Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

NOVEL PUTRI NADERA KARYA SITI KARINA


Angin berhembus kencang, menerbangkan dedaunan kering masuk menuju jendela. Dia terbangun dengan tenang, menyadari hari sudah mulai petang.

Disaat remaja sebayanya hendak pulang ke rumah setelah setengah hari belajar di sekolah, lain halnya dengan Rai yang selalu mencuri kesempatan untuk tidur bahkan menginap di perpustakaan sekolahnya.

Ia membuka matanya dengan perlahan kemudian berucap "dingin. Sudah masuk musim gugur rupanya. Haruskah aku pulang kerumah?"

Baginya 'pulang' seolah tak pantas menjadi pilihan. rumah yang seharusnya menjadi tempat terbaik untuk pulang beristirahat, namun bagi Rai justru tampak seperti tempat pengadilan bagi para narapidana.

"Ah, tidak mungkin!" Rai beranjak dari duduknya, berjalan menuju jendela dan hendak menutupnya.

"Bagaimana aku bisa bertahan di musim dingin ke depan?"

Tanpa sadar, retinanya bergulir ke arah seseorang yang terduduk di atas sofa dengan memainkan jari jemarinya.

Rai tidak dapat melihat wajah orang itu, namun Rai tampak yakin bahwa yang dilihatnya adalah seorang perempuan.

"Ah, baiklah aku akan pergi sekarang. Aku tidak akan menginap disini lagi. terlalu banyak pengadu disini." Rai segera mengambil tasnya, hendak pergi dari sana.

"Tunggu!" mendengar suara wanita itu, langkah Rai terhenti lantas berbalik. "Apa? Kau mau mengancam ku?"

Masih menduduki sofa di belakang rak buku, wanita itu berucap "Apa kau tidak merasa ada sesuatu yang telah kau lupakan?"

"Sepertinya aku sudah mengemasi semua barang-barangku." jawab Rai

"Begitu...rupanya." entah kenapa suara wanita itu justru terdengar sangat kecewa.

Rai tidak memperdulikannya, kemudian ia berjalan menuruni tangga. Memangnya siapa orang yang berani menginjakkan diri di bekas perpustakaan sekolah yang dianggap angker oleh hampir semua warga, selain dirinya? Jujur saja, ada banyak pertanyaan yang ingin Rai lontarkan pada wanita itu, namun saat ini Rai terlalu lelah bahkan untuk berbicara.

Rai mengusak wajahnya dengan kasar. Ia melihat penjaga sekolah masih berjaga di area gerbang.

"Hei, nak! Kenapa masih disini? Cepat pulang!" tegur penjaga sekolah pada Rai.

Rai berdecak lantas mempercepat langkahnya. Sekilas ia sempat melirik ke jendela lantai atas perpustakaan yang menampakkan wajah perempuan itu. Tangan yang menumpu dagu, dan Rambut hitam pekatnya yang berkibar seolah mengikuti arah nyanyian angin, membuat Rai sedikit lupa akan kemana tujuannya.

"Apa dia murid baru disini?" tanya Rai pada dirinya sendiri. Tampak Cukup jelas senyuman yang tercetak di bibirnya, yang membuat Rai semakin terhanyut akan suasana dan pesonanya, meski wajah wanita itu tidak dapat dilihat dengan jelas dari jarak yang cukup jauh.

"Hallo? Ayah dimana? Ibu lapar, Ani juga lapar. Ayah bawakan kita makanan yang enak, kan?"

"Oh putri kecilku! Tentu ayah bawakan kamu dan ibu makanan yang enak! Ayam goreng. Kamu suka ayam goreng, kan? Ayah akan segera pulang! Dah..."

Rai segera tersadar oleh percakapan telfon penjaga sekolah dengan putrinya. Ia terdiam sejenak mendengarnya. sepertinya dia Ayah yang baik.

Tunggu!

"Dimana ponselku? Apa tertinggal di meja perpustakaan?" seumur hidupnya Ia tak pernah merasa begitu ceroboh seperti sekarang. Yang benar saja Rai harus kembali kedalam dan bertemu wanita yang baru saja ia tatap dengan senyuman.

"T-tunggu sebentar, pak. Ponselku tertinggal di dalam. Aku tidak akan lama." ucap Rai kepada penjaga sekolah dan langsung berlari ke dalam.

Dan benar saja, ponselnya masih berada di atas meja tempatnya tertidur. "Hah, untung saja!"

Kemudian Rai melirik kursi disampingnya. Di bawah sana terdapat sebuah buku tebal yang tampak familiar baginya.

Rai mengambil buku itu "Uhuk! berdebu."

"Apa buku ini milik wanita itu?" tanpa sadar Rai sudah membuka lembaran demi lembaran buku itu.

Di lembar ke 4 tertulis 'aku lahir karena ibu. Aku besar karena ibu. Aku menderita karena Ibu berubah, berubah jadi lebih muda, lebih cantik, lebih mencintai ayah, dan memiliki lebih banyak kebencian terhadapku.'

Lembar ke 5 'ayah bilang ibu menyayangiku karena aku adalah anak satu satunya yang ibu punya. Tapi Kak Raina bilang, ibu adalah ibu Kak Raina, bukan ibuku. Sebenarnya siapa yang benar?'

"Ini... Buku ku?"

Rai masih mengingat jelas buku Hariannya yang banyak ditulis pada umurnya 12 tahun, kemudian hilang pada tahun berikutnya.

