Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ibu dan Sajak_sajak Kemarin

sebuah cerpen ibu
Ketelair Indonesia_ "KAMU harus tahu, nak. Hidup dan cinta adalah dua hal yang cukup berseberangan. Dan, itulah yang menjadi alasan mengapa ibumu pada detik-detik kematian, masih menegaskannya kepadamu."

Ibu berkata demikian, sehari sebelum kematiannya, dan saat kematiannya adalah saat melepaskan nafas dari tubuh dengan posisi tidak berdaya. Samuel berteriak keras dengan suaranya yang nyaris berbarengan dengan suara pukulan tangan di tepi meja. Semasa hidupnya, ibu menyapanya dengan nada yang lemah-lembut, tak pernah tangannya mengenai tubuh Samuel.

Semarah dan sebenci apapun. Sampai Samuel kehilangan cara untuk membencinya. Lelaki jangkung, berwajah bulat itu, benar-benar larut dalam kesedihan, namun ia terus berjuang untuk menetralisir keadaan itu. Adik-adiknya turut menyaksikan. Betapa mereka mencintai ibu setelah kepergian ayah. Samuel bertekad akan menuliskan kisah kelam keluarganya dalam diary dan tidak ingin membiarkan kisah itu berlalu tanpa ada jalan keluar.

Wasiat terakhir mendiang ibu, selalu diingat. Kata-kata yang keluar dari mulut sang ibu membuatnya bangga dan semakin berani menjalani kenyataan hidup. Sang ayah telah meninggalkan ibu dan keluarga lima tahun silam. Kini, giliran ibu beralih ke pangkuan ayah.

Suatu ketika, jenazah ibu hendak dibaringkan dalam kuburan, dengan blak-blakan, Mila, tetangga sebelah rumah menyindirnya. Bagi Samuel, apa yang dikatakan oleh orang-orang adalah motivasi tersendiri bagi dirinya.

"Kematian merupakan sebuah kepastian. Tidak ada manusia yang bisa menjawab rumus kematian dengan pasti. Serahkan segala-galanya kepada Yang Kuasa," Samuel membathin.

Langit mendung, sedang adik-adiknya masih meratapi kepergian ibu. Ibu dikuburkan di sebelah kanan kuburan ayah. Orang-orang telah kembali. Dipeluk erat tubuh adik-adiknya, lalu diajaknya pergi meninggalkan kuburan.

"Jangan khawatir. Kita harus bersyukur atas anugerah hidup yang telah diberikan dengan cuma-cuma oleh sang pemberi hidup," kata-kata Samuel menguatkan adiknya.

Lima tahun kepergian ayah dan dua jam yang lalu kepergian ibu tanpa terasa. Kata "mati" menjadi sesuatu yang menakutkan. Penyakit yang diderita ibu sudah terlampau lama, hingga ibu terlanjur nyaman dan tak ingin mati. Namun, hidup adalah proses kematian yang tertunda. Tepat tiga minggu, sebuah kematian datang memeluknya, diterimanya dengan ikhlas, dan itu artinya kerinduan.

***

Hari menjelang sore. Rintik-rintik hujan di luar rumah terus berjatuhan. Maria menghabiskan waktu di meja belajar hanya ingin menulis tentang ibu. Ia hanya takut, jika kelak wajah ibu terhapus dari ingatannya. Maria pandai menulis dan menggambar. Sesekali waktu, ditempelkan tulisan hasil karyanya pada kamar ibunya.

"Ibu, masihkah ada rindu untukku?"

Maria lalu tertidur. Samuel menghampirinya lalu membaringkan tubuhnya di sebelah kiri tubuh Maria. Hal yang paling menjengkelkan dari Maria adalah menghabiskan waktu untuk menulis tentang ibu hingga lalai untuk sarapan. Tumpukan tulisan di atas meja dengan beragam judul, bersamaan dengan potret ibu yang masih lembab oleh tumpahnya air mata Maria. Berulang kali Maria melontarkan pernyataan yang sama tentang keinginannya mengenyam pendidikan di sebuah sekolah favorit.

Pikiran Samuel seperti diobrak-abrik. Biaya pendidikan yang cukup mahal dengan latar belakang ekonomi yang pas-pasan, memberanikan Samuel mengambil keputusan untuk memenuhi permintaan Maria.

" Syukurlah. Kakak sudah diterima sebagai salah satu anggota buruh pelabuhan. Mulai besok, kakah sudah bekerja. Kau arus giat belajar," Samuel membangkitkan gairah Maria.

