Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MENCARI KAYU BAKAR DI HUTAN GEDJUD

Hutan Gedjud

Di suatu hari yang cerah, rumah tua bercorak Jawa, menjorok dekat bukit hijau. Keadaan disekitarnya melukiskan kedamaian dan ketentraman. Matahari sedikit-sedikit mengintip dari celah jendela, menandakan hari segera dimulai. Ayam berkokok di belakang rumah sudah memanggil-manggil Aku agar segera menyiapkan sarapan pagi. Pagi itu adalah hari seperti biasanya Aku mencari kayu bakar. Yah, benar Aku adalah anak kampung dari bukit sebelah utara sana. Memberi makan ayam, sarapan, lalu mencari kayu bakar itulah hari-hariku. Mencari kayu bakar merupakan kegiatan yang asyik bagi Aku. Bagaimana tidak ! Ibuku amat senang bila Aku mendapati banyak kayu bakar yang siap saji. Ibu akan segera memasak di dapur dengan segala kekhasan dapur tempo doeloe. Pawon namanya. Renyah, empuk, campur aduk rasa yang dihasilkan bila masak di dapur Ibuku. 

Ayah, bagaimana dengan ayah. Ayahku seorang seniman hebat. Banyak karya indah berhasil ia ciptakan dari tangannya. Kayu bakar, batu berserakan, alat dapur bekas, atau barang elektronik yang sudah rusak kerap dijadikan karya seni yang mempesona. Barang-barang itu akan kelihatan indah bila disentuh tangan ayahku. 

Suatu ketika aku mendapati kayu dari hutan penuh dengan benalu. Bagi ayah ini adalah keberuntungan yang didapat dari Tuhan. Bagi ibu mungkin saja hanya sebagai bahan bakar memasak, namun bagi Ayah tidak begitu. Karena Ayahku adalah seorang seniman begitu orang kota menyebutnya. Ayah sangat senang bila aku mendapati kayu yang berbentuk unik. Ia akan jadikan barang antik yang tiada kira indahnya. Kena betul rasanya bila kayu kering disentuh jari-jari kreatif Ayahku.

"Nak, hari ini mencari kayu bakar dimana ?" tanya Ayah sambil tersenyum.

"Di bukit hutan kecil  Gedjud dekat kali cawang, Yah..."

 "Di situ memang banyak cabang dan ranting yang sudah tua, berjulur-julur di batangnya, ada juga yang terlihat seperti hidup, melambai-lambai seakan menyapa kita, apa kabar teman kecil" Ayah menceritakan keadaan di sana dengan antusias.

"Ayah temani kamu mencari kayu bakar, ya Nak !"

"Siapa tahu Ayah juga mendapati kayu-kayu tua yang cantik"

"Beneran, Ayah mau ikut denganku! " Aku girang bukan main karena Ayah menemaniku mencari kayu bakar. 

Memang hari itu masih pagi, namun Aku dan ayah sepakat untuk berangkat sambil membawa bekal minum dan beberapa gorengan ubi hasil masakan ibuku.

Banyak naik turun bukit dan rawa-rawa. Kali ini sepanjang jalan ke hutan Gedjud Aku banyak mendapati ranting-ranting kering yang siap dipetik, lalu Ayah dengan tangan kekarnya mengikat ranting-ranting itu. Senang rasanya menjelajah hutan bersama Ayah sambil sesekali bercanda denganku, atau sekedar bercanda dengan ranting-ranting itu seolah-olah hidup.

"Lihatlah Yah...!, Kayu kering di atas sana, yang hanya ditopang oleh batang kayu kecil, terlihat melambai-lambai memanggil Aku, seakan ingin diambil segera !"

"Yang mana, Nak ?"

"Oooh betul, kayu itu indah nian, bersolek menari diatas dengan mempesona. Ayah akan memanjat sedikit. Lalu, Praaakkk...! kayu itu jatuh ke tanah. Benar saja. aduhai bentuk lekukan kayu itu".

Setelah dirasa cukup melelahkan, Akhirnya tibalah pada saat yang ditunggu-tunggu yaitu istirahat. Makan dan minum seadanya, menjadi nikmat luar biasa, bila..... Sambil menatap hutan kecil Gedjud yang menawan, kunikmati ciptaan Tuhan yang indah. Hijau, rimbun, terbentang luas. Sentuhan Tuhan menata alam menjadikan aneka ragam hayati, suara binatang dan gesekan tumbuh-tumbuhan menambah kesyahduan siang itu. Harmoni.

Perjalanan pulang dan membawa hasil kayu kering, akan selalu dinantikan oleh ibuku. Di belakang rumah tertata kayu bakar hasil kemarin, tersusun rapih, dan bersih. Bertanda keluarga yang menjaga kesehatan dan kebersihan. Di bawah dekat tumpukan kayu itu, kita akan mendapati ibu yang sedang memasak. 

Bila keberuntungan menghampiri keluargaku, datang lah tamu-tamu Ayah yang mencari hiasan untuk koleksi di rumahnya. Ada yang dari Jakarta, Surabaya, atau pernah juga Tamu mancanegara.

"Yang itu maknanya apa Pak ?" tanya Tamu suatu ketika.

"Kayu dengan ukiran lekuk-lekuk di tubuhnya seolah terlilit Naga yang mematikan, sedang batang-batang lainnya mengisahkan seolah-olah minta tolong dengan ukiran mulut yang mengangga". Tamu itu menyimpulkan kata-katanya sendiri seakan ia mengerti makna dibalik karya Ayahku.

"Entahlah, saya hanya mengikuti lekukan kayu saja, selebihnya saya kombinasikan bagaimana pantasnya. Tidak ada makna apapun, Tuan ! "Begitu jawab Ayahku dengan raut wajah yang sumringah polos seakan tidak mengerti apa-apa.

"Ya sudah, Aku ambil barang yang itu ya pak !"

"Berapa harga yang pantas untuk karya seni yang luar biasa ini, Pak ?" tanya tamu itu penasaran.

"Tidak usah dibayar, Tuan? Itu hanya kayu-kayu kering yang saya dapatkan dari hutan Gedjud. Silahkan ambil saja, bila Tuan suka ! " Ayahku menjawab sambil gemetaran.

"Ah, tidak Pak Tua. Ini adalah hasil terbaik pengalaman penemuanku dalam hal berburu karya di daerah sini."

"Mohon diterima, Pak Tua. Di amplop ini ada 24.000.000,- (Dua Puluh Empat juta). Sekedar terima kasih atas karya yang luar biasa. Mohon diterima !

Seakan gemetar seluruh tubuh. Ayah dan Ibuku pun ikut merasakan keajaiban Alam atas rejeki yang tiada tara. Mata berkaca-kaca menatap tumpukan uang di dalam amplop yang terbuka itu. Seperti mimpi di depan pandangan yang terhalang air mata, terbayang seluruh kenangan, mencari kayu bakar, menjaga alam, menjaga mata air, menjaga harmoni.  Lunglai, lemas, tangisan bahagia pecah menyeruak menyatu pelukan ibu dan Ayah seolah tidak percaya. 

Post a Comment for "MENCARI KAYU BAKAR DI HUTAN GEDJUD"