Sudah terhitung 5 tahun sejak buku ini menghilang. Pada saat buku ini menghilang, Rai masih duduk di bangku kelas 7 SMP. Lantas mengapa buku ini ditemukan di perpustakaan SMA nya? Siapa kah yang menemukan dan sengaja menaruhnya disini?

"Aku pikir aku tahu siapa yang menemukan buku ini. Dia pasti memiliki alasan yang kuat untuk mengembalikannya kepadaku." Rai sengaja melantangkan ucapannya, agar wanita itu mendengar suaranya.

Namun tak ada jawaban darinya.

Apa dia sudah pergi?

Rai mendekat ke tempat awal wanita itu berada, namun Rai tak menemukan keberadaannya.

Sepertinya memang sudah pergi.

Jikapun wanita itu masih disini, Rai terlalu malu untuk mengakui bahwa buku harian ini adalah miliknya, karena kemungkinan besar wanita itu sudah membaca seluruh isi bukunya.

Rai segera keluar dari sekolah dengan membawa buku hariannya.

...

Berjalan tak tentu arah mengikuti siulan angin, membuatnya tak menyadari bahwa dirinya sudah berada di jalanan sepi mengarah ke pinggiran kota.

Rai menjatuhkan tasnya, Kemudian berjalan ringan sembari menangkap daun kering yang berterbangan di sekelilingnya.

Ia tersenyum manis

Rai merasa hidupnya beruntung, karena dapat terbebas dari segala aturan memuakkan keluarganya.

Namun dengan pilihannya, Rai tak cukup yakin bisa bertahan hidup di dunia ini.

Kresek...

Citt..citt..citt

diantara semak belukar, Ia melihat seekor burung kecil dalam sangkar indah dengan polesan warna emas di setiap ukirannya.

Dilihat dari jejak jatuhnya, sepertinya burung kecil itu terjatuh bersama sangkarnya dari atas tebing yang tidak terlalu tinggi.


Rai membuka pintu sangkar dan mengambil burung kecil itu "Apa kau ingin bebas juga, burung kecil?" Kemudian ia menerbangkan burung kecil itu jauh ke atas.

Bukan dengan kekuatan, sedetik menggunakan sayap yang luka, burung itu berada di puncak tertinggi yang bisa ia gapai, Namun burung itu tidak memiliki pijakan untuk menahannya tetap berada di atas, akhirnya burung itu terjatuh dengan mengenaskan.

Pada akhirnya semuanya berakhir sama. Dimana kamu membutuhkan orang yang dapat mengangkatmu tinggi setinggi langit, menggunakan perasaan yang sama denganmu, namun dipatahkan oleh waktu, kapan kita bersatu? atau kapan semuanya berakhir hingga tak ada alasan untuknya membantumu lagi.

"Apa yang telah kulakukan?!" Rai berlari menghampiri burung kecil yang terjatuh dan terus berguling menuju sungai.

Tinnn..

Tinn..

Tinn..

"Hei minggir dari jalan!"

Tinn..

Tinn..

Entah kenapa jalanan yang sepi, kini menjadi ramai pengendara. Rai berada di tengah jalan dengan perasaan campur aduk.

Sebuah mobil pribadi dari belakangnya melaju dengan kencang menuju ke arah Rai.

Ia tak punya waktu untuk menghindar. Ia pasrah. Mungkin ini saatnya.

Tinn..

Brukk

Hening...

Ternyata kematian tidak sesakit yang dibayangkan

Rai merasakan pelukan seseorang, Ia membuka matanya

"Apa yang kau lakukan di tengah jalan, bodoh?!" wanita itu? Wanita yang ia temui di perpustakaan, menyelamatkannya?

Rai mencoba untuk mencerna situasi apa yang sedang dialaminya.

Aku masih hidup? Benarkah?

Rai meraba pipinya kemudian menampar dirinya sendiri

"T-tadi itu apa?" Rai masih belum bisa tenang, ditambah kini para pengendara dan pejalan kaki mengerumuni mereka berdua.

"Kau gila atau apa sih? Silahkan kalau kau mau mati, tapi jangan membuat ayah seseorang masuk penjara karena ulahmu!" teriak wanita itu. Dia juga gemetar, terlihat tangan kirinya yang berlumuran darah karena terserempet mobil saat menyelamatkan Rai.

Rai diam dan menunduk.

"Lain kali hati-hati nak."

"Jangan melamun ditengah jalan!"

"Menyusahkan saja!"

"Untung saja dia tidak mati."

Ucap warga yang mengerumuni mereka berdua.

"Nak, apa kau perlu dibawa ke puskesmas? Tanganmu berlumuran darah."

"Tidak, terimakasih. Aku akan merawat lukaku sendiri." jawab wanita itu

"Sudah sudah, tidak ada yang perlu dicemaskan. Jangan berkerumun di tengah jalan, mari kita pulang!"

Kerumunan warga mulai berkurang, sampai dimana hanya ada Rai dan wanita itu.

Wanita itu kebingungan. kenapa anak ini diam saja?

Rai menunduk untuk waktu yang cukup lama. Akhirnya Rai bersuara "terimakasih." masih dalam posisi menunduk

Wanita itu mengernyit "ya? Lain kali jika kau mau mati, bunuh diri saja, jangan menyusahkan orang lain, mengerti?"

