HIKAYAT SUKU DAYAK
suku dayak |
Mite
Cerita yang mempunyai latar belakang sejarah, dipercayai oleh Orang Dayak sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung hal-hal yang ajaib, dan umumnya ditokohi oleh dewa (duwataq).
Dayak Jalai; ASAL USUL BATU BUNTANGAN.
Jaman dahulu hiduplah sebuah keluarga miskin, ia bernama Abuq (Kakek) Rindau istrinya telah meninggal, ia tinggal bersama cucunya karna anaknya juga telah meninggal. suatu hari, tetangganya mengadakan Upacara Adat Merandau namun ia tidak diberitahu atau diundang, karna ia dianggap miskin dan terhina. (Merandau adalah Upacara Adat yang dilakukan Masyarakat Dayak Jalai setelah panen padi (di Subsuku Dayak Kanayatn sama dengan Naik Dango), upacara ini adalah bentuk ucapan syukur atas panen yang didapat).
Upacara Adat Merandaupun dimulai, pesta dilakukan besar-besaran dan meriah. Karena tidak diundang, maka Abuq memutuskan untuk pergi menyumpit ke hutan. Abuqpun mempersiapkan Sumpitan, yang terbuat dari Kayu Buliatn (Ulin), Pimping, anak panah yang terbuat dari kayu pulai.
Sebelum berangkat menyumpit, Abuq berpesan kepada cucunya “Cu, kamu tidak boleh pergi kepesta itu, karena kita miskin dan hina sehingga mereka tidak mengundang kita. Nasi dan sayur sudah Abuq siapkan, jika kamu lapar makanlah didapur”. Lalu Abuqpun pergi menyusuri hutan.
Setelah beberapa jam ditinggal Abuq menyumpit, cucu itupun merasa lapar, ia hendak makan dilihatnya sayur sudah dingin dan ingin memanaskannya, namun karna ia tidak bisa menghidupkan api ditungkun batu maka ia pergi ketempat pesta tersebut hendak meminta api.
Ketika sampai ditempat pesta itu, orang-orang yang melihatnya berteriak,
“Cucu Rindau....Cucu Rindau..., dimana Abukmu ?” tanya mereka
“Abuq menyumpit kehutan” jawabnya.
Merekapun kembali bertanya ia sedang mencari apa ?
“Api” jawab cucu Rindau, lalu mereka memberi ‘api tupang kantung’ (api yang dari kayu bakar), sebelum pulang mereka membekalinya ‘kue sangak’ (getah kayu yang hampir serupa dengan kue).
Setelah mendapat apa yang ia cari, cucu Rindaupun pulang kegubuknya. Iapun memakan kue sangak yang ia dapat dipesta tadi. seharian ia mengunyah kue tersebut namun tidak hancur karena liat.
Sore hari Abuqpun pulang dari menyumpit, dari hasil menyumit ia mendapat anak kelasi (sejenis kelempiau).
Abuqpun pergi kedapur, namun ia melihat nasi dan sayur yang ia masak masih utuh, maka ia pun bertanya kepada cucunya “mengapa belum makan ? dan apakah kamu pergi ketempat pesta ?”. Cucunya pun menjawab “ia, karna ia meminta api dan diberi kue sangak”. Melihat kue sangat itu, Abuq Rindaupun menjadi marah, karena cucunya diberi getah kayu bukanlah kue.
Iapun bergegas mendandani anak kelasi yang ia dapat tadi, dipasanginya cawat dari terap kayu. Lalu ia lepas ditempat orang berpesta tadi, melihat anak kelasi yang lucu tersebut, seluruh pengunjung pesta tertawa terpingkal-pingkal, menertawakan anak kalasi tadi.
Setengah jam kemudian, cuaca berubah menjadi mendung, tak lama badaipun datang, rumah yang mengadakan pesta tadipun disambar petir sehingga berubah menjadi batu. Gubuk Abuq Rindau yang terbuat dari bambu selamat dari sambaran petir tersebut.Seluruh orang berada di tempat pesta tesebut terkurung didalam batu tersebut, yang tersisa hanyalah lubang kecil saja.
Selama satu minggu, masyarakat memberi makan mereka yang terkurung dibatu tersebut melalui lubang kecil tersebut. Lama-kelamaan akhirnya masyarakatpun tidak sanggup lagi memberi makan mereka.
Hingga suatu hari merekapun diberi sebuah pisau, untuk saling membunuh, hingga tak satupun mereka yang terkurung dari batu tesebut selamat.
Hingga saat ini, Batu Buntangan masih bisa kita lihat dan temui di Dusun Benatu, Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang.
