PRIMARY ORALITY [PENELUSURAN SEJARAH SINTREN]
Conny Abdull |
Penelitian ini menerapkan beberapa cara dalam pengumpulan data. Pertama-tama peneliti mengumpulkan berbagai keterangan yang berkaitan dengan latar belakang
yang bersifat sosial dan kebudayaan tentang tradisi lisan yang disebut sintren.
Pengumpulan data sintren tersebut dilakukan melalui wawancara oleh peneliti terhadap narasumber dan informan. Yang dimaksud narasumber di sini adalah orang yang mewakili lembaga yang memberikan atau mengetahui secara jelas tentang sintren, sedangkan informan adalah orang yang memberikan informasi tentang sintren.
Wawancara antara peneliti dan narasumber tersebut didokumentasikan melalui perekaman. Di samping wawancara, pengumpulan data juga dilakukan melalui pengisian instrumen yang berfungsi sebagai penunjang atau pelengkap data. Selanjutnya, pentranskripsian data. Hasil wawancara dalam bentuk rekaman tersebut ditranskripsikan. Jika ada yang menggunakan bahasa Sunda atau Jawa, hasil pentranskripsian tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Langkah berikutnya adalah pengklasifikasian data. Data yang sesuai dengan topik penelitian dikelompokkan menjadi satu. Data yang berasal dari narasumber dan penutur tradisi lisan pada umumnya dipandang sebagai primary orality karena berkaitan dengan sintren sebagai tradisi lisan. Dengan demikian, sintren sebagai primary orality berupa cerita-cerita tentang latar belakang munculnya sintren sampai dengan sintren dalam bentuk pertunjukan.
Budaya kelisanan pertama dan kelisanan kedua memiliki ciri yang khas, yaitu kelisanan pertama berbasis pada fisik manusia, sedangkan kelisanan kedua berbasis pada teknologi. Perbedaan tersebut dapat dilihat bahwa perkembangan teknologi komunikasi, khususnya media elektronika memanfaatkan kembali sumber kelisanan sebagai alat penting dalam komunikasi dan penyampaian informasi.
Karena berbasis teknologi, sintren sebagai secondary orality tersimpan dalam media elektronik, pertunjukan, dan buku-buku. Kemudian, peneliti mengumpulkan data sintren dalam bentuk secondary orality. Berkaitan dengan itu, pencarian data sintren sebagai secondary orality, dilakukan melalui internet, dan penelusuran dengan cara studi pustaka. Setelah data terkumpul, penganalisisan dilakukan secara deskriptis. Selain itu, data juga ditafsirkan dengan cara membandingkan sintren sebagai primary orality dan sintren sebagai secondary orality sehingga akan tampak bagian mana saja yang bertransformasi.
Sintren Puji (pertunjukan di desa Nunuk, Lelea, Indramayu) |
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Sintren sebagai Primary Orality
Seni pertunjukan tradisional berawal dari upacara dan ritual keagamaan yang bersifat magis disampaikan dalam bentuk mantra-mantra secara berulang. Upacara dan ritual tersebut menjadi cikal bakal seni pertunjukan tradisional dengan perpaduan unsur gerak dan musik. Demikian pula yang terjadi pada seni pertunjukan sintren.
Ada tiga pendapat tentang arti sintren;
- Pendapat yang pertama, sintren berasal dari bahasa Belanda, yaitu sinyo trenen, sinyo ‘muda’, trenen ‘berlatih’. Sintren artinya ‘seni tempat pemuda berlatih’.
- Kedua, sintren berasal dari kata sinatria atau ksatria yang merepresentasikan seluruh unsur dalam suatu pertunjukan seperti gerak tari, busana, tembang, dan fungsi pertunjukan.
- Ketiga, sintren dipandang dari bunyinya seperti berhubungan dengan tantra yang berasal dari kata stuti tantra yang artinya ‘nyanyian’. Dalam pertunjukan yang bermakna demikian yang bersifat ritual tujuan dasarnya adalah penyatuan antara manusia dan energi dewa yang dipujanya. Penyatuan itu terjadi pada saat trance ‘penari berada dalam bawah sadar’.
Sintren yang bermakna ketigalah yang berkaitan dengan penelitian ini. Jadi, sintren adalah seni pertunjukan tari yang tumbuh dan berkembang di Indramayu. Sintren memiliki banyak versi: muncul dan latar belakangnya.
Sesungguhnya, nama sintren tidak diketahui berasal dari mana, tetapi ia adalah seorang gadis yang menjadi tokoh utama dalam pertunjukan. Sintren mulai dikenal pada tahun 1940-an. Asal mula sintren adalah kebiasaaan kaum ibu dan putra-putranya yang tengah menunggu suami/ayah mereka pulang mencari ikan di laut.
Pertunjukan sintren tidak sekadar tari, tetapi mengandung kisah masa lalu atau mitos tentang percintaan muda-mudi pada masa Sultan Agung, Raja Mataram.
