KENAPA GURU HARUS MENULIS
conny abdull |
Terkait dengan hal itu, ada nasihat Mas Pram yang sering dikutip: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”, demikian Mas Pram menasihati. Sekilas, kutipan Mas Pram tersebut cenderung merujuk pada semangat dan ambisi pribadi untuk tetap abadi dalam ingatan sejarah.Namun, saya melihatnya secara berbeda. Nasihat Mas Pram cenderung merujuk pada semangat supaya setiap kecerdasan itu awet dan tak hilang begitu saja. Karena itu, apa pun alasannya, mereka yang cerdas mengolah tubuh, kata-kata, suara, dan sebagainya, harus menulis. Dengan lajur berpikir demikian, saya pikir kita sudah sepakat bahwa sebagai mesin utama pencerdasan, guru pun harus menulis. Guru harus mengawetkan setiap pengetahuan sebagai warisan untuk generasi masa depan. Terkesan lucu jika bekerja sebagai mesin pencerdas bangsa, guru malah ogah untuk menulis dengan dalih tidak berbakat menulis.
Memang, sebagai keterampilan, kemampuan menulis berada pada tingkat kasta teratas kemampuan berbahasa sehingga tak semua orang berbakat untuk menulis. Namun, sebagai keterampilan, semestinya kemampuan menulis bisa dilatih. Lagipula, setiap guru baru akan berhak memangku posisi sebagai guru setelah ia menulis, sekurang-kurangnya skripsi. Artinya, seorang guru sebenarnya sudah pernah menulis. Jadi, alasan tak berbakat menulis tak bisa dibenarkan, apalagi untuk seorang guru. Saya tak sedang mengatakan bahwa pekerjaan utama guru adalah menulis.
Empat Manfaat Menulis
Meskipun demikian, tak berarti bahwa karena bukan pekerjaan utama, guru tak perlu menulis. Paling tidak, sekali dalam setahun, guru harus mengabadikan buah pikirannya dalam bentuk tulisan. Berdasarkan fakta yang ada saat ini, banyak guru tak mau menulis. Jika pun menulis, sejauh pelacakan saya, tulisan tersebut lebih beraroma salin-tempel (copy-paste), yakni berupa PTK yang beredar di internet. Artinya, aktivitas menulis cenderung masih sebagai kewajiban dibandingkan dengan kemauan, apalagi pengabdian. Menulis belum menyatu dengan jiwa para guru sehingga dianggap sebagai beban. Padahal, menulis bukan beban, melainkan justru peringan beban.
Ada banyak penelitian yang membuktikan hal itu. Menurut Graves (dalam Akhadiah, dkk., 1988), setidaknya ada empat manfaat menulis yang dapat menunjang profesionalisme guru.
Yang pertama adalah menulis untuk mengasah kecerdasan. Tujuan negara secara konstitusional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tugas pencerdasan itu diberikan kepada guru. Tentu menjadi kewajiban guru untuk selalu mengasah kecerdasannya sebelum mencerdaskan anak didik. Apalagi, kemudian kecerdasan tak pernah menyentuh garis akhir sebagaimana pengetahuan selalu berkembang tiada henti. Artinya, berhenti mengasah kecerdasan sesungguhnya adalah berhenti mengajar.
Yang kedua adalah menulis untuk mengembangkan daya inisiatif dan kreativitas. Citra Sufiani Alamsyah (2016) menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa inisiatif seorang guru sangat berpengaruh terhadap kedisiplinan dan kreativitas siswa. Berkaitan dengan itu pula, kreativitas merupakan roda yang kuat untuk mengantarkan kita ke tujuan pendidikan. Bahkan, Costa Berthur menyebutkan bahwa kemampuan berpikir kreatif merupakan sumber yang amat vital bagi suatu bangsa. Sungguh mengerikan membayangkan apabila sebuah negara miskin inisiatif, apalagi kreativitas! Jika guru sudah kreatif, setidaknya kesenjangan usia dan pencapaian siswa tidak akan terlalu lebar.
Faktanya, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Amanda Beatty, dkk. dalam “Indonesia’s Learning Profiles between 2000 and 2014”; International Journal of Educational Development (2021), ditemukan adanya kesenjangan yang cukup lebar antara kemampuan siswa dan standar yang ditetapkan. Kemampuan dalam Matematika siswa kelas 7 pada tahun 2014, misalnya, sama dengan kemampuan siswa kelas 4 pada tahun 2000. Artinya, guru masih miskin kreativitas. Karena itu, jangan terkejut ketika rata-rata anak Indonesia belajar selama 12,4 tahun, tetapi kemampuan rata-ratanya ternyata hanya setara dengan belajar selama 7,8 tahun (Human Capital Index, 2020).