Lokasi bisa ditempuh menggunakan jalan darat dan berjalan kaki menuju batu tersebut. Demikianlah cerita tentang Asal-Usul Batu Buntangan, cerita rakyat Dayak Jalai yang berada di Kabupaten Ketapang.
Cerita rakyat yang dianggap Orang Dayak benar-benar terjadi yang ceritanya dihubungkan dengan tokoh sejarah, telah dibumbui dengan keajaiban, kesaktian, dan keistimewaan tokohnya.
Fabel
Cerita dalam kalangan Orang Dayak yang menceritakan kehidupan hewan yang berperilaku menyerupai manusia .
Setelah mendapat apa yang ia cari, cucu Rindaupun pulang kegubuknya. Iapun memakan kue sangak yang ia dapat dipesta tadi. seharian ia mengunyah kue tersebut namun tidak hancur karena liat.
Sore hari Abuqpun pulang dari menyumpit, dari hasil menyumit ia mendapat anak kelasi (sejenis kelempiau).
Abuqpun pergi kedapur, namun ia melihat nasi dan sayur yang ia masak masih utuh, maka ia pun bertanya kepada cucunya “mengapa belum makan ? dan apakah kamu pergi ketempat pesta ?”. Cucunya pun menjawab “ia, karna ia meminta api dan diberi kue sangak”. Melihat kue sangat itu, Abuq Rindaupun menjadi marah, karena cucunya diberi getah kayu bukanlah kue.
Iapun bergegas mendandani anak kelasi yang ia dapat tadi, dipasanginya cawat dari terap kayu. Lalu ia lepas ditempat orang berpesta tadi, melihat anak kelasi yang lucu tersebut, seluruh pengunjung pesta tertawa terpingkal-pingkal, menertawakan anak kalasi tadi.
Setengah jam kemudian, cuaca berubah menjadi mendung, tak lama badaipun datang, rumah yang mengadakan pesta tadipun disambar petir sehingga berubah menjadi batu. Gubuk Abuq Rindau yang terbuat dari bambu selamat dari sambaran petir tersebut.Seluruh orang berada di tempat pesta tesebut terkurung didalam batu tersebut, yang tersisa hanyalah lubang kecil saja.
Selama satu minggu, masyarakat memberi makan mereka yang terkurung dibatu tersebut melalui lubang kecil tersebut. Lama-kelamaan akhirnya masyarakatpun tidak sanggup lagi memberi makan mereka.
Hingga suatu hari merekapun diberi sebuah pisau, untuk saling membunuh, hingga tak satupun mereka yang terkurung dari batu tesebut selamat.
Hingga saat ini, Batu Buntangan masih bisa kita lihat dan temui di Dusun Benatu, Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang.
Lokasi bisa ditempuh menggunakan jalan darat dan berjalan kaki menuju batu tersebut. Demikianlah cerita tentang Asal-Usul Batu Buntangan, cerita rakyat Dayak Jalai yang berada di Kabupaten Ketapang.
Pesan moral yang terkandung dalam cerita diatas adalah, “Rasa saling menghormati antar sesama harus tetap kita pelihara. Menilai orang lain janganlah dari luarnya saja (materi, kecantikan/ketampanan), tetapi nilailah dari hatinya. Alam adalah bagian dari kehidupan, jika ia sudah murka maka tak satupun mampu mengalahkan atau menghadangnya, maka hargailah alam karena darinya kita mendapatkan sumber kehidupan”. (Narasumber: Nasarius Mukun Dusun Benatu, di Kabupaten Ketapang).Legenda
Cerita rakyat yang dianggap Orang Dayak benar-benar terjadi yang ceritanya dihubungkan dengan tokoh sejarah, telah dibumbui dengan keajaiban, kesaktian, dan keistimewaan tokohnya.
Fabel
Cerita dalam kalangan Orang Dayak yang menceritakan kehidupan hewan yang berperilaku menyerupai manusia .
Sage
Cerita lama dalam kalangan Orang Dayak yang berhubungan dengan sejarah, yang menceritakan keberanian, kepahlawanan, kesaktian dan keajaiban seseorang.
Cerita lama dalam kalangan Orang Dayak yang berhubungan dengan sejarah, yang menceritakan keberanian, kepahlawanan, kesaktian dan keajaiban seseorang.
