CERPEN RUMAH DUKA
terkekang |
adalah; mungkin perempuan itulah yang lebih kehilangan dibanding aku, istri sahnya. Ketika itu jarum jam menggenapkan pukul tiga pagi. Anak perempuanku menangis berteriak memanggil-manggil nama papahnya, gema suaranya menyayat ke sudut-sudut koridor rumah sakit. Aku menangis tertahan. Sedang anak laki-lakiku menjadi bisu dan dingin.
Entah siapa yang mewartakan, tahu-tahu perempuan itu muncul di depan kamar
rumah sakit ini. Wajahnya menghitam karena duka. Ia hendak masuk ke kamar ini, mendekati mayat suamiku. Tapi aku tak membiarkannya.
"Tolong…, hormati keluarga kami yang sedang berduka," desisku.
Ia menghentikan langkah, menatapku sebentar, lantas berbalik dan berlalu. Mungkin sambil menangis. Kami segera mengurus segala hal untuk kremasi. Rumah duka kami booking. Rangkaian bunga duka cita dari kolega-kolega suamiku mulai berdatangan. Hari ini, mayatnya dirias, sebelum diistirahatkan. Tujuh belas tahun! Tujuh belas tahun! Perempuan itu mencuri tujuh belas tahun dari tiga puluh empat tahun pernikahan kami. Aku mengumpat sambil memilih jas terbaik untuk suamiku. Aku selalu tahu, suamiku suka mencicipi banyak perempuan. Seperti kesukaannya mencicip makanan di banyak restauran (kami tak punya restauran favorit keluarga, acara makan malam di luar rumah selalu berpindah lokasi). Aku tahu, dan diam-diam aku tak keberatan, dengan syarat; perempuan-perempuan itu tetap sebagai ’makanan’ dan bukan sebagai ’anjing’. Ya, sebab jika sudah menjadi ’anjing’, berarti dia dipelihara. Kadang jika ketahuan baru ’jajan’, aku akan marah-marah. Tapi toh, diam_diam aku tak keberatan, selama jajanan tak dibawa ke rumah. Aku punya alasan sendiri untuk ini. Ia biasa beralasan tugas di luar kota, atau pulang pagi karena lembur, dan sampai di kamar ini, tanpa melepaskan kemejanya ia langsung tidur mendekap guling mirip udang. Tapi ia tetap milikku, pulang ke padaku. Hingga si jalang itu datang ke kehidupan kami. Penyanyi kafe jazz bersuara berat, berusia pertengahan dua puluh, berkulit agak gelap, dan (tentu saja) lebih langsing dariku. Aku mengobrak-abrik lemari, mencari sebuah dasi sebagai pelengkap pakaian suamiku. Ada banyak dasi, tapi yang kumaksud belum juga ketemu. Dasi yang kubelikan di Singapura.
Suamiku sejak kecil berlatih saksofon. Ada masa ia ingin menjadi seorang musisi, tetapi orangtuanya tak setuju. Ia mengubur impiannya. Menahan saksofon untuk sekadar hobi. Kupandangi kotak saksofon yang ditinggal empunyanya. Kubuka, warnanya masih mengkilat. Beberapa hari sebelum masuk rumah sakit, suamiku sempat membersihkan saksofon ini. Kini ia teronggok bisu di dalam kotak. Jazz adalah musik sejati suamiku. Aku pun penyuka musik, tapi sungguh… sampai ajal suamiku, aku tetap tak bisa menikmati jazz. Aku lebih suka pop dengan nada-nada slow. Musik-musik orang kebanyakan. Musik yang bisa dinikmati semua orang. Musik yang tidak eksklusif.