Yang ketiga adalah, sebagaimana pendapat Graves, menulis juga ternyata bermanfaat untuk menumbuhkan keberanian. Karena mengingat pentingnya keberanian itu, pemerintah lantas menstimulasinya melalui program Merdeka Belajar. Namun, jika mengutip Doni Koesoema, justru ada kecenderungan ketakutan dari guru untuk menerapkan Merdeka Belajar. Karena itu, menurut Doni lagi, guru perlu belajar untuk merdeka. Satu semangatnya adalah agar guru berani untuk tidak hanya menuntut haknya, tetapi juga berani untuk mencari cara lain dalam menunaikan kewajibannya. Menurut Buchari Alma, tanpa meningkatkan keberanian, mutu pendidikan itu tetap akan rendah, bahkan merosot.
Yang paling menarik bagi saya adalah manfaat yang keempat, yaitu menulis dapat mendorong kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi. Pendidikan idealnya adalah pekerjaan ilmiah. Karena itu, seharusnya hasil belajar mesti lebih baik dari tahun ke tahun. Ibaratnya, siswa kita tahun ini adalah sampel bagi guru untuk memperbaiki bagaimana mendidik siswa pada tahun berikutnya. Dengan demikian, informasi terkait dengan siswa pada tahun ini mesti diamati dan direfleksi sebagai pijakan untuk melakukan pendekatan pembelajaran pada periode berikutnya. Bahkan, pada tahun yang sama, kita bisa membuat kelas lain sebagai kelas pembanding untuk sebuah kelas kontrol.
Tetap Harus Berjiwa
Memang, meski berlabel pekerjaan ilmiah, guru tak mesti menjadi kaku. Pendekatan pembelajaran tetaplah harus berjiwa dan menggunakan pendekatan emosional. Itulah yang pernah dilakukan guru fenomenal, Erin Gruwell, di Woodrow Wilson High School. Erin Gruwel mendapatkan tantangan luar biasa karena pada saat itu kelesuan belajar di tempatnya sangat tinggi lantaran konflik rasial antargeng. Ruang kelas berisi anak-anak tanpa harapan. Murid duduk berkelompok sesuai dengan ras mereka. Sungguh sangat kacau sehingga Erin Gruwel kewalahan. Pada awal kedatangan Erin Gruwell, para murid bahkan tampak sangat tidak menyukainya. Mereka makin tidak menyukainya karena mereka sangat sensitif terhadap orang berkulit putih.
Namun, setiap masalah ada sebabnya. Di sinilah diperlukan kemampuan guru untuk mengumpulkan informasi dan Erin Gruwel melakukannya. Dia menyuruh siswa untuk menuliskan apa saja yang mereka pikirkan dan apa saja yang terjadi dalam hidup mereka (rasa suka atau pun benci). Intinya, setiap siswa harus menulis jurnal tersebut setiap hari. Jika murid-muridnya ingin tulisannya dibaca oleh Erin Gruwell, mereka dapat menaruh buku hariannya di lemari belakang kelas. Lemari itu akan dibuka pada saat pelajaran dimulai, lalu akan dikunci pada saat pelajaran usai.
Erin Gruwell memastikan tidak ada seorang pun yang bisa membaca buku jurnal mereka, kecuali dirinya sendiri. Ternyata, semua murid menaruh buku harian tersebut di lemari agar tulisan mereka dapat dibaca. Gruwell cukup terkejut setelah mengetahui apa yang dialami siswa. Ada yang harus berlarian untuk bertahan hidup. Ada yang sejak kecil sudah terbiasa melihat dan mengalami kekerasan karena konflik rasial antargeng. Ada yang kehilagan banyak teman. Semua informasi itu pada akhirnya membuat Gruwell dapat bertindak dengan tepat. Singkat cerita, Erin Gruwell berhasil menuliskannya dan kisahnya dibuat menjadi film. Dari kisah Erin Gruwel ini makin tegas diketahui bahwa guru memang harus menulis! Salam Literasi!
Yang kedua adalah menulis untuk mengembangkan daya inisiatif dan kreativitas. Citra Sufiani Alamsyah (2016) menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa inisiatif seorang guru sangat berpengaruh terhadap kedisiplinan dan kreativitas siswa. Berkaitan dengan itu pula, kreativitas merupakan roda yang kuat untuk mengantarkan kita ke tujuan pendidikan. Bahkan, Costa Berthur menyebutkan bahwa kemampuan berpikir kreatif merupakan sumber yang amat vital bagi suatu bangsa. Sungguh mengerikan membayangkan apabila sebuah negara miskin inisiatif, apalagi kreativitas! Jika guru sudah kreatif, setidaknya kesenjangan usia dan pencapaian siswa tidak akan terlalu lebar.