Dayak Tae; MA’GASAN MA’NIAH
Pada jaman dahulu, di kampokng Tae ada dua orang pemuda perkasa yang bernama Ma’ Gasan dan Ma’Niah. Pada suatu hari Ma’ Gasan dan Ma’ Niah mandi di sungai Tae, dimana sungai itu dulu sangat dalam dan banyak bebatuan. Kedua pemuda itupun bermain didalam sungai sambil melempar batu–batu yang berukuran besar ke arah mereka satu sama lain. Mereka juga menyusun batu-batu yang berukuran sedang hingga menjadi jalan, yang digunakan untuk mereka berpijak pulang dan pergi kesungai. Batu-batu tersebut disusun dari sungai sampai ke rumah mereka. Di tepian sungai, mereka mengangkat sebuah batu yang serukuran kira-kira sebesar daun pintu rumah, untuk mereka duduk dan mencuci. Sampai sekarang masih digunakan masyarakat Rumah Tae bawah. Begitulah kegiatan mereka setiap hari sehingga sampai mengakibatkan air sungai keruh.
Saat itu, Kampokng Tae dipimpin oleh seorang Temenggung yang bernama Raja Uda, melihat kenakalan kedua pemuda tersebut Raja Uda marah, akan tetapi Ma’ Gasan dan Ma’ Niah mereka kesal atas kemarahan Temenggung tersebut. Ma’Gasan dan Ma’Niahpun melampiaskan kekesalannya dengan mengangkat batu besar, sebesar Dio Belandokng (Rumah Jurung/Lumbung Padi), kemudian meletakkannya didepan pintu rumah Raja Uda. Ketika Raja Uda bangun tidur akan membuka pintu rumahnya, pintu tidak bisa dibuka karena tersangkut batu yang diletakan oleh Ma’Gasan dan Ma’Niah, melihat hal itu murkalah Raja Uda, Dia tahu tidak ada orang lain yang mampu mengangkat batu sebesar itu selain Ma’Gasan dan Ma’Niah. Kemudian Raja Uda memanggil Ma’Gasan dan Ma’Niah, mereka diusir dari Tanah Tae. Merasa diusir oleh Raja Uda maka pergilah Ma’Gasan dan Ma’Niah meninggalkan Tanah Tae. Mereka berjalan tak tentu arah.
Hari berganti hari, malam berganti malam, akhirnya mereka menemukan sebuah kampokng Nkase. Dikampokng Nkase pun mereka tidak diterima. Oleh karena mereka tidak diterima, mereka lalu menantang semua orang yang ada dikampokng Nkase untuk Berpancap (adu kekuatan). Kemudian terjadilah adu kekuatan yang luar biasa. Semua orang yang mengikuti pertarungan itu kalah semua. Munculah seorang kakek yang berbadan kurus kerempeng dan dialah yang menyanggupi melawan Ma’Gasan dan Ma’Niah, merekapun melakukan pertarungan bepancap, tetapi dia membuat perjanjian, kalau dia kalah (si kakek) Ma’Gasan dan Ma’Niah boleh tinggal di kampong Nkase dan boleh menjadi pemimpin di Wilayah Nkase dan sebaliknya bila si kakek menang Ma’Gasan dan Ma’Niah tidak boleh tinggal diwilayah Kampong Nkase dan kemudian pertarungan pun dimulai, sampai rumah Radakng Nkase bergoyang, Ma’Gasan pun tidak mampu memulas tangan kakek tersebut sehingga mereka berganti, kalah Ma’Gasan majulah Ma’Niah, diapun tidak mampu mengalahkan si kakek dan akhirnya merekapun mengaku kalah, lalu merekapun meninggalkan wilayah Kampong Nkase, sampai sekarang nasib dan keberadaan Ma’Gasan dan Ma’Niah tidak ada yang tau di mana rimbanya. Narasumber: Sekretariat Lapangan Institut Dayakologi Komunitas Tiong Kandang, 2017 (Oleh Marselus Yopos)
Epos
Cerita dalam kalangan Orang Dayak yang menceritakan riwayat perjuangan kepahlawanan
Jenaka
Cerita dalam kalangan Orang Dayak yang sifatnya lucu dan menghibur dan diceritakan untuk anak anak sebelum tidur.
Hikayat
Cerita dalam kalangan masyarakat Suku Dayak yang berisi tentang,, kisah, dongeng maupun sejarah. Umumnya mengisahkan tentang kephalawanan seseorang, lengkap dengan keanehan, kekuatan/ kesaktian, dan mukjizat sang tokoh utama.
Dayak Bukit (Binua Talaga); INDON;
Pada suatu hari dimusim berladang, di sebuah kampung hiduplah sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan tiga orang anaknya. Ketiga anak itu bernama Sulansing, Indon dan Jama’. Pagi itu, seperti biasa keluarga ini akan berangkat keladang, sebelum berangkat orang tuanya menuangkan padi di pante (teras rumah panjang) untuk dijemur, ibunyapun berpesan kepada Indon dan Jama’ karena mereka berdua tidak ikut keladang, “jemuran ditunggu ya, kalau ayam patuk diusir....kalau hari hujan jemuran padi diangkat kedalam rumah, kakakmu Sulansing ikut kami keladang, biar dia membantu menyiapkan air minum diladang”, Indon dan Jama’ pun menyahut “iya ibu”.