"Terima kasih, kakak atas dukungan," Maria melayangkan bibirnya lalu mendarat di pipi Samuel.

Bukan hanya Maria yang ingin memiliki masa depan. Rey dan Tino juga ingin mengenyam pendidikan tinggi. Tentu hal ini, membuat Samuel semakin bingung mencari uang. Menjadi buruh pelabuhan adalah pekerjaan yang maha berat dan menuntut kesabaran serta kerja keras. Dimana-mana orang-orang mencari pekerjaan untuk mempertahankan hidup. Uang memang bukan dewa yang patut disembah sujud, tetapi tentang hidup, orang bisa menjadi hamba atas uang dengan cara bekerja. Air mata Samuel membanjiri pipinya, memandangi wajah adik-adiknya. Cita-cita Maria untuk mengenyam pendidikan di sekolah favorit tercapai.

Menjelang bulan oktober, seluruh siswa-siswi diwajibkan untuk mengikuti lomba dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober. Maria pun mendaftarkan diri dengan senang hati. Dalam perlombaan, masing-masing siswa dituntut untuk menulis sebuah sajak untuk orang-orang paling dicintai. Setelah perlombaan itu diikuti oleh seluruh peserta, dewan juri mengumumkan kejuaraan. Nama Maria disebut paling dahulu dalam daftar kejuaraan.

"Horee..horee." Teriak Maria kegirangan. Maria memberanikan diri membaca sajak yang ditulisnya untuk ibu. Izinkan aku menyebut namamu, ibu dan membaca sajak-sajak kematianmu.

Ibu, aku anakmu. Sajak kematian ini kutulis saat hendak melepasmu.

Ibu…
Bukan kematian yang kurindukan, melainkan sosokmu.
Katamu, rindu yang paling teduh adalah doa. Doa-doa itu telah patah.
Ingin kuteguk kembali air susu tubuhmu, karena aku tidak ingin berlalu dari pelukanmu.

Ibu..
Saat kematian itu tiba, aku ingin menjadi onggokan batu yang melindungi tubuhmu dari rayap dan waktu yang tak berperasaan.

Ibu…
Apakah ayah sungguh mencintaimu? Apakah ayah begitu membenci kami?
Mengapa ayah ingin hadirmu?
Mengapa harus kami yang kau tinggalkan?

Ibu…
Jika kejujuran adalah jawaban. Aku ingin hidup dalam kematianmu, agar bersamamu aku bisa merasakan kebahagiaan.

Ibu…
Masih terlalu pagi. Sampaikan salam kami kepada ayah dan Tuhanmu.

"Maria"

***

Semua yang mendengarkan, mencucurkan air mata. Mereka hanyalah yatim piatu yang kini hidup dari belas kasihan orang lain. Tiba-tiba, Samuel muncul entah dari mana, membawakan kado sebagai hadiah kejuaraan yang diperoleh Maria.

"Terima kasih kakak, terima kasih ibu, terima kasih ayah," Maria memeluk erat tubuh Samuel.

"Ibu dan ayah tidak pergi hanya mati karena waktu. Ibu dan ayah selalu ada di sini, di dalam hati," kata-kata Samuel membuat Maria tersenyum ringan. Maria pun berjabatan tangan dengan dewan juri dan semua guru, karena berkat motivasi guru akhirnya Maria memperoleh kejuaraan.

Semua siswa-siswi diarahkan untuk berkumpul di halaman sekolah. Guru memberitahukan bahwa akan ada perlombaan selanjutnya. Maria dan sahabat-sahabatnya selalu berjanji untuk mengikuti perlombaan itu dengan penuh sukacita.

Kepergian ibu dan ayah justru mengubah kekecewaan, kegagalan menjadi kesuksesan dan kebahagiaan. Berkat bekerja menjadi buruh pelabuhan, Samuel menyekolahkan adik-adiknya dan mewujudkan harapan kedua orang tuanya yang telah tiada. Ia telah menjadi kakak sekaligus ayah dan ibu bagi adik-adiknya. Hidup bukan dongeng yang selalu berawal dan berakhir bahagia. Hidup adalah hidup yang terus diperjuangkan. Gagal coba lagi, jatuh dan bangun lagi. Samuel pun demikian.

(Penulis adalah anggota Agupena, Staf pengajar SMPN 1 Wulanggitang, mencintai sastra sejak masih di perguruan tinggi).

Post a Comment for "Ibu dan Sajak_sajak Kemarin"