Rai tersenyum "ya, aku mengerti." sepertinya Rai sudah cukup tenang sekarang. Ia mengangkat kepalanya, kemudian melihat luka wanita itu.

"Apa kau terluka karena menyelamatkanku?"

Wanita itu menyembunyikan tangannya "Ya, tapi ini tidak sesakit yang kau bayangkan, karena ini lukaku, bukan lukamu."

"Aku tidak mau memiliki hutang budi. Kemari biar ku obati." Rai mengeluarkan kotak p3k di tasnya, kemudian mengobati luka wanita itu.

"Siapa namamu?" tanya Rai

"Nara..." jawab wanita itu dengan ragu ragu

Rai mengernyit "Nara? Baiklah Nara, apa kau yang menemukan buku itu?" Rai menunjuk buku hariannya

"Ya. Tanpa perlu aku membaca buku itu, aku sudah tau apa yang ada di dalamnya, bahkan yang kau tidak tahu, mungkin juga tidak ingat." jawab Nara

"Ah, aku terlalu malu untuk marah kepadamu. jadi sudahlah, aku akan memaafkanmu." Rai pikir Nara tetap sudah membaca buku hariannya. Itu adalah sebuah kejahatan, namun jika Rai menemukan buku harian seseorang, Rai juga akan membaca buku itu. Jadi ia memakluminya.

"Sudahlah, ayo kita pulang!" ajak Nara

Rai mengernyit "Kita?"

...............

Tak terasa sudah selama 6 bulan mereka kini menjadi dekat.

Hidup Rai semakin berwarna dengan adanya sosok Nara yang selalu berbicara jujur dan blak blak an, meski terkadang perkataannya itu menyakiti orang lain. namun masih ada banyak kebaikan dalam diri Nara, karena Rai yang selalu ada untuk menasehatinya.

Jika ada yang bertanya apakah Rai menyukai Nara, maka jawabannya adalah "aku tidak tahu."

"Jika kau merasa Nara itu sangat berharga bagimu, namun kau tidak menyukainya, apakah kelak dia akan selalu ada disisimu?" pertanyaan itu dilontarkan oleh teman sekelas Rai yang juga menyukai Nara.

"Kau itu egois! Nara itu sangat menyukaimu, dan kalian sangat dekat, Namun kau menolak perasaannya. Disaat Nara mulai dekat denganku, kau justru merasa telah Dikhianati olehnya,"

"Kau menolak perasaannya, namun kau ingin Tetap Nara berada di sisimu? Kau benar benar egois!"

"Rai, kau tau kan betapa aku sangat mencintaimu?"

"Ya, aku juga menyukaimu, Nara."

Nara berkata bahwa aku tidak bisa membedakan mana rasa suka dan mana cinta

Bagiku Kata cinta terasa sangat menjijikan. Sulit untuk diucapkan. Jika aku berkata bahwa aku mencintai Nara, Nara berkata bahwa ia akan menjauhiku.

Untuk itu aku takut.

Anak itu pergi meninggalkan Rai sendirian dengan amarah.

Rai menunduk menatap kebawah dari balkon.

Ia merasakan pelukan seseorang

"Nara?!" Rai berbalik, menarik tangan Nara dan segera memeluknya dengan erat "Ini seperti saat kau menyelamatkan ku dulu. Waktu itu kau memelukku, dan kini aku memelukmu."

"Rai, ini akan segera berakhir." ucap Nara dengan lirih

"Apa yang perlu diakhiri?" Rai melepaskan pelukannya, kemudian mencium kening Nara "aku sadar bahwa selama ini, aku mencintaimu. aku terlalu takut untuk mengatakannya. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Nara."

Nara tersenyum pahit "Aku pernah mengatakan jika kau mencintaiku, maka aku akan meninggalkanmu."

Rai terkekeh "tidak mungkin." ia berbicara seolah yakin bahwa Nara tak sungguh sungguh dengan ucapan 'akan meninggalkannya' itu.

Seolah melihat kilatan petir, Rai terkejut dengan tatapan mata Nara kepadanya yang berubah drastis, dari tatapan lembut menjadi tatapan penuh kebencian.

"Kurasa memang bukan kamu.dan Ini salahku." ucap Nara

"Apa maksudmu? Apa maksud dari kes...ala...

Tubuh Rai di dorong oleh Nara.

...han?"

Ia terjatuh dari lantai tertinggi gedung sekolahnya. Tak sanggup berteriak.

Ia bertanya kepada dirinya sendiri "Kenapa?"

Dedaunan kering mengikuti jatuhnya. Menemani hingga akhir, bersama semua pertanyaannya.

Untuk pertama kalinya Rai merasakan sakit yang sangat luar biasa.

Di ambang kematiannya, Rai tidak memikirkan apa yang telah diperbuat Nara, namun ia memikirkan kematiannya sendiri. "Kenapa bisa sesakit ini?"

"Ibu..."

****

Prolog End

(08-08-2022)

----

Cahaya panas yang memantul di tanah tandus, asap hitam terbang bagai awan, dan jerit kesakitan dari kuda perkasa membuat perjuangan menuju kemenangan semakin dekat.

Disana, dentingan pedang sudah tak terdengar, hanya ada kesunyian di lapang.