Setelah mereka pergi ke ladang, senanglah Indon dan Jama’ karena mereka bebas bermain gasikng. Saking asiknya bermain gasikng, mereka lupa pesan ibunya untuk menjaga dan melihat jemuran padinya. Tak lama haripun berubah menjadi mendung, angin mulai bertiup, hujan pun turun dengan derasnya, Indon dan Jama’ tetap asik bermain gasikng, hingga mereka lupa mengangkat jemuran padi tadi. Padipun terkena hujan, dan hanyut bersama derasnya air hujan tadi, tak ada sebiji padipun tertinggal, semua hanyut terbawa air hujan.
Setelah asik bermain merekapun tersadar dengan jemuran padinya, setelah mereka lihat terkejutlah mereka karena padi yang dijemur orang tuanya tadi telah hanyut bersama air hujan. Mereka berduapun ketakutan, karena mereka pasti akan dimarahkan orang tuannya karena tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.
Setelah hari petang, orang tua merekapun pulang kerumah bersama kakak sulungnya. Ibunya terkejut karena ia melihat bide’ (tikar yang terbuat dari anyaman rotan) masih tergeletak di pante. Ibunya pun berkata kepada suaminya, “ya...ampun, jangan-jangan jemuran padi tidak mereka angkat, karena bide’ masih dipante”. Merekapun masuk kedalam rumah, dan mencari padi yang dijemurnya tadi, karena tidak melihat padinya, ibunyapun memanggil kedua anaknya itu, “o....Indon...diangkatkah jemuran padi tadi ?”. Indonpun menjawab dari balik kelambu, (karena takut dimarah mereka berdua sembunyi didalam kelambu), “kami lupa bu...”lalu ibunya kembali bertanya, “mengapa bisa lupa ?”, Indonpun kembali menjawab “karena kami asik bermain gasikng.
Mendengar hal itu, kedua orang tuanya pun terdiam, sambil menahan amarahnya kepada kedua anaknya itu. Ibunyapun melanjutkan pekerjaannya, memasak nasi dan sayur untuk makan malam keluarganya. Setelah selesai masak, ia pun menghidangkan nasi dan sayur yang ia masak tadi, lalu tanpa sengaja ia melihat gasikng yang pakai anaknya bermain tadi. Lalu dalam hati ia berkata gara-gara main gasikng inilah Indon dan Jama’ lupa mengangkat jemuran.
Dibelahnyalah gasikng tersebut dan dimasaknya seperti ia memasak nasi didalam periuk. Tak lama ia pun memanggil suami dan anaknya Sulansing untuk makan. Setelah mereka selesai makan, iapun menyimpan gasikng tadi kedalam piring Indon dan Jama’, lalu bergegas membangunkan Indon dan Jama’ yang tertidur tadi. “Indon... Jama’....makan lagi, hari sudah malam, kapan lagi kalian mau makan ?”. Setelah memanggil kedua anaknya iapun bergegas tidur menyusul suaminya yang sudah tertidur. Mendengar panggilan ibunya, Indon dan Jama’pun bergegas bangun untuk makan. Betapa terkejutnya Indon dan Jama’ setelah melihat isi piringnya ternyata hanya gasikng yang dibelah-belah ibunya....
Melihat itu Indonpun berkata, “iiiiii........sungguh terlalu marahnya ayah dan ibu kepada kita berdua dik, kalau dipukul mungkin itu masih patut, karena kita memang salah. Mereka sudah tidak sayang, lebih baik kita jadi burung saja kata Indon kepada adiknya, Jama’ pun menyetujui keinginan kakaknya itu. Kalau begitu lebih baik kita duduk di tengah ‘pante’ (pante adalah teras rumah betang yang tidak beratap) biar semalaman kita terkena embun.
Mereka berduapun duduk semalaman ditengah pante rumahnya, sambil bercerita meratapi apa yang telah terjadi terhadap mereka berdua, Indonpun berkata kepada adiknya Jama’ “sampai hati benar ibu dan bapa kepada kita ya dik...” “iya”, jawab Jama’. Mereka berduapun lalu bernyayi ‘siup-siup kami nya...rua, turunt kao a...mutna, ganceh kami babulu niat, kami jajia’ burukng. Sampe ati banar da’ uwe da’ apa’ man diri’ wah di’ dinya Au’ jadi’nya... (tiup-tiup kami angin...turunlah embun...cepat beri kami bulu, kami mau jadi burung. Sampai hati benar ibu dan ayah dengan kita ya dik...... iya jawab adinya)
Mendengar itu nyanyian itu....angin pun bertiup embun pun turun membasahi tubuh mereka, keajaibanpun muncul...perlahan tubuh mereka ditumbuhi bulu, bulu itupun tumbuh sampai dimata kakinya... mereka pun mengulang-ngulang nyayian itu, sampai pagi menjelang, bulupun sudah tumbuh sampai di ketiak mereka.