Suamiku sejak kecil berlatih saksofon. Ada masa ia ingin menjadi seorang musisi, tetapi orangtuanya tak setuju. Ia mengubur impiannya. Menahan saksofon untuk sekadar hobi. Kupandangi kotak saksofon yang ditinggal empunyanya. Kubuka, warnanya masih mengkilat. Beberapa hari sebelum masuk rumah sakit, suamiku sempat membersihkan saksofon ini. Kini ia teronggok bisu di dalam kotak. Jazz adalah musik sejati suamiku. Aku pun penyuka musik, tapi sungguh… sampai ajal suamiku, aku tetap tak bisa menikmati jazz. Aku lebih suka pop dengan nada-nada slow. Musik-musik orang kebanyakan. Musik yang bisa dinikmati semua orang. Musik yang tidak eksklusif.
Perhatianku teralih ke lemari lagi, masih mencari dasi yang kumaksud. Mungkin, awalnya perempuan itu hanya ’makanan’, tapi ia makanan yang diramu oleh chef yang andal, jadilah suamiku ketagihan. Lama kelamaan, ’makanan’ itu menjelma jadi ’anjing’ peliharaan. Entah kenapa, aku jadi malah membongkar seisi lemari, bahkan lemari bagian pakaianku pun isinya sudah bertebaran di lantai kamar kami. Ranjang di kamarku serasa hangat, seperti tuntas ditiduri sosok manusia malam itu. Malam ketika Bim meninggal dunia. Dari pukul sembilan aku berusaha memejamkan mata, tapi tak bisa.
Sudah satu minggu Bim masuk rumah sakit, dan aku (tentu saja) tak bisa menengoknya. Siapalah aku, orang luar perusuh rumah tangga orang. Meski aku cinta setinggi langit sedalam lautan, itu tak mengubah apa pun. Apalagi statusku.
Tujuh belas tahun lalu, Bim muncul dalam hidupku. Saat malam-malam aku masih menyanyi di sebuah kafe jazz. Dia datang bersama sekelompok teman. Salah satu dari mereka diperkenalkan sebagai istrinya, yang naga-naganya tak terlalu menikmati musik jazz. Tapi Bim kulihat sangat menghayati lagu-lagu yang kami suguhkan. Lalu, ketika band kami istirahat sejenak, dan panggung kosong, Bim tiba-tiba maju. Dengan percaya diri ia mengeluarkan saksofon milik pribadi dan meminta ijin untuk memainkannya. Smoke Gets in Your Eyes mengalun. Aku yang tadinya hendak mengistirahatkan suara, jadi tertarik untuk bernyanyi dengan iringan tiupan saksofon Bim. Aku langsung menyambar mikrofon. Pengunjung kafe bersorak dengan penampilan kami. Bim mulai jadi pengunjung setia kafe jazz. Awalnya, masih bergerombol dengan teman-temannya (kadang pula dengan istri). Lama kelamaan, teman yang ikut makin sedikit, dan akhirnya, ia lebih sering datang sendiri. Setelah ketujuh kalinya datang solo, ia menunggu hingga kafe tutup jam dua pagi. Lantas menawariku untuk diantar pulang. Ketika itu, aku sudah sangat tahu bahwa ia kerap datang hanya untuk melihatku. Kami tak langsung pulang, ia menawariku makan tengah malam. Satu-satunya tempat makan yang masih buka jam segitu, yang nyaman untuk ngobrol, adalah restauran di hotel berbintang. Kami berbincang tentang musik. Dari situ aku tahu, ia adalah pengagum Louis Armstrong. Betapa selera kami sama, dan itu adalah pemantik. Sebab hari itu berakhir dengan check-in.
"Istrimu…, apa dia tidak mencarimu?"
"Dia tahu, aku sering kerja sampai pagi."
Jam lima pagi, kami check-out. Ia mengantarku pulang ke kos. Aku melanjutkan tidur dalam damai. Malam yang hebat, pikirku, habis ini ia tak akan pernah muncul lagi karena yang diinginkan sudah ia dapat. Tak pernah terpikir, bahwa malam itu hanya awal dari tujuh belas tahun hubungan kami berikutnya. Hingga ia diambil Tuhan.