Seorang pemuda menjatuhkan pedangnya, keringat bercucuran dengan darah dari luka yang diterimanya. Ia menatap kosong kebawah, melihat jenderal perang lawan tertunduk dihadapannya.

ia melihat sekeliling, prajuritnya telah tumbang begitupun dengan prajurit lawan.

Kemudian munculah siluet ibunya yang membuatnya meneteskan air mata.

Ibunya tersenyum dibalik cadar lantas berucap "ibu menyayangimu, tapi bukan ini yang ibu inginkan..."

"...Rasa sakit hati ini tidak sebanding dengan kematian..."

"Nak... Jangan jadikan ibu sebagai alasan bagi dendam duniawimu. Mari kita akhiri semua ini..." di akhir kalimatnya, ia mengulurkan tangannya.

Ia menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Hawa sejuk yang dapat melupakan rasa sakitnya, kemudian mereka berjalan bersama melewati jembatan panjang.

Jembatan itu sudah sangat tua. Ada banyak celah disetiap papan yang dipijaknya. Ia menggendong ibunya menuju sebrang, dan menurunkannya dengan aman. Satu langkah dari celah papan yang dipijaknya, dan satu langkah itu pula membuatnya jatuh kebawah. Ia sempat meraih tangan ibunya, namun terlambat. Kemudian Ia terjatuh bersama gelang milik ibunya.

"Ibu..."

"Aku tidak ingin jatuh sendirian. Tapi aku tidak mau ibu jatuh untuk kedua kalinya. Kali ini biar aku saja."

Matanya perlahan tertutup, namun terhenti ketika melihat seorang pemuda yang juga terjatuh kebawah bersamanya.

"Kau adalah aku, aku adalah diriku."

Ia terjatuh semakin cepat, bahkan lebih cepat dari jatuhnya pemuda itu.

Ia tersenyum "Secepat ini, kematian?"

***

Ia terbangun di tanah tandus, pipinya menempel di tanah, tangannya berada di genangan darah dengan pedang yang digenggamnya.

Ia bangkit kemudian melihat kepala jenderal yang menggelinding dibawah kakinya. Ia berteriak takut sekencang kencangnya, Tak sanggup membuka mata.


Suara petasan semakin mengagetkannya. Pasukan berkuda datang dari arah selatan, mengibarkan bendera kemenangan.

Itu adalah bala bantuan dari wilayah sekitar. Namun tak disangka perang sudah berakhir sesaat mereka tiba.

Ia menutup mata dan telinganya, dengan jantung yang berdegup kencang.

"Kies! Kau menang!" seorang gadis cantik turun dari kuda dan langsung memeluknya.

"Kau sangat hebat!"

"Kita menang!"

"Akhirnya kita mendapatkan kembali wilayah Zar berkat Yang mulia Duke Kies Arabah!"

"Hebat!!!"

"Kaulah kebanggaan kekaisaran!"

Kepalanya terasa seperti batu besar yang berdiri di seutas tali, sungguh berat. Ia membuka matanya, melihat banyak siluet bermunculan di sekitarnya. tubuhnya sudah tak dapat dikontrol, akhirnya ia pun tumbang.

***



Rai terbangun di sebuah kamar mewah yang hangat. Ia terduduk di ranjangnya. "Akh, kepalaku sakit sekali..."

"Ah, Anda sudah bangun?!" kejut seorang pelayan wanita yang langsung menghampirinya dengan cemas.

Rai mengerjapkan matanya, Masih berkunang kunang. "Shh... aku kenapa?"

"Anda telah berjasa besar dalam memperebutkan wilayah kekuasaan Anda. Sekarang kota Zar telah resmi menjadi bagian dari wilayah timur. Kaisar sangat senang mendengarnya, dan beberapa hari lagi akan diadakan pesta perayaan di istana." jawab pelayan itu.

Rai membelakkan matanya "hah, Kaisar? Apa maksudmu?"

Sungguh bingung. Rai tidak tahu situasi apa yang sedang di hadapinya. Apakah ini mimpi?

Mimpi yang sangat menyakitkan, seolah nyawanya memang benar benar tercabut. Rai tidak ingin mengalaminya lagi.

"Saya akan memberi tahu Tuan Resad. tolong jangan banyak bergerak, anda masih belum pulih." pelayan itu keluar meninggalkan kamar.

Rai rasa seluruh tubuhnya begitu ringan, namun Rai tak dapat mengontrolnya.

Rai melangkahkan satu kakinya turun dari ranjang. Ia melihat jika kakinya telah menyentuh lantai, namun ia tak dapat merasakannya. Tubuhnya seolah bukan miliknya.

Brukk

"Tuan!" teriak pelayan itu yang sudah kembali ke kamarnya. "Sudah saya bilang, anda tidak boleh banyak bergerak!" pelayan itu bergerak memapah Rai.

Tiba tiba datanglah seorang gadis cantik yang sepertinya pernah Rai temui, tapi dimana? Di mimpi? Tanah tandus berdarah dengan pasukan berkuda yang membawa seorang gadis cantik, kemudian memeluk Rai. "berani beraninya seorang pelayan rendahan sepertimu menyentuh tunanganku!"

Pelayang tersebut tersungkur karena dorongan gadis itu. "Maaf Putri Almira, saya tidak bermaksud mendekati Tuan Duke. saya hanya berniat menolongnya."

Dengan mata merah penuh amarah, putri Almira menampar pelayan itu sekuat kuatnya. "Dasar tidak tahu diri! kau harusnya tahu dimana posisi-"

"Hentikan!"