Karena sudah pagi Sugalipun bangun dari tidurnya, ia bergegas kedapur, betapa terkejutnya ia melihat gasikng ada didalam piring, iapun berpikir jangan-jangan tadi malam ibunya memasakkan gasikng itu untuk kedua adiknya. Sunsalipun bergegas menuju kamar kedua adiknya itu, iapun semakin terkejut karena kedua adiknya tersebut tidak ada didalam kamarnya.
Sunsali bergegas keluar, sesampainya dipante, ia melihat kedua adinya itu, Iapun terperangah karena melihat tubuh kedua adiknya itu sudah berbulu. Dengan sedih Sunsalipun bertanya kepada kedua adiknya itu, mengapa mereka mau jadi burung !, ia pun memelas kalau bisa jangan sampai jadi burung pintanya kepada kedua adiknya itu. Indonpun menjawab, terlalu pengajaran ibu dan ayah kepada kami, tega mereka memasakan gasikng dan dibilangnya nasi kepada kami. Mereka berduapun terjun kebawah pante, walaupun mereka belum bisa terbang. Sansulipun berteriak... ‘jangan-jangan pergi dik...yuk kita naik kerumah’ ujarnya. ‘Tidak’ kata adiknya, ‘kecuali ayah dan ibu yang menyuruh kami naik, maka kami mau jadi manusia lagi’ ‘kalau begitu tunggulah sebentar kakak panggil ayah dan ibu dulu’ kata Sunsali kepada adiknya, iapun bergegas membangunkan ayah dan ibunya lalu menceritakan apa yang terjadi terhadap kedua adiknya. Mendengar hal itu, ibunya berkata kepada suaminya, kalau cerita Sunsali itu tidak masuk akal ‘masa manusia bisa jadi burung’ ujar ibunya. Berkali-kali Sunsali meyakinkan ayah dan ibunya kalau ceritanya tidaklah bohong, tetapi ayah dan ibunya tetap saja tidak beranjak dari tidurnya.
Melihat itu Sunsalipun berlari keluar mengejar kedua adiknya dan memohon untuk kembali kerumah, tetapi kedua adiknya tetap menolaknya, merekapun berkata ‘kami akan tetap menjadi burung dan akan pergi ke hutan’, Sunsali pun kembali mengiba kepada adiknya agar jangan jadi burung... Tetapi kedua adiknya sudah bisa terbang dan hinggap diatas pohon rambutan didekat rumahnya.
Mendegar teriakan Sunsali memanggil adiknya, ayah dan ibunyapun bergegas bangun dan keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi, betapa terkejutnya mereka melihat kedua anaknya telah jadi burung, hanya kepalanya saja yang belum berubah menjadi burung, sehingga mereka masih bisa menyahuti perkataan ayah dan ibunya.
Nenek perempuannya pun keluar, mereka berkata agar mereka jangan jadi burung, merekapun menyahut ‘sudah terlambat, kami tidak bisa berubah jadi manusia lagi, kecuali bulu kami baru sampai ketiak tadi’, ‘mungkin sudah nasib kami untuk jadi burung’ tambahnya.
Merekapun histeris menangis nasib yang telah terjadi, penyesalanpun sudah terlambat. Mereka berduapun terbang menuju hutan. Ayahnya pun menangis sejadi-jadinya sambil memanggil anak laki-lakinya, iapun berubah menjadi burung totoh’. Ibunyapun menangis histeris, iapun berubah menjadi burung pangaek. Neneknyapun berubah menjadi burung alo’ sangkuku’. Sunsalipun berubah menjadi burung pune. Akhirnya 1 buah rumahpun menjadi burung. (Narasumber: Maniamas Miden Sood Dayak BUKIT di Binua Talaga, Kab. Landak)
Cerita Untuk Ritual
Kumpulan cerita baik dalam versi bahasa asli maupun versi terjemahaan, cerita yang digunakan sebagai/untuk/syarat mutlak dalam penyelenggaraan ritual adat dikalangan Orang Dayak.