Munculnya sintren berdasarkan tradisi lisan yang beredar di masyarakat Indramayu. Kisah percintaan Ki Joko Bahu (Bahurekso) dengan Ramtasari tidak disetujui oleh Raja Mataram. Raja Mataram memerintahkan Bahurekso berperang melawan VOC di Batavia. Saat perpisahan dengan kekasihnya, Bahurekso memberi sapu tangan pada Ramtasari. Bahurekso gugur di medan perang. Ramtasari sangat sedih. Ia menelusuri dan melacak tempat gugur kekasihnya.
Ramtasari melakukan perjalanan melalui wilayah Pantai Utara sebagai seorang penari sintren dengan nama Sulasih. Sulasih melacak kekasihnya, bertanya ke sana-sini dengan membawa saputangan pemberian Bahurekso. Bahurekso yang sebenarnya masih hidup mencari-cari pemilik saputangan yang sangat dikenalnya.
Setelah diketahui bahwa Sulasih tak lain adalah Ramtasari, Bahurekso menemui penari sintren yang ternyata kekasihnya. Mereka akhirnya hidup berbahagia.
Kemudian, kisah sintren yang juga beredar di masyarakat yang merupakan kelisanan pertama adalah kisah cinta antara Sulasih dan Raden Sulandono, putra Bupati Mataram yang bernama Joko Bahu. Hubungan itu tidak disetujui Joko Bahu.
Pasangan itu berpisah. Sebelum perpisahan, Sulandono memberi saputangan pada kekasihnya. Saputangan itulah yang kelak menjadi sarana bertemunya kembali Sulasih dan Sulandono. Selama perpisahan itu, Sulasih berperan sebagai penari sintren. Saat menari itulah, Sulasih selalu kosong jiwanya dan mengalami trans.
Terlepas dari itu, sintren sebagai tradisi lisan masyarakat Indramayu yang memiliki fungsi ritual sampai saat ini masih terpelihara dengan baik, meskipun dari waktu ke waktu mengalami perubahan dari segi bentuk, teknik, dan fungsi.
2. Pertunjukan Sintren
Penari sintren adalah seorang wanita, tetapi dapat pula seorang pria. Jumlah pemain bervariasi, antara 15 sampai dengan 25 orang. Mereka adalah sintren, pawang, pelawak, nayaga, dan pembantu lainnya.
Penari sintren di Indramayu harus anak perempuan yang belum haid. Di daerah lain,
penari sintren kadang-kadang gadis remaja yang sudah haid. Namun, saat pertunjukan terkadang gadis yang sudah haid ini agak lambat mengalami trans atau tidak dapat mengalami trans, sedangkan gadis yang belum haid akan cepat mencapai trans atau masuknya roh dan sintren akan tidak sadar.
Telah dikemukakan bahwa di antara pemain sintren terdapat nayaga. Nayaga adalah orang yang memainkan alat musik atau gamelan. Alat musik yang mengiringi sintren, antara lain ketipung, satu kendang kecil, kecrek, dan buyung.
Pelengkap lain yang selalu ada, dlupok, kemenyan, bunga yang diuntai, minyak wangi, perlengkapan tari, seperti kaca mata hitam, kurung ayam yang ditutup kain batik atau samping yang digunakan saat penari ganti kostum.
Oncor atau obor atau lampu tempel menyala diiringi gamelan. Asap kemenyan mengepul. Suara gamelan mengalun. Semua berfungsi membangun suasana sakral. Sesajen lainnya seperti jajan pasar, gula aren, kolak pisang, telur ayam, kembang tujuh rupa tersaji di depan panggung. Pawang membaca mantra-mantra.
Sesungguhnya, nama sintren tidak diketahui berasal dari mana, tetapi ia adalah seorang gadis yang menjadi tokoh utama dalam pertunjukan. Sintren mulai dikenal pada tahun 1940-an. Asal mula sintren adalah kebiasaaan kaum ibu dan putra-putranya yang tengah menunggu suami/ayah mereka pulang mencari ikan di laut.
Pertunjukan sintren tidak sekadar tari, tetapi mengandung kisah masa lalu atau mitos tentang percintaan muda-mudi pada masa Sultan Agung, Raja Mataram.
Munculnya sintren berdasarkan tradisi lisan yang beredar di masyarakat Indramayu. Kisah percintaan Ki Joko Bahu (Bahurekso) dengan Ramtasari tidak disetujui oleh Raja Mataram. Raja Mataram memerintahkan Bahurekso berperang melawan VOC di Batavia. Saat perpisahan dengan kekasihnya, Bahurekso memberi sapu tangan pada Ramtasari. Bahurekso gugur di medan perang. Ramtasari sangat sedih. Ia menelusuri dan melacak tempat gugur kekasihnya.
Ramtasari melakukan perjalanan melalui wilayah Pantai Utara sebagai seorang penari sintren dengan nama Sulasih. Sulasih melacak kekasihnya, bertanya ke sana-sini dengan membawa saputangan pemberian Bahurekso. Bahurekso yang sebenarnya masih hidup mencari-cari pemilik saputangan yang sangat dikenalnya.
Setelah diketahui bahwa Sulasih tak lain adalah Ramtasari, Bahurekso menemui penari sintren yang ternyata kekasihnya. Mereka akhirnya hidup berbahagia.