Faktanya, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Amanda Beatty, dkk. dalam “Indonesia’s Learning Profiles between 2000 and 2014”; International Journal of Educational Development (2021), ditemukan adanya kesenjangan yang cukup lebar antara kemampuan siswa dan standar yang ditetapkan. Kemampuan dalam Matematika siswa kelas 7 pada tahun 2014, misalnya, sama dengan kemampuan siswa kelas 4 pada tahun 2000. Artinya, guru masih miskin kreativitas. Karena itu, jangan terkejut ketika rata-rata anak Indonesia belajar selama 12,4 tahun, tetapi kemampuan rata-ratanya ternyata hanya setara dengan belajar selama 7,8 tahun (Human Capital Index, 2020).
Yang ketiga adalah, sebagaimana pendapat Graves, menulis juga ternyata bermanfaat untuk menumbuhkan keberanian. Karena mengingat pentingnya keberanian itu, pemerintah lantas menstimulasinya melalui program Merdeka Belajar. Namun, jika mengutip Doni Koesoema, justru ada kecenderungan ketakutan dari guru untuk menerapkan Merdeka Belajar. Karena itu, menurut Doni lagi, guru perlu belajar untuk merdeka. Satu semangatnya adalah agar guru berani untuk tidak hanya menuntut haknya, tetapi juga berani untuk mencari cara lain dalam menunaikan kewajibannya. Menurut Buchari Alma, tanpa meningkatkan keberanian, mutu pendidikan itu tetap akan rendah, bahkan merosot.
Yang paling menarik bagi saya adalah manfaat yang keempat, yaitu menulis dapat mendorong kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi. Pendidikan idealnya adalah pekerjaan ilmiah. Karena itu, seharusnya hasil belajar mesti lebih baik dari tahun ke tahun. Ibaratnya, siswa kita tahun ini adalah sampel bagi guru untuk memperbaiki bagaimana mendidik siswa pada tahun berikutnya. Dengan demikian, informasi terkait dengan siswa pada tahun ini mesti diamati dan direfleksi sebagai pijakan untuk melakukan pendekatan pembelajaran pada periode berikutnya. Bahkan, pada tahun yang sama, kita bisa membuat kelas lain sebagai kelas pembanding untuk sebuah kelas kontrol.
Tetap Harus Berjiwa
Memang, meski berlabel pekerjaan ilmiah, guru tak mesti menjadi kaku. Pendekatan pembelajaran tetaplah harus berjiwa dan menggunakan pendekatan emosional. Itulah yang pernah dilakukan guru fenomenal, Erin Gruwell, di Woodrow Wilson High School. Erin Gruwel mendapatkan tantangan luar biasa karena pada saat itu kelesuan belajar di tempatnya sangat tinggi lantaran konflik rasial antargeng. Ruang kelas berisi anak-anak tanpa harapan. Murid duduk berkelompok sesuai dengan ras mereka. Sungguh sangat kacau sehingga Erin Gruwel kewalahan. Pada awal kedatangan Erin Gruwell, para murid bahkan tampak sangat tidak menyukainya. Mereka makin tidak menyukainya karena mereka sangat sensitif terhadap orang berkulit putih.
Namun, setiap masalah ada sebabnya. Di sinilah diperlukan kemampuan guru untuk mengumpulkan informasi dan Erin Gruwel melakukannya. Dia menyuruh siswa untuk menuliskan apa saja yang mereka pikirkan dan apa saja yang terjadi dalam hidup mereka (rasa suka atau pun benci). Intinya, setiap siswa harus menulis jurnal tersebut setiap hari. Jika murid-muridnya ingin tulisannya dibaca oleh Erin Gruwell, mereka dapat menaruh buku hariannya di lemari belakang kelas. Lemari itu akan dibuka pada saat pelajaran dimulai, lalu akan dikunci pada saat pelajaran usai.
Erin Gruwell memastikan tidak ada seorang pun yang bisa membaca buku jurnal mereka, kecuali dirinya sendiri. Ternyata, semua murid menaruh buku harian tersebut di lemari agar tulisan mereka dapat dibaca. Gruwell cukup terkejut setelah mengetahui apa yang dialami siswa. Ada yang harus berlarian untuk bertahan hidup. Ada yang sejak kecil sudah terbiasa melihat dan mengalami kekerasan karena konflik rasial antargeng. Ada yang kehilagan banyak teman. Semua informasi itu pada akhirnya membuat Gruwell dapat bertindak dengan tepat. Singkat cerita, Erin Gruwell berhasil menuliskannya dan kisahnya dibuat menjadi film. Dari kisah Erin Gruwel ini makin tegas diketahui bahwa guru memang harus menulis! Salam Literasi!
Post a Comment for "KENAPA GURU HARUS MENULIS"