Pada jaman dahulu, di kampokng Tae ada dua orang pemuda perkasa yang bernama Ma’ Gasan dan Ma’Niah. Pada suatu hari Ma’ Gasan dan Ma’ Niah mandi di sungai Tae, dimana sungai itu dulu sangat dalam dan banyak bebatuan. Kedua pemuda itupun bermain didalam sungai sambil melempar batu–batu yang berukuran besar ke arah mereka satu sama lain. Mereka juga menyusun batu-batu yang berukuran sedang hingga menjadi jalan, yang digunakan untuk mereka berpijak pulang dan pergi kesungai. Batu-batu tersebut disusun dari sungai sampai ke rumah mereka. Di tepian sungai, mereka mengangkat sebuah batu yang serukuran kira-kira sebesar daun pintu rumah, untuk mereka duduk dan mencuci. Sampai sekarang masih digunakan masyarakat Rumah Tae bawah. Begitulah kegiatan mereka setiap hari sehingga sampai mengakibatkan air sungai keruh.
Saat itu, Kampokng Tae dipimpin oleh seorang Temenggung yang bernama Raja Uda, melihat kenakalan kedua pemuda tersebut Raja Uda marah, akan tetapi Ma’ Gasan dan Ma’ Niah mereka kesal atas kemarahan Temenggung tersebut. Ma’Gasan dan Ma’Niahpun melampiaskan kekesalannya dengan mengangkat batu besar, sebesar Dio Belandokng (Rumah Jurung/Lumbung Padi), kemudian meletakkannya didepan pintu rumah Raja Uda. Ketika Raja Uda bangun tidur akan membuka pintu rumahnya, pintu tidak bisa dibuka karena tersangkut batu yang diletakan oleh Ma’Gasan dan Ma’Niah, melihat hal itu murkalah Raja Uda, Dia tahu tidak ada orang lain yang mampu mengangkat batu sebesar itu selain Ma’Gasan dan Ma’Niah. Kemudian Raja Uda memanggil Ma’Gasan dan Ma’Niah, mereka diusir dari Tanah Tae. Merasa diusir oleh Raja Uda maka pergilah Ma’Gasan dan Ma’Niah meninggalkan Tanah Tae. Mereka berjalan tak tentu arah.
Hari berganti hari, malam berganti malam, akhirnya mereka menemukan sebuah kampokng Nkase. Dikampokng Nkase pun mereka tidak diterima. Oleh karena mereka tidak diterima, mereka lalu menantang semua orang yang ada dikampokng Nkase untuk Berpancap (adu kekuatan). Kemudian terjadilah adu kekuatan yang luar biasa. Semua orang yang mengikuti pertarungan itu kalah semua. Munculah seorang kakek yang berbadan kurus kerempeng dan dialah yang menyanggupi melawan Ma’Gasan dan Ma’Niah, merekapun melakukan pertarungan bepancap, tetapi dia membuat perjanjian, kalau dia kalah (si kakek) Ma’Gasan dan Ma’Niah boleh tinggal di kampong Nkase dan boleh menjadi pemimpin di Wilayah Nkase dan sebaliknya bila si kakek menang Ma’Gasan dan Ma’Niah tidak boleh tinggal diwilayah Kampong Nkase dan kemudian pertarungan pun dimulai, sampai rumah Radakng Nkase bergoyang, Ma’Gasan pun tidak mampu memulas tangan kakek tersebut sehingga mereka berganti, kalah Ma’Gasan majulah Ma’Niah, diapun tidak mampu mengalahkan si kakek dan akhirnya merekapun mengaku kalah, lalu merekapun meninggalkan wilayah Kampong Nkase, sampai sekarang nasib dan keberadaan Ma’Gasan dan Ma’Niah tidak ada yang tau di mana rimbanya. Narasumber: Sekretariat Lapangan Institut Dayakologi Komunitas Tiong Kandang, 2017 (Oleh Marselus Yopos)
Epos
Cerita dalam kalangan Orang Dayak yang menceritakan riwayat perjuangan kepahlawanan
Jenaka
Cerita dalam kalangan Orang Dayak yang sifatnya lucu dan menghibur dan diceritakan untuk anak anak sebelum tidur.
Hikayat
Cerita dalam kalangan masyarakat Suku Dayak yang berisi tentang,, kisah, dongeng maupun sejarah. Umumnya mengisahkan tentang kephalawanan seseorang, lengkap dengan keanehan, kekuatan/ kesaktian, dan mukjizat sang tokoh utama.
Dayak Bukit (Binua Talaga); INDON;
Pada suatu hari dimusim berladang, di sebuah kampung hiduplah sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan tiga orang anaknya. Ketiga anak itu bernama Sulansing, Indon dan Jama’. Pagi itu, seperti biasa keluarga ini akan berangkat keladang, sebelum berangkat orang tuanya menuangkan padi di pante (teras rumah panjang) untuk dijemur, ibunyapun berpesan kepada Indon dan Jama’ karena mereka berdua tidak ikut keladang, “jemuran ditunggu ya, kalau ayam patuk diusir....kalau hari hujan jemuran padi diangkat kedalam rumah, kakakmu Sulansing ikut kami keladang, biar dia membantu menyiapkan air minum diladang”, Indon dan Jama’ pun menyahut “iya ibu”.