Kemudian, kisah sintren yang juga beredar di masyarakat yang merupakan kelisanan pertama adalah kisah cinta antara Sulasih dan Raden Sulandono, putra Bupati Mataram yang bernama Joko Bahu. Hubungan itu tidak disetujui Joko Bahu.
Pasangan itu berpisah. Sebelum perpisahan, Sulandono memberi saputangan pada kekasihnya. Saputangan itulah yang kelak menjadi sarana bertemunya kembali Sulasih dan Sulandono. Selama perpisahan itu, Sulasih berperan sebagai penari sintren. Saat menari itulah, Sulasih selalu kosong jiwanya dan mengalami trans.
Terlepas dari itu, sintren sebagai tradisi lisan masyarakat Indramayu yang memiliki fungsi ritual sampai saat ini masih terpelihara dengan baik, meskipun dari waktu ke waktu mengalami perubahan dari segi bentuk, teknik, dan fungsi.
2. Pertunjukan Sintren
Penari sintren adalah seorang wanita, tetapi dapat pula seorang pria. Jumlah pemain bervariasi, antara 15 sampai dengan 25 orang. Mereka adalah sintren, pawang, pelawak, nayaga, dan pembantu lainnya.
Penari sintren di Indramayu harus anak perempuan yang belum haid. Di daerah lain,
penari sintren kadang-kadang gadis remaja yang sudah haid. Namun, saat pertunjukan terkadang gadis yang sudah haid ini agak lambat mengalami trans atau tidak dapat mengalami trans, sedangkan gadis yang belum haid akan cepat mencapai trans atau masuknya roh dan sintren akan tidak sadar.
Telah dikemukakan bahwa di antara pemain sintren terdapat nayaga. Nayaga adalah orang yang memainkan alat musik atau gamelan. Alat musik yang mengiringi sintren, antara lain ketipung, satu kendang kecil, kecrek, dan buyung.
Pelengkap lain yang selalu ada, dlupok, kemenyan, bunga yang diuntai, minyak wangi, perlengkapan tari, seperti kaca mata hitam, kurung ayam yang ditutup kain batik atau samping yang digunakan saat penari ganti kostum.
Oncor atau obor atau lampu tempel menyala diiringi gamelan. Asap kemenyan mengepul. Suara gamelan mengalun. Semua berfungsi membangun suasana sakral. Sesajen lainnya seperti jajan pasar, gula aren, kolak pisang, telur ayam, kembang tujuh rupa tersaji di depan panggung. Pawang membaca mantra-mantra.
Pertunjukan sintren siap digelar. Seorang penari, gadis muda belia yang akan menjadi sintren masuk mengenakan pakaian biasa. Tangan gadis itu terikat dengan kuat. Pawang mengurung gadis itu dengan kurung ayam. Pemain lainnya menuturkan semacam mantra melalui nyanyian. Tuturan itu adalah turun sintren yang berbahasa Jawa dialek Indramayu. Dinyanyikan secara berulang-ulang. Mantra ini dituturkan berulang-ulang sebagai cerminan pemujaan pada leluhur agar menurunkan bidadari dan menitis pada gadis yang dikurung.
Turun-turun sintren
Sintrene widhadhari
Widhadhari tumuruna
Aja suwen mindh dalem
Dalem sampun kangelan
Turun-turun sintren
Sintrennya bidadari
Bidadari turunlah
Jangan lama
Lama sudah kesusahan
Pawang membuka sangkar, kurung ayam. Tampaklah sintren yang sudah mengenakan kostum penari. Kaca mata hitam menutupi matanya dan tangannya bebas dari tali yang tadi mengingatnya. Sintren itu didampingi pawang yang bertugas menjaganya. Sintren perlahan-lahan menari lemah gemulai. Lama-lama sesuai dengan irama yang dimainkan, sintren menari semakin lincah. Tarian itu di antaranya menggambarkan kisah Sulasih yang mencari kekasihnya, Sulandono.
Penonton yang merasa terhibur tak segan-segan menyawer sintren, memberi uang atau ada pula yang melemparkan saputangan, kain, dan yang lainnya yang di dalamnya juga terdapat uang. Pertunjukan diselingi lawakan. Berikutnya, sintren menari kembali diiringi lagu atas permintaan penonton. Karena dalam keadaan tak sadar, sintren menari seperti tidak ada capek-capeknya.
Dalam situasi itu, pawang atau dalang sangat berperan untuk mengembalikan sintren pada situasi semula. Pawang meniupkan asap kemenyan ke wajah sintren. Mulutnya komat-kamit. Pawang menuturkan mantra berulang-ulang.
Ayo ngewer-ngewer putren
Sing dikewer rujake bae
Ayo nyawer-nyawer sintren
Sing disawer panjake bae
Ayo jinjing-jinjing putren
Yang dijinjing rujaknya saja
Ayo kita nyawer sintren
Yang disawer nayaganya saja
Sintren berjongkok. Pawang menutup sintren dengan kurung ayam seperti awal pertunjukan. Lalu pawang menuturkan mantra lain untuk menyadarkan sintren.
Orok-orok
Banyu bangrimapar tembok
Wong nonton pada dodhok
Udodhok
Sintren metu salin erok
Orok-orok
Air sambil merayap dinding
Orang nonton harus duduk
Duduk
Sintren keluar ganti kostum
Sintren sadar kembali. Jika pertunjukan benar-benar telah selesai lagu yang dinyanyikan adalah lagu Tong-Tong Breng seperti berikut ini.