Keduanya sontak terdiam ketika mendengar suara Rai.

"Apa apaan kalian ini?!" sahut Tuan Resad, yang datang bersama tabib dan beberapa pelayan lainnya.

Tubuh Tuan Resad begitu tinggi dan gagah, meski usianya yang sudah menginjak 68 tahun. Rambut kepalanya sudah memutih, suaranya berat nan serak, dan mata emasnya menambah daya tarik dari penampilannya.

"Anakku Kies, baru saja siuman. Jika kalian ingin bertengkar, silahkan keluar dari sini!"

Putri Almira segera menggenggam tangan Tuan Resad "m-maaf paman, saya bersikap seperti ini karena ada seorang pelayan kurang ajar yang berani menyentuh tubuh Kies."

Tuan Resad lantas melirik tajam pelayan tersebut "cambuk dia."

Suara datar nan dingin itu membuat bulu kuduk siapapun yang mendengarnya berdiri. "S-saya mohon maaf, tuan!" mohon pelayan tersebut saat diseret keluar.

Melihat kejadian seperti ini di hadapannya, Rai yang dulu tidak akan tinggal diam. Tapi mengapa, sekarang seolah semuanya terasa seperti sangat familiar, bahkan Rai tak sanggup untuk menghentikannya.

"Kies, apa kau baik baik saja? Biar ku bantu kau berdiri." ucap Putri Almira

Rai dan Tuan Resad kini sedang bertatap. Tatapan Tuan Resad seolah menyayangkan suatu hal dari diri Rai. mengapa? Tak ada sedikitpun kehangatan dari tatapannya.

"Istirahatlah, selama kau sakit aku akan menggantikan mu mengurus semuanya." Tuan Resad berbalik lantas meninggalkan kamar tersebut.

"Tidak. Tidak akan pernah." sebuah kalimat tanpa sadar Rai ucapkan. Ia pun bingung.

"Ada apa, Kies?" tanya Putri Almira.

"T-tidak, aku ingin istirahat. tolong keluar dari sini." jawab Rai yang langsung mendapat anggukkan dari Putri Almira.

Rai merebahkan dirinya di ranjang. Matanya tak sanggup terpejam. Ia takut kejadian memilukan itu terjadi lagi dalam mimpinya, namun jika ia tidak tidur maka dirinya tidak bisa bangun. Ia menganggap semua yang terjadi di hari ini hanyalah sebuah mimpi, yang berakhir begitu ia bangun dari tidurnya.

"Aku tidak ingin mengalaminya lagi."

***

Rai terbangun di kamar yang sama. Kini ia merasa lebih sehat dari sebelumnya. Semuanya terasa nyata.

Rai turun dari ranjang kemudian berjalan menuju jendela. Ia kini bisa menggerakkan seluruh bagian tubuhnya dengan sadar.

Ia membuka tirai jendela. Sinar matahari pagi tampak menyoroti wajahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi? Aku dimana?"

Di halaman depan, para pelayan tampak terpesona melihat Rai yang berada di lantai atas kamar.

Oh, siapa yang tidak terpesona?

Tubuh tinggi tegap, rambut silver berkilau, retina mata emas, rahang tegas, kulit putih susu dan kemeja biru tua dengan kancing atas terbuka menambah kesan bahwa 'inilah standar ketampanan di kekaisaran'

Rai bingung menatap para pelayan yang masih memakai gaun kuno.

"Entah sekarang aku berada dimana. Disini sungguh kuno, namun semuanya terasa sangat menarik karena aku berada di kamar mewah ini. Haha, disini seperti istana."

Semakin ia membuka mata, maka semakin nyata semuanya. Rai menolak percaya, namun sorot dari sinar matahari yang mengenai matanya sangatlah nyata. silau, panas, Angin sejuk pun dapat ia rasakan.

Tingg....

Suara itu membuat Rai begitu pusing "akh!"

"Hai saudaraku. Apa kabar?" sapa dari salah satu siluet yang berlarian disekitar Rai.

"Kau pasti bingung kenapa kau ada disini. Biar kujelaskan."

"Kau adalah aku, namun aku bukan kau. Kematianku tak dapat menggantikanmu, namun kematianmu dapat menggantikan ku. Hidupku tak sebanding dengan anugerah yang telah diberikan kepadamu."

"Aku adalah Kies Arabah, Duke di wilayah timur kekaisaran Rozeth. Umurku 24 tahun. Aku merupakan satu satunya anak laki laki yang ayahku punya. Ya, dia Ayahku, Resad Arabah."

"Jika kau dibuat goyah olehnya, maka datanglah pada Lylia. Dia adalah kakak perempuanku yang paling baik."

"Putri Almira adalah tunanganku. Dia selalu berusaha menyatukan hubunganku dengan ayahku. niatnya baik, namun terkadang aku membencinya."

"Posisiku sebagai Duke timur sangatlah kuat, namun ayahku masih tidak rela menyerahkan jabatannya."

"Aku akan segera pergi. Aku yakin kau akan semakin paham jika kau mau berfikir."

Bayang bayang itu semakin menipis, sebelum menghilang, Rai bertanya. "kau mati?"

Rai berfikir bahwa jika dirinya ada di dalam tubuh Kies, lalu kemana Kies yang asli? Mungkin mati.

"Ya, tubuhku adalah milikmu, sekarang."