Setelah mereka pergi ke ladang, senanglah Indon dan Jama’ karena mereka bebas bermain gasikng. Saking asiknya bermain gasikng, mereka lupa pesan ibunya untuk menjaga dan melihat jemuran padinya. Tak lama haripun berubah menjadi mendung, angin mulai bertiup, hujan pun turun dengan derasnya, Indon dan Jama’ tetap asik bermain gasikng, hingga mereka lupa mengangkat jemuran padi tadi. Padipun terkena hujan, dan hanyut bersama derasnya air hujan tadi, tak ada sebiji padipun tertinggal, semua hanyut terbawa air hujan.
Setelah asik bermain merekapun tersadar dengan jemuran padinya, setelah mereka lihat terkejutlah mereka karena padi yang dijemur orang tuanya tadi telah hanyut bersama air hujan. Mereka berduapun ketakutan, karena mereka pasti akan dimarahkan orang tuannya karena tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.
Setelah hari petang, orang tua merekapun pulang kerumah bersama kakak sulungnya. Ibunya terkejut karena ia melihat bide’ (tikar yang terbuat dari anyaman rotan) masih tergeletak di pante. Ibunya pun berkata kepada suaminya, “ya...ampun, jangan-jangan jemuran padi tidak mereka angkat, karena bide’ masih dipante”. Merekapun masuk kedalam rumah, dan mencari padi yang dijemurnya tadi, karena tidak melihat padinya, ibunyapun memanggil kedua anaknya itu, “o....Indon...diangkatkah jemuran padi tadi ?”. Indonpun menjawab dari balik kelambu, (karena takut dimarah mereka berdua sembunyi didalam kelambu), “kami lupa bu...”lalu ibunya kembali bertanya, “mengapa bisa lupa ?”, Indonpun kembali menjawab “karena kami asik bermain gasikng.
Mendengar hal itu, kedua orang tuanya pun terdiam, sambil menahan amarahnya kepada kedua anaknya itu. Ibunyapun melanjutkan pekerjaannya, memasak nasi dan sayur untuk makan malam keluarganya. Setelah selesai masak, ia pun menghidangkan nasi dan sayur yang ia masak tadi, lalu tanpa sengaja ia melihat gasikng yang pakai anaknya bermain tadi. Lalu dalam hati ia berkata gara-gara main gasikng inilah Indon dan Jama’ lupa mengangkat jemuran.
Dibelahnyalah gasikng tersebut dan dimasaknya seperti ia memasak nasi didalam periuk. Tak lama ia pun memanggil suami dan anaknya Sulansing untuk makan. Setelah mereka selesai makan, iapun menyimpan gasikng tadi kedalam piring Indon dan Jama’, lalu bergegas membangunkan Indon dan Jama’ yang tertidur tadi. “Indon... Jama’....makan lagi, hari sudah malam, kapan lagi kalian mau makan ?”. Setelah memanggil kedua anaknya iapun bergegas tidur menyusul suaminya yang sudah tertidur. Mendengar panggilan ibunya, Indon dan Jama’pun bergegas bangun untuk makan. Betapa terkejutnya Indon dan Jama’ setelah melihat isi piringnya ternyata hanya gasikng yang dibelah-belah ibunya....
Melihat itu Indonpun berkata, “iiiiii........sungguh terlalu marahnya ayah dan ibu kepada kita berdua dik, kalau dipukul mungkin itu masih patut, karena kita memang salah. Mereka sudah tidak sayang, lebih baik kita jadi burung saja kata Indon kepada adiknya, Jama’ pun menyetujui keinginan kakaknya itu. Kalau begitu lebih baik kita duduk di tengah ‘pante’ (pante adalah teras rumah betang yang tidak beratap) biar semalaman kita terkena embun.