Ulung-ulung simbar wulung
Aing wulung patine layung
Ala gandrung eling-eling
Ayo si….
Ulung-ulung bulu dada
Kalo wulung matinya layung
Ala gandrung ayo ingat-ingat lagi
Ayo si……
(disebutkan nama yang menjadi sintren) pada balik.
3. Sintren sebagai Secondary Orality
Seni pertunjukan tradisi pada umumnya merupakan sosok seni pertunjukan yang sangat lentur dan “cair‟ sifatnya. Artinya, tradisi itu dapat menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi yang terjadi di masyarakat pendukungnya. Sintren misalnya, dalam primary orality pertunjukan bersifat magis dan mengandung ritual tertentu. Namun, dalam secondary orality, sifat magis Sintren apalagi yang mengandung ritual-ritual sudah hilang. Hal tersebut karena lingkungan masyarakatnya yang selalu berada dalam kondisi yang terus berubah-ubah.
Oleh karena itu, dengan perkembangan kondisi masa kini, tradisi lisan di mana pun tidak bisa lagi hanya mementingkan ekspresi diri dengan nilai-nilai yang diframe, tetapi harus lebih luas lagi memikirkan kepentingan orang banyak termasuk juga kreativitas lain yang bersumber pada tradisi lisan yang kaitannya dengan ekonomi, baik bagi para pelaku seni maupun bagi perkembangan seni itu sendiri. Ini berarti seni harus bersinergi dengan aspek atau kegiatan lain, termasuk kegiatan iklan, pertunjukan musik modern, serta penerbitan buku sebagaimana halnya dengan sintren sebagai sektor ekonomi. Kondisi ini merupakan peluang yang sangat besar bagi seni pertunjukan sintren karena dapat berfungsi sebagai objek daya tarik tertentu.
Selanjutnya, berkembangnya teknologi informasi yang luar biasa cepat, pementasan tradisi lisan suka atau tidak suka dengan sendirinya masuk dalam bisnis industri media. Dengan kata lain kekuatan industri media amat mewarnai wajah tradisi lisan masa kini yang disebut Ong sebagai secondary orality yang menjelaskan bahwa kita sudah masuk dalam kelisanan tahap kedua. Tradisi lisan tidak lagi tampil ketika penutur bertemu langsung dengan penonton/penikmatnya dalam ruang waktu dan tempat yang sama, tetapi muncul dalam kemasan rekaman video atau kaset yang dapat dihadirkan kapan pun.
Internet,telepon, radio, televisi, dan berbagai macam media lain dan teknologi elektronik membawa kita pada era secondary orality. Secondary orality secara esensial merupakan suatu kelisanan yang lebih bersifat disengaja dan sadar diri, secara permanen didasarkan pada kegiatan tulis-menulis dan cetak-mencetak.
Dewasa ini, sintren cukup berpengaruh pada kehidupan masyarakat tidak hanya dalam hal seni pertunjukan, tetapi telah memberi inspirasi kepada sebagian industri jasa dan barang, termasuk bisnis digitalisasi dan literasi.
Contoh ;
Novel Sintren_ ini mengisahkan seorang penari sintren yang bernama Saraswati. Dia adalah gadis desa yang baru berusia 12 tahun. Ia gadis yang lugu, tetapi pintar secara akademik di sekolahnya dan memiliki tekad yang kuat untuk melanjutkan sekolah hingga SMP. Ibunya seorang buruh nelayan, sedangkan ayahnya seorang penarik becak. Kesulitan hidup membuat ibunya berusaha mengangkat derajat kehidupan mereka dengan menjodohkan Saraswati dengan Kirman, putra juragan Wargo, majikannya.
Awalnya Saraswati menolaknya karena ia masih ingin bersekolah. Namun, akibat desakan ibunya, Saraswati terpaksa menerima dirinya untuk dijodohkan dengan Kirman. Menjelang upacara pertunangan, tiba-tiba juragan Wargo membatalkan niatnya secara sepihak. Saraswati pun merasa lega dengan keputusan juragan Wargo tersebut karena dengan demikian ia masih memiliki peluang untuk melanjutkan sekolahnya. Belum lagi bisa bernafas lega, tiba-tiba Larasati yang sedang mencari penari sintren melihat bahwa Saraswati tampaknya cocok untuk menjadi seorang penari sintren. Hal itu diutarakannya kepada Ibu Saraswati. Tanpa mendiskusikannya terlebih dahulu dengan suami dan anaknya, ibunya menyetujuinya dan langsung menerima uang muka sebagai tanda kesepakatan untuk menyerahkan Saraswati menjadi seorang penari sintren. Saraswati dan ayahnya tak bisa menolak keinginan ibunya. Saraswati diiming-imingi sejumlah harapan memperoleh uang banyak yang bisa dipakainya untuk melanjutkan sekolah ke SMP.