"Tapi kenapa? Apa alasan aku berada disini?" tanya Rai

"Karena kau juga mati."

Deg

Rai mematung. Jadi selama ini, dirinya memang benar benar mati? Rai mengira ini semua adalah mimpi, untuk itu ia tak terlalu ambil pusing dalam berbagai tindakannya akhir akhir ini. "Jadi sekarang aku ada dimana?" tanyanya.

Kies menunduk "kau berada di dunia fiksi."

"Ketika mengetahui hal ini, aku juga seperti kehilangan harapan dalam hidupku. Seolah semua hal yang telah aku lakukan tak ada artinya di dunia."

"Aku begitu banyak menderita. Dengan aku mati, kupikir aku akan bertukar tubuh denganmu. Nyatanya tidak." rintih Kies. Tubuhnya terduduk tak berdaya. "Kau sangat beruntung, Rai!" lanjutnya.

Rai diam mematung.

"Kuharap kau tidak menyia-nyiakan kehidupanmu kali ini, dengan mempercayai orang yang kau cintai, lagi." tubuh Kies merapuh terbang bersama angin pagi. Kepergian Kies meninggalkan beban berat bagi Rai.

Ia meninggalkan sebuah amanah. hiduplah bahagia.

Rai menatap kerapuhan kies "selamat jalan, saudaraku."

Rai memilih untuk mengesampingkan egonya. Yang dikatakan Kies itu sangatlah benar. Rai beruntung bisa benar benar hidup di dunia nyata. Semua yang dilakukannya berdampak pada masa depan, bukan mengikuti alur cerita yang dibuat. Rai mengasihaninya.

Kehidupan Kies sudah berakhir. Saat ini hanya ada Rai yang mengisi kekosongan dalam tubuh kies, yaitu Kehidupan.

"Aku akan hidup dalam tubuhmu, namun aku akan tetap hidup sebagai diriku sendiri. Terimakasih, Kies."

***

(30-08-2022)

Sebenarnya Rai tak ingin berada dalam bayang bayang masalalunya. Mengingat keluarganya yang tidak harmonis, dan dirinya yang di dorong oleh orang yang ia cinta, membuatnya seolah masih hidup dalam dunia nyata.

Rai berjalan jalan menyusuri lorong.

Dengan lirih ia bertanya "Nara. Kenapa kau melakukan ini?"

Bukankah Nara sangat mencintainya? Tapi kenapa disaat Rai mulai mencintainya, Nara justru membencinya?

"Apa aku salah? Apa seharusnya aku menjauhimu, agar kau tetap mencintaiku?"

Rai terkekeh "Sekarang kau pasti menganggapku bodoh, kan? Kau tertawa bersama teman temanmu tanpaku. Sangat menyenangkan, ya?"

Rai sedih, namun tak sanggup menangis. Ia hanya bisa menertawai masalalunya.

Di atas sana Kies seolah berucap 'Lupakan dia, dan hiduplah bahagia'

Rai tersenyum pahit. Ia berjalan menyusuri lorong, Kemudian melirik sebuah ruangan kerja bernuansa hitam dan emas yang menarik perhatiannya.

Kies adalah seorang Duke, mungkinkah itu ruang kerjanya?

Rai mengitari ruangan tersebut. Ia melihat sebuah buku harian di atas meja kerja Kies. Buku itu terlihat familiar, seperti milik Rai dulu. Ia membuka lembar pertama buku itu.

Rai membelakkan matanya. "Ini buku harianku?! Kenapa ada disini?" ia mengusak lembaran demi lembaran buku itu dengan kasar.

Srekk

Tak sengaja ia merobek beberapa halaman akhir buku itu. Robekannya terseret angin, keluar dari jendela kemudian jatuh kedalam kolam.

"Ini memang bukuku!" Rai juga tersadar dengan terisinya catatan di beberapa lembar buku itu.

"Kies aku tidak mengerti kenapa kau bisa begitu ajaib. apa yang telah kau lakukan sehingga hal sekecil ini pun bisa kau tahu?" lanjut Rai

Rasanya tidak adil. Dengan tanpa membuka buku harian Rai pun, Kies sudah tahu banyak tentang kehidupan Rai. Sedangkan Rai belum mengetahui kehidupan Kies dengan jelas. Selama ini Rai pikir dirinya pintar, namun nyatanya ia masih tergoyahkan oleh hal yang tidak rasional. Pengetahuannya tak cukup luas untuk mengetahui tujuan Kies yang sebenarnya.

Bagaimana Rai bisa bahagia di kehidupannya kali ini? Ia takut berada dalam situasi yang perlu memilih 'menderita atau mati'

Itukah maksud dari perkataan Kies 'hiduplah bahagia'

Rai bingung harus marah atau bersyukur. Kies jelas membawanya dalam penderitaan. Posisi Duke tak dapat diraih dengan mudah, jadi sudah pasti Kies adalah orang yang sangat kuat dan cerdas. Sekarang Rai ada dalam tubuh Kies, namun Rai tak sekuat Kies. Ia takut, sungguh takut.

"Aku dikecewakan oleh Nara. Aku marah pada apa yang dilakukan Kies."

Jika ia menolak, sudah tak ada gunanya. Semuanya telah terjadi diluar kuasa Rai.

"Aku harus hidup dengan baik, kali ini." Rai mengusak rambutnya.