Mereka berduapun duduk semalaman ditengah pante rumahnya, sambil bercerita meratapi apa yang telah terjadi terhadap mereka berdua, Indonpun berkata kepada adiknya Jama’ “sampai hati benar ibu dan bapa kepada kita ya dik...” “iya”, jawab Jama’. Mereka berduapun lalu bernyayi ‘siup-siup kami nya...rua, turunt kao a...mutna, ganceh kami babulu niat, kami jajia’ burukng. Sampe ati banar da’ uwe da’ apa’ man diri’ wah di’ dinya Au’ jadi’nya... (tiup-tiup kami angin...turunlah embun...cepat beri kami bulu, kami mau jadi burung. Sampai hati benar ibu dan ayah dengan kita ya dik...... iya jawab adinya)
Mendengar itu nyanyian itu....angin pun bertiup embun pun turun membasahi tubuh mereka, keajaibanpun muncul...perlahan tubuh mereka ditumbuhi bulu, bulu itupun tumbuh sampai dimata kakinya... mereka pun mengulang-ngulang nyayian itu, sampai pagi menjelang, bulupun sudah tumbuh sampai di ketiak mereka.
Karena sudah pagi Sugalipun bangun dari tidurnya, ia bergegas kedapur, betapa terkejutnya ia melihat gasikng ada didalam piring, iapun berpikir jangan-jangan tadi malam ibunya memasakkan gasikng itu untuk kedua adiknya. Sunsalipun bergegas menuju kamar kedua adiknya itu, iapun semakin terkejut karena kedua adiknya tersebut tidak ada didalam kamarnya.
Sunsali bergegas keluar, sesampainya dipante, ia melihat kedua adinya itu, Iapun terperangah karena melihat tubuh kedua adiknya itu sudah berbulu. Dengan sedih Sunsalipun bertanya kepada kedua adiknya itu, mengapa mereka mau jadi burung !, ia pun memelas kalau bisa jangan sampai jadi burung pintanya kepada kedua adiknya itu. Indonpun menjawab, terlalu pengajaran ibu dan ayah kepada kami, tega mereka memasakan gasikng dan dibilangnya nasi kepada kami. Mereka berduapun terjun kebawah pante, walaupun mereka belum bisa terbang. Sansulipun berteriak... ‘jangan-jangan pergi dik...yuk kita naik kerumah’ ujarnya. ‘Tidak’ kata adiknya, ‘kecuali ayah dan ibu yang menyuruh kami naik, maka kami mau jadi manusia lagi’ ‘kalau begitu tunggulah sebentar kakak panggil ayah dan ibu dulu’ kata Sunsali kepada adiknya, iapun bergegas membangunkan ayah dan ibunya lalu menceritakan apa yang terjadi terhadap kedua adiknya. Mendengar hal itu, ibunya berkata kepada suaminya, kalau cerita Sunsali itu tidak masuk akal ‘masa manusia bisa jadi burung’ ujar ibunya. Berkali-kali Sunsali meyakinkan ayah dan ibunya kalau ceritanya tidaklah bohong, tetapi ayah dan ibunya tetap saja tidak beranjak dari tidurnya.
Melihat itu Sunsalipun berlari keluar mengejar kedua adiknya dan memohon untuk kembali kerumah, tetapi kedua adiknya tetap menolaknya, merekapun berkata ‘kami akan tetap menjadi burung dan akan pergi ke hutan’, Sunsali pun kembali mengiba kepada adiknya agar jangan jadi burung... Tetapi kedua adiknya sudah bisa terbang dan hinggap diatas pohon rambutan didekat rumahnya.
Mendegar teriakan Sunsali memanggil adiknya, ayah dan ibunyapun bergegas bangun dan keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi, betapa terkejutnya mereka melihat kedua anaknya telah jadi burung, hanya kepalanya saja yang belum berubah menjadi burung, sehingga mereka masih bisa menyahuti perkataan ayah dan ibunya.
Nenek perempuannya pun keluar, mereka berkata agar mereka jangan jadi burung, merekapun menyahut ‘sudah terlambat, kami tidak bisa berubah jadi manusia lagi, kecuali bulu kami baru sampai ketiak tadi’, ‘mungkin sudah nasib kami untuk jadi burung’ tambahnya.
Merekapun histeris menangis nasib yang telah terjadi, penyesalanpun sudah terlambat. Mereka berduapun terbang menuju hutan. Ayahnya pun menangis sejadi-jadinya sambil memanggil anak laki-lakinya, iapun berubah menjadi burung totoh’. Ibunyapun menangis histeris, iapun berubah menjadi burung pangaek. Neneknyapun berubah menjadi burung alo’ sangkuku’. Sunsalipun berubah menjadi burung pune. Akhirnya 1 buah rumahpun menjadi burung. (Narasumber: Maniamas Miden Sood Dayak BUKIT di Binua Talaga, Kab. Landak)
Cerita Untuk Ritual
Kumpulan cerita baik dalam versi bahasa asli maupun versi terjemahaan, cerita yang digunakan sebagai/untuk/syarat mutlak dalam penyelenggaraan ritual adat dikalangan Orang Dayak.
Post a Comment for "HIKAYAT SUKU DAYAK"