Setelah melalui proses penyeleksian yang dilakukan oleh Mbah Mo selaku pawang sintren, Saraswati dinyatakan lulus sebagai seorang penari sintren karena dari beberapa orang yang diuji hanya Saraswati yang lolos dari ujian dan tidak pingsan atau kesurupan ketika dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang telah dijampi Mbah Mo. Saraswati berubah dari gadis yang lugu menjadi gadis yang memiliki karisma seorang penari sintren.
Awalnya Saraswati menolaknya karena ia masih ingin bersekolah. Namun, akibat desakan ibunya, Saraswati terpaksa menerima dirinya untuk dijodohkan dengan Kirman. Menjelang upacara pertunangan, tiba-tiba juragan Wargo membatalkan niatnya secara sepihak. Saraswati pun merasa lega dengan keputusan juragan Wargo tersebut karena dengan demikian ia masih memiliki peluang untuk melanjutkan sekolahnya. Belum lagi bisa bernafas lega, tiba-tiba Larasati yang sedang mencari penari sintren melihat bahwa Saraswati tampaknya cocok untuk menjadi seorang penari sintren. Hal itu diutarakannya kepada Ibu Saraswati. Tanpa mendiskusikannya terlebih dahulu dengan suami dan anaknya, ibunya menyetujuinya dan langsung menerima uang muka sebagai tanda kesepakatan untuk menyerahkan Saraswati menjadi seorang penari sintren. Saraswati dan ayahnya tak bisa menolak keinginan ibunya. Saraswati diiming-imingi sejumlah harapan memperoleh uang banyak yang bisa dipakainya untuk melanjutkan sekolah ke SMP.
Setelah melalui proses penyeleksian yang dilakukan oleh Mbah Mo selaku pawang sintren, Saraswati dinyatakan lulus sebagai seorang penari sintren karena dari beberapa orang yang diuji hanya Saraswati yang lolos dari ujian dan tidak pingsan atau kesurupan ketika dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang telah dijampi Mbah Mo. Saraswati berubah dari gadis yang lugu menjadi gadis yang memiliki karisma seorang penari sintren.
Ia kini tak terlihat lagi sebagai seorang anak-anak. Saraswati yang tadinya seorang anak yang lugu kini tampil menjadi gadis yang percaya diri dan berani melawan kesewenang-wenangan yang diperbuat kawan-kawannya. Dia juga tampak lebih dewasa. Aura tubuhnya memancarkan keelokan dan kemolekan seorang penari sintren yang membuat banyak lelaki terpana dan ingin mempersuntingnya. Saraswati menjadi seorang penari sintren yang terkenal. Ia memperoleh banyak uang dari hasil menari. Akhirnya, cita-citanya untuk melanjutkan sekolah hingga SMP tercapai.
Kecantikan dan kepintaran menarinya itu telah memikat banyak orang. Para lelaki ingin mempersuntingnya. Tidak hanya yang bujangan, tetapi yang sudah mempunyai istri pun hendak melamarnya untuk dijadikan istri muda. Hal ini membuat para ibu kurang simpatik terhadap Saraswati. Saraswati akhirnya menerima pinangan seorang laki-laki. Namun, belum sempat menyentuh tubuh Saraswati, suaminya tiba-tiba meninggal dunia. Saraswati menjadi janda.
Tidak lama kemudian ia menikah lagi. Namun, nasibnya sama seperti suaminya yang pertama. Suami Saraswati yang kedua pun meninggal sebelum menyentuhnya. Hal ini terus berulang hingga Saraswati menikah keempat kalinya. Semua suaminya harus mati mengenaskan sebelum menyentuh dirinya. Akhirnya, Saraswati tetaplah seorang gadis yang masih perawan. Ia menjadi seorang penari yang sukses dan memikat para penontonnya. Namun, ada harga yang harus dibayar. Ia dianggap telah membawa sial bagi kampungnya karena setiap lelaki yang menikahinya pasti meninggal dunia.
Dianing menuliskan novel Sintren ini dengan kalimat-kalimat yang sederhana. Tak ada penggunaan metafora yang berlebihan dan menuliskannya dengan bahasa yang mudah dipahami. Penyajian isi ceritanya yang sederhana dan lugas menggambarkan kehidupan masyarakat pesisiran yang masih hidup tertinggal dan menggantungkan hidupnya dari hasil melaut. Kultur dan kebiasaan masyarakat nelayan mewarnai seluruh novel ini.
Dengan demikian, Dianing membawa pembacanya masuk ke dalam realitas keseharian yang terjadi di tengah masyarakat pesisiran yang lengkap dengan tradisi keseniannya, yaitu sintren. Seni sintren yang khas tradisi lisan masyarakat pesisir yang menarik perhatian masyarakat mampu dipotretnya. Dianing juga merekam denyut kehidupan penari sintren dengan berbagai sisi kehidupannya. Novel ini juga mengungkap apa yang dialami, dilihat, dan dirasakan Saraswati ketika ia sedang menari sintren. Dikisahkan dalam novel ini bahwa jiwa Saraswati terpisah dari raganya. Raganya dipinjam oleh ruh seseorang, yaitu Den Ayu Lanjar yang membantunya menari. Hal ini menegaskan bahwa kesenian sintren dilakukan tanpa trik-trik khusus yang menipu penontonnya. Sintren seperti halnya kesenian ronggeng, tayub, reog, dan debus tidak semata dikendalikan oleh kekuatan manusia biasa, tetapi ada unsur mistis yang ikut mewarnai kesenian sintren. Hal ini dipengaruhi masyarakat Indonesia yang memiliki sejarah animisme yang berkembang jauh sebelum masuknya agama Islam.