Aku terbiasa tidur dengan ranjang yang dingin. Ia pulang ke tempat istrinya, dan hanya datang kalau sedang alasan tugas ke luar kota. Atau mampir ketika waktu makan siang. Tak sekadar untuk lunch, lebih dari itu… ia bahkan datang hanya untuk makan masakanku. Ya, kami kucing-kucingan macam ini. Tapi malam itu, malam ketika ia diambil Tuhan, ranjangku hangat. Aku bisa mencium odornya di bantal, di selimut, di guling. Ia selalu tidur mirip keluwing, dengan guling didekap erat. Kupandangi parfumnya di meja riasku, dan selembar celana pendeknya yang tergantung di pintu. Sedikit barang yang sengaja ditinggalkannya di sini. Aku tahu ia di rumah sakit mana, meski aku tak pernah mengunjunginya. Aku harus menemuinya! Harus!
Aku tak pernah menyangka bahwa suamiku akan mati terlebih dahulu. Gagal ginjal sudah lama mengancamku di sudut jalan dengan belatinya. Aku selalu bersiap ia menggorok leherku, dan mencongkel nyawaku. Bertahun-tahun aku harus menjalani cuci darah. Bertahun-tahun pula aku mencari donor ginjal. Meski kedua anakku menawarkan satu ginjal mereka untukku, aku tak mau menerimanya. Lebih baik aku cuci darah seumur hidup, ketimbang menerima ginjal itu. Sebab itu berarti aku merampas masa depan mereka. Tak sia_sia, aku menemukan ginjal di India. Malah suamiku yang tiba-tiba anfal. Maut memang suka bergurau dengan hidup. Inilah kenapa, aku diam-diam tak keberatan suamiku ’jajan’.
Tujuh belas tahun lalu, Bim muncul dalam hidupku. Saat malam-malam aku masih menyanyi di sebuah kafe jazz. Dia datang bersama sekelompok teman. Salah satu dari mereka diperkenalkan sebagai istrinya, yang naga-naganya tak terlalu menikmati musik jazz. Tapi Bim kulihat sangat menghayati lagu-lagu yang kami suguhkan. Lalu, ketika band kami istirahat sejenak, dan panggung kosong, Bim tiba-tiba maju. Dengan percaya diri ia mengeluarkan saksofon milik pribadi dan meminta ijin untuk memainkannya. Smoke Gets in Your Eyes mengalun. Aku yang tadinya hendak mengistirahatkan suara, jadi tertarik untuk bernyanyi dengan iringan tiupan saksofon Bim. Aku langsung menyambar mikrofon. Pengunjung kafe bersorak dengan penampilan kami. Bim mulai jadi pengunjung setia kafe jazz. Awalnya, masih bergerombol dengan teman-temannya (kadang pula dengan istri). Lama kelamaan, teman yang ikut makin sedikit, dan akhirnya, ia lebih sering datang sendiri. Setelah ketujuh kalinya datang solo, ia menunggu hingga kafe tutup jam dua pagi. Lantas menawariku untuk diantar pulang. Ketika itu, aku sudah sangat tahu bahwa ia kerap datang hanya untuk melihatku. Kami tak langsung pulang, ia menawariku makan tengah malam. Satu-satunya tempat makan yang masih buka jam segitu, yang nyaman untuk ngobrol, adalah restauran di hotel berbintang. Kami berbincang tentang musik. Dari situ aku tahu, ia adalah pengagum Louis Armstrong. Betapa selera kami sama, dan itu adalah pemantik. Sebab hari itu berakhir dengan check-in.
"Istrimu…, apa dia tidak mencarimu?"
"Dia tahu, aku sering kerja sampai pagi."
Jam lima pagi, kami check-out. Ia mengantarku pulang ke kos. Aku melanjutkan tidur dalam damai. Malam yang hebat, pikirku, habis ini ia tak akan pernah muncul lagi karena yang diinginkan sudah ia dapat. Tak pernah terpikir, bahwa malam itu hanya awal dari tujuh belas tahun hubungan kami berikutnya. Hingga ia diambil Tuhan.