"Pertama tama apa yang harus kulakukan?" Rai membuka lembar buku hariannya yang berisi sebuah catatan yang tidak ia ketahui.

Di lembar itu tertulis sebuah judul 'Putra mahkota dan kesatria wanita' ditulis dengan sangat indah.

Cukup menarik. Rai mulai membaca paragraf pertama.

"pada tahun 1580, kekaisaran Rozeth berada dalam ambang kehancuran. Letusan gunung Deli menghancurkan setengah kekaisaran. Kekeringan dan kekurangan bahan pangan berdampak pada perekonomian kekaisaran. Kaisar Athem terpaksa menyerahkan wilayah kota maritim pada negara tetangga dengan sebuah perjanjian. Disaat itu, banyak pejabat negara mundur dari jabatannya. Seluruh urusan pertahanan wilayah diurus oleh Putra mahkota dibantu dengan Duke barat. Kekaisaran Tharpen menjanjikan bantuan kepada Kekaisaran Rozeth, namun 9 bulan berlalu mereka tak dapat memberikan apa yang dijanjikan."

"Disaat krisis, wilayah dalam kekaisaran Rozeth kacau balau, Seorang kestria wanita tangguh berani menentang perintah kaisar Athem. Ia hendak dihukum pancung, namun dihentikan oleh putra mahkota. Setelah sekian banyak kejadian yang melibatkan mereka berdua, akhirnya mereka saling jatuh cinta."

Baiklah, Rai sepertinya cukup mengerti. Ia hidup di dalam novel, namun alur ceritanya telah dipersingkat oleh Kies.

"Jadi, disini aku hanya berperan sebagai figuran?"

Apa yang bisa dilakukan oleh seorang figuran? Berharap mengubah isi cerita terdengar cukup mustahil.

Lantas apa setelahnya?

"Hanya ini? Tidak adakah catatan lain?" tanya Rai pada dirinya sendiri sembari mengusak lembar demi lembar buku itu.

Beberapa lembar bagian akhir catatan telah terkoyak "Aghh!"

Bagaimana bisa ia begitu ceroboh?

Rai!

Itu adalah panduan hidupmu!

"Huh, tenang... Tenang..." Rai menormalkan nafasnya. Ia melihat sebagian koyakan kertas yang masih tersisa. Di lembar akhir tertulis sebuah nama 'Putri Nadera' dan kalimat setelahnya telah terkoyak.

Rai merasa tidak ada yang spesial dengan nama itu. Ia juga tidak peduli. Lebih baik ia memikirkan cara hidup di perkumpulan kelas atas terlebih dahulu agar dirinya tak mempermalukan nama baik keluarga. Karena kemarin, seorang pelayan wanita memberi tahu Rai bahwa beberapa waktu kedepan akan diadakan pesta perayaan untuknya di istana.

"Tunggu, pelayan itu?!" Rai ingat, dia adalah seorang pelayan yang menolongnya, namun ia justru dihukum cambuk.

Dimana dia sekarang? Mungkinkah di penjara?

Rai segera berlari menyusuri lorong.



"Yang mulia, kenapa anda berlari seperti itu? Anda belum pulih sepenuhnya!" tanya beberapa pelayan yang segera mengejar Rai.

Ah sial! Seharusnya tidak boleh ada yang tahu. Jika Rai ketahuan ingin pergi ke penjara, mereka pasti melarangnya. Rai bahkan tidak tahu dimana penjaranya.

Rai punya ide! Bagaimana kalau dia meminta para pelayan untuk menemaninya ke penjara dengan alasan akan melakukan pengecekan langsung terhadap para tahanan.

"Hei kalian! Temani aku ke penjara."

Para pelayan itu sempat saling melirik, namun kemudian memilih segera menuruti perintah Rai.

Mereka berjalan di belakang Rai. Rai sengaja memperlambat langkahnya, berharap para pelayan itu mendahului langkahnya. Ah, Rai baru ingat jika dirinya ada di dalam tubuh seorang Duke, dan mana mungkin ada seorang pelayan yang berani mendahului langkahnya.

Apa yang harus dilakukan?

Rai harus terbiasa dengan posisinya. Sekarang ia tak perlu ragu untuk memerintah bawahannya.

"Beri tahu para penjaga terlebih dahulu jika aku akan datang." ujar Rai

Pada pelayanpun mendahului Rai dan hendak menuju penjara. Dan yang Rai lakukan cukup mengikuti mereka saja.

Sesampainya di penjara, Rai tampak bingung dengan para penjaga yang berjaga di dalam maupun luar penjara. Mereka memakai pakaian besi yang begitu mengkilap, pedang dan tombak yang sangat tajam bahkan lebih terlihat seperti barang pajangan.

Mereka seolah belum pernah merasakan pahitnya medan perang. Ilmu Para kesatria yang dilatih belasan tahun seolah sia sia dengan hanya menjadi seorang penjaga pintu penjara.

Sebuah pertanyaan Rai lontarkan pada salah satu penjaga "penjara begitu damai. Apakah kalian tidak bosan?"

Penjaga itu membungkuk hormat kemudian menjawab "tidak, yang mulia. ini adalah tugas kami, menjaga keamanan dan keselamatan kediaman."

Rai tersenyum kecut mendengarnya "aku telah memenangkan pertarungan. Seharusnya semua orang di kediaman ini bahagia, tapi kenapa justru sebaliknya?"