Satu hal yang tampaknya kurang dalam novel Sintren ini Dianing tak menjelaskan dengan terperinci bagaimana kesenian sintren terbentuk. Padahal hal ini bisa diungkap melalui dialog sederhana antara Saraswari dengan Larasati atau Mbah Mo yang membimbingnya menjadi seorang penari sintren. Jika saja hal ini diungkap pembaca pasti akan memperoleh wawasan baru mengenai latar belakang kesenian sintren.
Novel ini juga tak menjelaskan mengapa Saraswati yang sama sekali tak memiliki darah seniman tiba-tiba bisa menjadi penari sintren yang sukses. Novel ini hanya mengungkap bahwa sintren yang ada dalam tubuh Saraswati adalah sintren Den Ayune Lanjar, sintren sakti yang memiliki kecantikan luar biasa. Tentunya akan lebih menarik jika diberikan penjelasan apa keistimewaan Saraswati sehingga Den Ayu Lanjar memilih tubuh Saraswati untuk dirasukinya agar menjadi penari sintren.
Novel Sintren secara umum tidak terlalu menunjukkan perbedaan yang mencolok. Ide cerita yang terbangun tidaklah jauh dari sintren sebagai tradisi lisan. Meskipun di sana-sini terdapat pengembangan, novel Sintren dapat ditemukan persamaan, misalnya judul novel Sintren adalah unsur pertama yang menarik perhatian khalayak yang bertujuan untuk membangun hubungan antara pembaca dengan kisah yang sudah menjadi milik masyarakat. Dengan demikian, akan terjadi jalinan antara tema novel dan khalaknya. Ketika membaca novel tersebut, pembaca akan menggunakan sintren dalam tradisi lisan sebagai referensi untuk memahami novel tersebut.
Latar belakang Larasati menjadi penari sintren sebagai tokoh utama dalam novel Sintren, relatif serupa Sulasih dalam kisah pertunjukan sintren. Karakter yang digambarkan juga nyaris sama. Jalan cerita juga dibangun dengan alur sederhana, bukan sesuatu yang rumit. Meskipun begitu, sintren sebagai kelisanan kedua yang berupa teks, pemahaman isinya sangat bergantung pada daya emosional seorang pembaca terhadap sebuah teks dan kemampuan pembaca memiliki imajinasi terhadap teks bacaan.
Namun, bagaimana pun novel Sintren yang sebelumnya pernah dimuat bersambung di Harian Republika pada tahun 2005 ini patut diapresiasi dengan baik. Di tengah-tengah ragamnya tema-tema novel yang diangkat seperti tentang budaya, sosial, dan politik, ternyata kehadiran novel Sintren telah mengangkat tema budaya tradisi lisan sebagai upaya pelestarian tradisi lisan, khususnya dalam hal seni sintren.
Novel Sintren yang dipandang sebagai kelisanan kedua merupakan sebuah produk unik dari budaya tulis yang sekaligus menggunakan kembali beberapa karakteristik budaya lisan. Novel tersebut sebagai kelisanan kedua hadir sebagai transformasi teknologi yang mengambil alih fungsi penyampaian informasi dan komunikasi dengan memanfaatkan bentuk teks. Selain itu, kelebihan kelisanan kedua, novel Sintren penikmatannya tidak terbatas ruang dan waktu, sedangkan pertunjukan sintren sebagai kelisanan pertama harus tampil pada waktu dan tempat tertentu. Dengan diterbitkannya novel Sintren berdampak positif bagi kelangsungan seni tradisi lisan tersebut.
Selain itu kelisanan kedua yang diilhami dari seni sintren buhun tidak hanya dalam hal penerbitan. Kreativitas sintren muncul dengan hadirnya para seniman yang berkreasi untuk mengembangkan sintren dalam versi modern. Irama dangdut mewarnai pertunjukan sintren yang akhirnya disebut dengan sebutan sintren dangdut seperti yang ada di daerah Indramayu.
Sintren sebagai seni pertunjukan tradisi juga bertransformasi menjadi seni pertunjukan modern. Irama dangdut mewarnai pertunjukan sintren yang akhirnya disebut dengan sebutan sintren dangdut. Sintren dangdut adalah perpaduan seni sintren buhun dengan ditambah alat-alat musik modern dan dengan nyanyian lagu-lagu dangdut. Hal ini seperti terlihat dalam salah satu grup sintren yang telah manggung dan sering mengadakan pementasan, baik di Indramayu maupun di wilayah Jawa Barat. Bahkan sintren dangdut ini permah diundang ke luar negeri untuk mengadakan pementasan. Sintren berkembang juga di kalangan remaja dengan lahirnya sintren dance kontemporer, yaitu menggabungkan tarian sintren dengan dance (tarian barat). Sintren dance ini berkembang di daerah Pekalongan. seperti
Di samping itu, muncul aliran sintren modern, yaitu kolaborasi musik tradisional dan musik modern dan dalam pertunjukannya tetap menggambarkan ciri khas sintren, yaitu menghadirkan kurung ayam sebagai simbol pertunjukan sintren yang akan mengurung penari sintren.