Aku terbiasa tidur dengan ranjang yang dingin. Ia pulang ke tempat istrinya, dan hanya datang kalau sedang alasan tugas ke luar kota. Atau mampir ketika waktu makan siang. Tak sekadar untuk lunch, lebih dari itu… ia bahkan datang hanya untuk makan masakanku. Ya, kami kucing-kucingan macam ini. Tapi malam itu, malam ketika ia diambil Tuhan, ranjangku hangat. Aku bisa mencium odornya di bantal, di selimut, di guling. Ia selalu tidur mirip keluwing, dengan guling didekap erat. Kupandangi parfumnya di meja riasku, dan selembar celana pendeknya yang tergantung di pintu. Sedikit barang yang sengaja ditinggalkannya di sini. Aku tahu ia di rumah sakit mana, meski aku tak pernah mengunjunginya. Aku harus menemuinya! Harus!
Aku tak pernah menyangka bahwa suamiku akan mati terlebih dahulu. Gagal ginjal sudah lama mengancamku di sudut jalan dengan belatinya. Aku selalu bersiap ia menggorok leherku, dan mencongkel nyawaku. Bertahun-tahun aku harus menjalani cuci darah. Bertahun-tahun pula aku mencari donor ginjal. Meski kedua anakku menawarkan satu ginjal mereka untukku, aku tak mau menerimanya. Lebih baik aku cuci darah seumur hidup, ketimbang menerima ginjal itu. Sebab itu berarti aku merampas masa depan mereka. Tak sia_sia, aku menemukan ginjal di India. Malah suamiku yang tiba-tiba anfal. Maut memang suka bergurau dengan hidup. Inilah kenapa, aku diam-diam tak keberatan suamiku ’jajan’.
Rumah duka mulai penuh. Aku tak berhasil menemukan dasi yang kumaksud. Ia terlihat tampan dengan setelan jas Armani miliknya. Ah, harusnya kuminta ia dipakaikan kaos panjang model turtle neck saja. Dipadu dengan jas ini, tentu keren dan lebih terlihat muda. Kenapa pula aku harus memilih kemeja, kalau dasi yang kumaksud tak ketemu.
Perempuan itu, si jalang itu… aku tahu, ketika lama aku dirawat di rumah sakit, atau berobat ke luar negeri, pasti suamiku pergi ke rumahnya. Pembantuku yang lapor. Katanya, "selama Nyonya pergi, Tuan juga tidak pulang."
Perempuan itu, si jalang itu… aku tahu, ketika lama aku dirawat di rumah sakit, atau berobat ke luar negeri, pasti suamiku pergi ke rumahnya. Pembantuku yang lapor. Katanya, "selama Nyonya pergi, Tuan juga tidak pulang."
Anak-anak lebih menjaga perasaanku, tak mau mengadukan perihal macam ini. Hal yang menyebabkan aku sedih. Aku tahu, suamiku masih sayang padaku. Cinta mungkin sudah tidak. Tapi sayang, masih. Dia terlihat sedih ketika lama aku sakit. Kadang membawakan makanan yang kusuka. Aku tak memakannya, karena dokter melarangku. Toh, aku cukup senang dengan perhatiannya. Maka ketika pembantuku lapor demikian, meski marah (dan sejatinya aku tak punya kekuatan untuk marah), diam-diam aku bersyukur; ada orang lain yang mengurus suamiku, melayaninya dengan baik. Bahkan bisa diajaknya perempuan itu bertukar pikiran tentang jazz yang tak pernah kupahami. Kupikir, perempuan itu cuma mau mengeruk harta suamiku? Sebab jika ya, tak mungkin usia hubungan mereka sampai belasan tahun.