Rai berfikir bahwa mereka yang tidak bahagia adalah mereka yang tidak ikut bertarung di medan perang. Tidak mungkin mereka bertarung dengan sebuah paksaan. kesedihan dirasakan oleh para keluarga yang tak rela anggota keluarganya terjun ke medan perang yang sangat berbahaya. Dan kegembiraan datang disaat mereka membawa kemenangan bagi wilayah, dan bukan hanya keluarga yang bahagia, tapi semua orang juga ikut bahagia.

"Kami terlalu lemah untuk bahagia." jawab salah satu dari mereka. Para penjaga lain tampak kaget dengan jawaban itu.

Rai juga tampak kaget "Rupanya kau mengerti maksudku."

"Apa Anda sedang mencari seseorang? Dan apakah orang itu adalah salah satu dari pelayan anda, yang mulia?" tanya penjaga itu dengan berbisik.

Sekali lagi Rai terkejut "ya, dimana dia?"

Penjaga tersebut memberanikan diri untuk membisikkan suatu kalimat pada telinga Rai "banyak rumor buruk tentang anda yang mulai menyebar keluar kediaman. Saya mohon, anda jangan membuat masalah semakin rumit."

Rai terdiam. Rumor apa?

Rumor buruk apa yang bisa menutupi kegembiraan dari pertarungan yang telah Kies menangkan?

"Kalian bisa tunggu diluar." ucap Rai yang langsung dituntun oleh penjaga itu.

Sesampainya di sel tempat pelayan wanita itu berada "Ini dia, yang mulia." ucap penjaga itu.

Rai meringis melihat kondisi pelayan itu.

Tubuhnya duduk bertimpuh, Kedua tangannya dirantai, pakaiannya dilumuri darah, dan bekas cambukan ada dimana mana. Ia menatap kosong ke arah Rai.

Rai berlutut dihadapannya "pasti sakit."

Sudut mulut wanita itu terluka cukup parah karena ia sering mengelak. Dengan hati hati Ia membuka mulutnya "y-yang mulia, anda harus segera mengurus semuanya... Terima kasih sudah mengunjungi saya, Dan maaf sudah membuat rumor yang buruk tentang anda."

"Rumor apa itu?"

Pelayan itu tersenyum "saya tidak pantas mengatakan sebabnya. Yang jelas semua orang tahu bahwa tunangan anda adalah seorang Putri sah dari Kaisar. Bagaimana bisa seorang pelayan seperti saya dapat menggantikan posisi terhormat itu?"

Ah Rai mengerti. Jadi pelayan ini dihukum karena dianggap menginginkan posisi Duchess. Rai cukup kagum pada kesadaran akan posisi pelayan ini.

"Siapa namamu?" tanya Rai

"Rena." jawab pelayan itu. Kemudian tubuhnya ambruk tak sadarkan diri.

Rai terkejut. "penjaga! Bawa pelayan ini ke kamarnya."

Sesaimpainya di kamar pelayan itu, Rai tampak tak memperdulikan rumor miring yang semakin luas di sekitarnya.

Rena, adalah seorang pelayan yatim piatu yang berasal dari pelosok. Ia merantau ke daerah kekuasaan Kies untuk mencari pekerjaan. Ia ditemukan langsung oleh Kies, dan mempekerjakannya di sisinya.

Perlahan pelayan itu terbangun, Rai terduduk di samping pelayan itu.

"Yang mulia, saya jadi teringat 4 tahun lalu di saat kita bertemu untuk pertama kalinya." ucap Rena.

Apa yang akan Rena ceritakan mungkin dapat menjadi informasi baru bagi Rai. Haruskah Rai berpura pura mengingatnya?

Rai tersenyum menanggapinya "iya. waktu itu kita bertemu, dan..." Rai sengaja menggantungkan kalimatnya, dan menunggu sambungan dari Rena.

"pada saat itu kita saling tertarik." sambung pelayan itu, kemudian mendudukkan dirinya. "Dan anda bilang saya adalah satu satunya wanita yang anda cintai, Namun takdir berkata lain. Kasta kita jauh berbeda. Dan anda berjanji bahwa anda akan menikahi saya, setelah menyingkirkan puteri Almira, bukan?" bagaimana bisa kata kata ini keluar dari mulut seorang pelayan rendahan. Rai menarik kembali kekagumannya.

Hanya ada keraguan si hati Rai. Jika sejak awal Kies adalah dirinya, Rai memilih untuk tidak menyukai seorang pelayan. Karena hubungan keduanya tidak akan berjalan sesuai harapan. Sudah pasti banyak hambatan. Jika dalam novel, maka sang pemeran utama wanita akan menjadi tokoh yang dicintai oleh banyak orang setelah ia menikah dengan pemeran utama pria. Tapi kali ini saat benar benar terjadi, semuanya tampak begitu menggelikan.

"Aku mengingatnya."

mendengar jawaban itu, Rena justru tampak tak senang. "sebenarnya ada apa? kenapa anda tampak begitu berbeda?"

Rai memilih untuk diam dan menyembunyikan gelagat keterkejutannya.

Tangan Rena bergerak mengusap rahang Rai "Tatapan anda begitu berbeda. Anda justru terlihat seperti anda yang dulu. Tatapan penuh belas kasih dan keraguan."

"Saya sangat menyukainya."

***

(12-10-2022)

Post a Comment for "NOVEL PUTRI NADERA KARYA SITI KARINA"