Dianing menuliskan novel Sintren ini dengan kalimat-kalimat yang sederhana. Tak ada penggunaan metafora yang berlebihan dan menuliskannya dengan bahasa yang mudah dipahami. Penyajian isi ceritanya yang sederhana dan lugas menggambarkan kehidupan masyarakat pesisiran yang masih hidup tertinggal dan menggantungkan hidupnya dari hasil melaut. Kultur dan kebiasaan masyarakat nelayan mewarnai seluruh novel ini.
Dengan demikian, Dianing membawa pembacanya masuk ke dalam realitas keseharian yang terjadi di tengah masyarakat pesisiran yang lengkap dengan tradisi keseniannya, yaitu sintren. Seni sintren yang khas tradisi lisan masyarakat pesisir yang menarik perhatian masyarakat mampu dipotretnya. Dianing juga merekam denyut kehidupan penari sintren dengan berbagai sisi kehidupannya. Novel ini juga mengungkap apa yang dialami, dilihat, dan dirasakan Saraswati ketika ia sedang menari sintren. Dikisahkan dalam novel ini bahwa jiwa Saraswati terpisah dari raganya. Raganya dipinjam oleh ruh seseorang, yaitu Den Ayu Lanjar yang membantunya menari. Hal ini menegaskan bahwa kesenian sintren dilakukan tanpa trik-trik khusus yang menipu penontonnya. Sintren seperti halnya kesenian ronggeng, tayub, reog, dan debus tidak semata dikendalikan oleh kekuatan manusia biasa, tetapi ada unsur mistis yang ikut mewarnai kesenian sintren. Hal ini dipengaruhi masyarakat Indonesia yang memiliki sejarah animisme yang berkembang jauh sebelum masuknya agama Islam.
Satu hal yang tampaknya kurang dalam novel Sintren ini Dianing tak menjelaskan dengan terperinci bagaimana kesenian sintren terbentuk. Padahal hal ini bisa diungkap melalui dialog sederhana antara Saraswari dengan Larasati atau Mbah Mo yang membimbingnya menjadi seorang penari sintren. Jika saja hal ini diungkap pembaca pasti akan memperoleh wawasan baru mengenai latar belakang kesenian sintren.
Novel ini juga tak menjelaskan mengapa Saraswati yang sama sekali tak memiliki darah seniman tiba-tiba bisa menjadi penari sintren yang sukses. Novel ini hanya mengungkap bahwa sintren yang ada dalam tubuh Saraswati adalah sintren Den Ayune Lanjar, sintren sakti yang memiliki kecantikan luar biasa. Tentunya akan lebih menarik jika diberikan penjelasan apa keistimewaan Saraswati sehingga Den Ayu Lanjar memilih tubuh Saraswati untuk dirasukinya agar menjadi penari sintren.
Novel Sintren secara umum tidak terlalu menunjukkan perbedaan yang mencolok. Ide cerita yang terbangun tidaklah jauh dari sintren sebagai tradisi lisan. Meskipun di sana-sini terdapat pengembangan, novel Sintren dapat ditemukan persamaan, misalnya judul novel Sintren adalah unsur pertama yang menarik perhatian khalayak yang bertujuan untuk membangun hubungan antara pembaca dengan kisah yang sudah menjadi milik masyarakat. Dengan demikian, akan terjadi jalinan antara tema novel dan khalaknya. Ketika membaca novel tersebut, pembaca akan menggunakan sintren dalam tradisi lisan sebagai referensi untuk memahami novel tersebut.
Latar belakang Larasati menjadi penari sintren sebagai tokoh utama dalam novel Sintren, relatif serupa Sulasih dalam kisah pertunjukan sintren. Karakter yang digambarkan juga nyaris sama. Jalan cerita juga dibangun dengan alur sederhana, bukan sesuatu yang rumit. Meskipun begitu, sintren sebagai kelisanan kedua yang berupa teks, pemahaman isinya sangat bergantung pada daya emosional seorang pembaca terhadap sebuah teks dan kemampuan pembaca memiliki imajinasi terhadap teks bacaan.
Namun, bagaimana pun novel Sintren yang sebelumnya pernah dimuat bersambung di Harian Republika pada tahun 2005 ini patut diapresiasi dengan baik. Di tengah-tengah ragamnya tema-tema novel yang diangkat seperti tentang budaya, sosial, dan politik, ternyata kehadiran novel Sintren telah mengangkat tema budaya tradisi lisan sebagai upaya pelestarian tradisi lisan, khususnya dalam hal seni sintren.
Novel Sintren yang dipandang sebagai kelisanan kedua merupakan sebuah produk unik dari budaya tulis yang sekaligus menggunakan kembali beberapa karakteristik budaya lisan. Novel tersebut sebagai kelisanan kedua hadir sebagai transformasi teknologi yang mengambil alih fungsi penyampaian informasi dan komunikasi dengan memanfaatkan bentuk teks. Selain itu, kelebihan kelisanan kedua, novel Sintren penikmatannya tidak terbatas ruang dan waktu, sedangkan pertunjukan sintren sebagai kelisanan pertama harus tampil pada waktu dan tempat tertentu. Dengan diterbitkannya novel Sintren berdampak positif bagi kelangsungan seni tradisi lisan tersebut.
