah satu fungsi yang melekat pada ritual tersebut adalah munculnya identitas daerah, sebuah kekhasan yang menjadi pembeda. Bagaimana budaya Dermayu –yang bukan Jawa bukan Sunda, tetapi juga sebagian dipengaruhi Jawa dan Sunda—membentuk identitasya sendiri. Identitas tersebut kemudian menjadi semacam “prototipe” kebudayaan yang diuji dan dipraktikkan secara kemasyarakatan tanpa adanya komando.

Secara historis, dua kebudayaan besar, Jawa dan Sunda, berada pada garis yang paling dekat dan dalam di wilayah Indramayu. Setidak-tidaknya pada tahun 1513-1515, pengelana Portugis, Tome Pires, mencatat sungai Cimanuk adalah batas Kerajaan Sunda (Pajajaran) dan Kerajaan Jawa (Majapahit). Dari situ dua kebudayaan besar mencatatkan artefak kebudayaannya. Akan tetapi, arah angin timur tampaknya lebih kuat, sebab setelah era itu berturut-turut pengaruh kultur Jawa pada tahun 1500-an dari Kesultanan Demak dan Cirebon, tahun 1600-an pengaruh Kesulatnan Mataram, serta tahun 1900-an migrasi orang-orang Brebes dan Tegal ke wilayah sekitar Haurgeulis dan Anjatan.

Secara kalkulasi pengaruh kultur Jawa lebih kuat, sehingga tidak heran berdasarkan catatan Seminar Bahasa Daerah (2016), tercatat pengguna bahasa Jawa Dermayu mencapai 90% di Kabupaten Indramayu. Hal itu menunjukkan keselarasan antara bahasa daerah dan budaya daerah.       

Akhir-akhir ini muncul ritual baru bernama Pawidya atau upacara adat pelepasan siswa sekolah yang telah lulus. Secara harfiah, ada yang mengartikan Pawidya adalah pelepasan siswa yang lulus. Ada pula yang mengartikan sebagai akronim dari Purna Widya (tamat dari pendidikan).

Pada tulisan ini merupakan suatu tawaran upacara adat pelepasan siswa (Pawidya) penuh dengan unsur-unsur budaya Dermayu, terutama sekali pada dua hal, yakni laras gamelan dan bahasa daerahnya. Unsur laras gamelan terlihat pada pemilihan laras gamelan dengan tetalu, jipang, bendrong, kratagan dengan laras gamelan Dermayu. Sedangkan pada bahasa daerah bisa didapatkan pada tembang macapat dan puisi.

Tembang dengan pupuh “Sinom” dipilih, karena memiliki karakter yang optimis, hatinya bagus, penuh wasiat dan nasihat. Sedangkan pupuh “Mijil” dipilih, karena memiliki karakter penuh nasihat, menggambarkan peristiwa yang penuh persetujuan, dan disisipi dengan nasihat.

Baik puisi maupun teks tembang macapat Mijil yang ditawarkan merupakan kreasi penulis.

Berikut ini alternatif yang ditawarkan dengan urutannya sebagai berikut:

Pemilihan bentuk dan skema upacara adat Pawidya merupakan hak siapapun. Meski demikian, sebagai manusia berbudaya yang memiliki konsistensi dalam prinsip “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, atau juga “Desa mawa tata, nagri mawa ciri”,  budaya setempat merupakan alternatif utama.

 Indramayu, 2 November 2022

*makalah disampaikan pada Lokakarya Upacara Adat Pelepasan Siswa/Pawidya, HUT PGRI ke-77 tingkat Kabupaten Indramayu di Gedung PGRI Kabupaten Indramayu, Kamis, 3 November 2022.

*Supali Kasim, pemerhati budaya Dermayu








Post a Comment for "Sepotong Budaya dalam Kenduri oleh Supali Kasim"