Sehari setelah suamiku meninggal, aku baru bisa memahami air mataku. Bahwa ia
mengalir untuk ’bapak dari anak-anakku’ yang kini jadi yatim (meski semua telah dewasa dan mandiri), dan bukan mengalir untuk ’suamiku’. Senyatanya aku tak merasa sekehilangan itu. Sebab meski aku memilikinya, aku tak pernah benar-benar bisa menggenggamnya. Lihat saja daftar perempuannya. Mungkin juga aku bukan istri yang baik, jika ya, tentu ia tak akan ’jajan’ di luar. Bahkan diam-diam memelihara ’anjing’.
Aku pernah menemui perempuan itu. Meminta dia untuk tak mengganggu rumah tangga kami. Untuk sejenak, memang suamiku kelihatan lebih banyak di rumah. Sehabis ngantor, langsung pulang. Tapi itu tak bertahan lama. Meski aku tak melihat dengan mata kepala sendiri, tapi aku tahu makin dekat. Malah kemudian, aku juga tahu suamiku diam_diam membelikannya rumah dan mobil. Ketika aku mencoba mencarinya di kafe jazz, hendak melabrak dengan murka, mereka bilang dia sudah tak bekerja di situ lagi. Aku tak berhasil menemui kekasihku malam itu, malam ketika Bim dipanggil Tuhan. Aku pulang dengan hati kosong, menangis di ranjang kosong yang sudah berubah dingin. Kupeluk guling Bim, mencari sisa aroma tubuhnya di situ. Ah…, Bim… apa kau tak tahu, aku lebih kehilangan dirimu ketimbang istrimu itu? Kau milikku yang tak pernah benar_benar kugenggam. Sial kau! Gara-gara kau, aku melewati usia pernikahanku! Gara-gara kau juga, aku menahan diri untuk tidak hamil. Aku tak mau memberimu masalah, sebab kau bilang, jika aku hamil berarti itu masalah. Gara-gara kau, aku sekarang kesepian. Sial kau, Bim! Terkutuklah kau di neraka jahanam sana!
Aku pernah menuntut Bim untuk memilih, antara aku dan istrinya. Ia selalu bilang,
tak akan menceraikan istrinya, sebab agamanya melarang. Mengajarinya untuk menikah satu kali, dan hanya sekali. Tak boleh bercerai. Aku pun tak mau dijadikan istri kedua, meski agamaku memperbolehkan poligami.
"Kan bisa pembatalan pernikahan!" protesku.
"Prosesnya tak gampang. Tahunan." Alasannya.
Biarpun tahunan, akan kutunggu kau! Toh Bim tak pernah mengajukan pembatalan pernikahan. Menurutku, bukan agama yang menjadi alasannya. Ia masih cinta. Ya, ia masih cinta perempuan itu. Ini terlihat jelas ketika istrinya sakit keras. Kata Bim, seminggu dua kali istrinya musti cuci darah. Aku sempat mengangankan, sebentar lagi kami akan jadi suami-istri. Sebentar lagi perempuan itu game over. Tapi aku keliru. Meski ketika perempuan itu berobat ke luar negeri Bim tinggal di tempatku, toh ia tak berhenti membicarakan istrinya. Kenangan mereka, awal-awal pernikahan mereka dan bagaimana mereka berjuang bersama dari nol (yang tak pernah kualami), serta ketakutan karena istrinya sekarat. Aku cemburu. Sangat cemburu. Terlebih ketika tema musik jazz tak lagi menarik baginya. Lalu suatu hari, ketika telah dua minggu Bim tinggal di rumahku selama istrinya berobat, dan aku mulai merasa ia milikku sepenuhnya, tanpa harus pulang ke rumah sana, Bim menerima telepon. Ia girang bukan kepalang, dengan semangat ia bilang padaku, "ginjalnya dapat! Ginjalnya dapat!" lalu diciumnya pipiku, saking gembiranya.
Diam-diam aku menyumpah, aku marah pada Tuhan. Kenapa Ia mempermainkan perasaanku. Impian-impianku, rasa nyaman adanya Bim di rumahku, tercerabut kasar. Aku sadar lagi; Bim belum jadi milikku, dan memang tak pernah jadi milikku.