Selain itu kelisanan kedua yang diilhami dari seni sintren buhun tidak hanya dalam hal penerbitan. Kreativitas sintren muncul dengan hadirnya para seniman yang berkreasi untuk mengembangkan sintren dalam versi modern. Irama dangdut mewarnai pertunjukan sintren yang akhirnya disebut dengan sebutan sintren dangdut seperti yang ada di daerah Indramayu.
Sintren sebagai seni pertunjukan tradisi juga bertransformasi menjadi seni pertunjukan modern. Irama dangdut mewarnai pertunjukan sintren yang akhirnya disebut dengan sebutan sintren dangdut. Sintren dangdut adalah perpaduan seni sintren buhun dengan ditambah alat-alat musik modern dan dengan nyanyian lagu-lagu dangdut. Hal ini seperti terlihat dalam salah satu grup sintren yang telah manggung dan sering mengadakan pementasan, baik di Indramayu maupun di wilayah Jawa Barat. Bahkan sintren dangdut ini permah diundang ke luar negeri untuk mengadakan pementasan. Sintren berkembang juga di kalangan remaja dengan lahirnya sintren dance kontemporer, yaitu menggabungkan tarian sintren dengan dance (tarian barat). Sintren dance ini berkembang di daerah Pekalongan. seperti
Di samping itu, muncul aliran sintren modern, yaitu kolaborasi musik tradisional dan musik modern dan dalam pertunjukannya tetap menggambarkan ciri khas sintren, yaitu menghadirkan kurung ayam sebagai simbol pertunjukan sintren yang akan mengurung penari sintren.
Jika dalam secondary orality sebagaimana dalam novel Sintren yang lebih mengedepankan aktivitas pembacaan yang cenderung soliter, pertunjukan sintren modern menggunakan sumber suara dalam menyampaikan informasi. Secondary orality dalam sintren modern mampu mengakomodasi budaya sebelumnya, yaitu budaya lisan dan budaya tulis. Jika dalam primary orality, pertunjukan sintren lebih bersifat seremonial, bernuasa magis, asap kemenyan, dan mantra-mantra dengan ruang waktu terbatas, setelah bertransformasi sebagai secondary orality sintren meninggalkan karakteristiknya dan lebih mengedepankan teknologi.
Pertunjukan sintren yang dimediasi media modern seperti sintren dalam bentuk VCD dan CD atau muncul di radio dan televisi. Meskipun terbatasnya penonton atau penikmat yang terlibat secara aktif, sintren dalam secondary orality tetap merupakan salah satu cara untuk mengawetkan tradisi lisan.
SIMPULAN
Sintren adalah tradisi lisan yang penyampaiannya berupa pertunjukan tari dan pembacaan mantra-mantra dipandang sebagai kelisanan pertama. Dalam perjalanannya sintren telah mengalami transformasi ke dalam berbagai bentuk digitalisasi dan literasi, sebagai sebuah novel modern, sebagai pertunjukan musik dalam sintren modern, dan hadir dalam kemasan VCD, CD, serta tampil dalam radio dan televisi.
Sebagai kelisanan kedua dengan tampilan baru yang hadir dalam youtube video, novel, dan sintren modern tidak meninggalkan ciri dan karakteristik sintren dalam kelisanan pertama. Meskipun demikian, novel yang berjudul Sintren sebagai kelisanan kedua mampu mengawetkan dan melestarikan tradisi sintren. Demikian pula dengan nama sintren yang tampil dengan penari sintren dalam kekhasan bagi siapa pun khususnya yang mengenal tradisi sintren akan selalu mengingatkan bahwa kita mempunyai seni tradisi pertunjukan yang bernama sintren.
Berdasarkan indikator karakteristik, baik dalam budaya tulis maupun kelisanan kedua, ditemukan bahwa terjadi pembacaan dan pemaknaan yang berbeda antara sintren sebagai kelisanan pertama dan atas novel dan pertunjukan musik sintren modern. Novel Sintren, video youtube, dan pertunjukan musik sintren modern sebagai bentuk kelisanan kedua mampu menjawab persoalan keterbatasan pembacaan kisah penari sintren bentuk novelnya dan pertunjukan musik modern.
Kekuatan visual yang terdapat dalam bentuk pertunjukan musik modern dan tidak adanya aroma mistis serta terbebasnya pertunjukan dari ruang waktu memungkinkan penonton terlibat dan tiada berjarak dengan kisah yang termuat di dalamnya sehingga penonton jauh lebih paham. Dengan demikian, sintren dalam bentuk secondary orality dari segi bentuk benar-benar berubah, sedangkan dari substansi tidak terlalu banyak berubah. Sintren dalam secondary orality masih dapat dilacak jejaknya.
Demikianlah penjelasan tentang seni tradisi Sintren sebagai primery orality. Semoga bermanfaat.
Post a Comment for "PRIMARY ORALITY [PENELUSURAN SEJARAH SINTREN]"