Obituari Bim muncul di koran pagi ini, memberitahuku ia disemayamkan di rumah
duka mana. Dia masih kekasihku, meski sudah tak bernyawa. Dan aku merasa, meski tak satu hal mampu mengubah keadaan apa pun—apalagi statusku—aku tetap mencintai Bim. Setinggi langit sedalam lautan. Aku akan menyetir pelan-pelan, sambil mengisi penuh tangki keberanianku. Aku harus menemui Bim, memberinya penghormatan terakhir sebelum dia dibakar jadi abu.
Ia datang lagi, perempuan jalang itu. Pasti ia baca obituari di koran. Ini resikonya. Ia jadi tahu. Beberapa orang memandangi kedatangannya, beberapa berbisik-bisik. Tentu mereka tahu siapa perempuan itu dan bagaimana statusnya. Ia mendekatiku. Apa ia tak sadar, aku bisa jadi harimau yang tiba-tiba menerkam anjing buduk.
"Maaf, ini dasi kesayangan Bim. Mungkin dia mau memakainya."
"…." Kupandangi dasi yang dilipat rapi itu. Dasi yang dua hari terakhir ini kucari_cari. Tak terpikir bahwa suamiku akan menyimpan di rumahnya. Tentu ada barang lainnya di sana. Barang-barang pribadi suamiku yang tiba-tiba hilang. Aku mengerti sekarang, rumah perempuan itu, bagi suamiku adalah rumahnya juga. Atau mungkin aku sudah tahu, tapi coba mengelak. Kuterima dasi itu.
"Bolehkan saya…,"
"Silakan." Potongku.
"Terima kasih."
Entah kenapa, aku seraya lega. Meski kulihat perempuan itu mencium suamiku. Suamiku yang semakin tampan dengan dasi ini.
Diam-diam aku menyumpah, aku marah pada Tuhan. Kenapa Ia mempermainkan perasaanku. Impian-impianku, rasa nyaman adanya Bim di rumahku, tercerabut kasar. Aku sadar lagi; Bim belum jadi milikku, dan memang tak pernah jadi milikku.
Obituari Bim muncul di koran pagi ini, memberitahuku ia disemayamkan di rumah
duka mana. Dia masih kekasihku, meski sudah tak bernyawa. Dan aku merasa, meski tak satu hal mampu mengubah keadaan apa pun—apalagi statusku—aku tetap mencintai Bim. Setinggi langit sedalam lautan. Aku akan menyetir pelan-pelan, sambil mengisi penuh tangki keberanianku. Aku harus menemui Bim, memberinya penghormatan terakhir sebelum dia dibakar jadi abu.
Ia datang lagi, perempuan jalang itu. Pasti ia baca obituari di koran. Ini resikonya. Ia jadi tahu. Beberapa orang memandangi kedatangannya, beberapa berbisik-bisik. Tentu mereka tahu siapa perempuan itu dan bagaimana statusnya. Ia mendekatiku. Apa ia tak sadar, aku bisa jadi harimau yang tiba-tiba menerkam anjing buduk.
"Maaf, ini dasi kesayangan Bim. Mungkin dia mau memakainya."
"…." Kupandangi dasi yang dilipat rapi itu. Dasi yang dua hari terakhir ini kucari_cari. Tak terpikir bahwa suamiku akan menyimpan di rumahnya. Tentu ada barang lainnya di sana. Barang-barang pribadi suamiku yang tiba-tiba hilang. Aku mengerti sekarang, rumah perempuan itu, bagi suamiku adalah rumahnya juga. Atau mungkin aku sudah tahu, tapi coba mengelak. Kuterima dasi itu.
"Bolehkan saya…,"
"Silakan." Potongku.
"Terima kasih."
Entah kenapa, aku seraya lega. Meski kulihat perempuan itu mencium suamiku. Suamiku yang semakin tampan dengan dasi ini.
(Cerpen Ratih Kumala)
Post a Comment for "CERPEN RUMAH DUKA"