SASTRA BALI
Munculnya Sastra Bali
sastra Bali |
Mulai abad ke-16, orang bali menciptakan sastra mereka sendiri yang didasarkan pada cerita-cerita klasik Jawa kuna karena bahasa yang digunakan ini adalah bahasa Jawa Kuna, namun dengan perbedaan ini dibuatlah di Bali. Penggunaan bahasa Bali dengan kesusastraan baru berkembang relative belakangan, yaitu pada abad ke-18 yang digunakan untuk cerita rakyat, terjemahan karya klasik dan syair yang dibuat di Bali dan sejak kemerdekaan Indonesia pada bulan Agustus 1945 bahasa Nasional, bahasa Indonesia, digunakan secara luas untuk novel, cerita pendek, puisi dan juga untuk komunikasi.
Keseluruhan cara hidup masyarakat Bali, yang didasarkan atas agama Hindu, memiliki sejumlah aturan, norma yang disepakati bersama sekaligus berfungsi untuk mengarahkan para anggotanya dalam bertindak kearah positif. Sebagai gejala kebudayaan, kearifan lokal dan pengetahuan lokal terbentuk secara evolusionis, selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad, baik secara disengaja maupun tidak, bahkan mungkin secara sistem coba dan gagal (trial and error). Pada saat tertentu salah satu gejala hidup dengan subur, pada saat yang lain jarang digunakan, bahkan mungkin dilupakan. Oleh Karena itu, manefestasinya dalam masyarakat, baik secara tersembunyi maupun eksplisit tergantung dari kesadaran masyarakat dalam menggunakannya.
Karma phala mengajarkan bagi masyarakat Bali untuk tidak berbuat jahat sebab kejahatan akan membuahkan kejahatan. Sebaliknya untuk mempertahankan stabilitas secara keseluruhan maka masing-masing individu diharapkan untuk mengasihi orang lain seperti dirinya sendiri, menganggap penduduk pendatang sebagai tamu, sekaligus merendahkan diri dihadapan orang lain, dan sebagainya.
Klasifikasi Sastra Bali
Untuk lebih memahami tentang jenis-jenis sastra Bali, maka dengan ini kami menguraikan sastra Bali dari 4 (empat) tinjauan, yaitu sastra Bali:(1) berdasarkan kondisi empiris dan pragmatis,
(2) berdasarkan cara, teknik/tradisi penyajian,
(3) berdasarkan struktur penulisan, dan
(4) berdasarkan struktur, corak dan waktu pertumbuhkembangannya.untuk lebih jelasnya dapat dipaparkan sebagai berikut.
Berdasarkan Kondisi Empiris dan Pragmatis
Berdasarkan kondisi empiris dan pragmatisnya, sastra Bali dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
Secara Struktural
Secara struktural sastra Bali merupakan himpunan dari karya-karya sastra yang berbahasa Bali, baik bahasa Bali Tengahan maupun bahasa Bali Baru. Tinjauan ini didasarkan atas konstruksi yang membentuk suatu bangun karya sastra Bali. Bahasa merupakan aspek mendasar dalam mengkonstruksi suatu karya sastra dan selanjutnya dapat memberikan ciri khas terhadap karya sastra tersebut yang dapat membedakannya dengan karya sastra lain. Begitu juga halnya dengan bahasa Bali.
Sebagai aspek mendasar dalam mengkonstruksi karya-karya sastra Bali, bahasa Bali dapat menjadi suatu ciri khas bagi karya-karya sastra lainnya. Adapun contoh dari karya-karya sastra Bali yang termasuk dalam kategori ini adalah gegendingan/dolanan, pupuh (geguritan), pralambang (pribahasa), babad, satua, cerpen, novel, roman, drama dan puisi-puisi Bali modern.
Secara Fungsional
Secara fungisonal, di samping merupakan karya-karya sastra yang berbahasa Bali, sastra Bali juga meliputi karya-karya sastra (yang berbahasa Jawa Kuna (Kawi). Tinjauan ini didasarkan atas penggunaan karya-karya sastra Jawa Kuna dalam aspek-aspek kehidupan masyarakat Bali, terutama pada aspek relegi ataupun keagamaan. Sastra Jawa Kuna memiliki kedudukan yang signifikan dalam aktivitas relegi atau keagamaan (Hindu) pada masyarakat Bali. Bahkan, karya-karya sastra Jawa Kuna tersebut telah dianggap sebagai “milik” masyarakat Bali karena adanya kedekatan maupun keakraban terhadap karya sastra tersebut.
Adapun contoh karya-karya sastra Jawa Kuna, sebagai karya sastra Bali secara fungsional tersebut adalah kidung, wirama, palawakia, kanda-kanda dan parwa-parwa. 2. Berdasarkan Cara, Teknik, atau Tradisi Penyajian
Klasifikasi sastra Bali berdasarkan cara, teknik, atau tradisi penyajiannya dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: sastra lisan dan sastra tulis.
a. Sastra Lisan (Sastra Gantian, Sastra Tutur)
Menurut Wayan Budha Gautama, sastra lisan juga disebut kesusastran pretakjana (2007: 31). Sastra Bali dalam bentuk lisan merupakan formulasi dari sastra Bali sebagai teks-teks yang disampaikan secara oralty, yaitu dari mulut ke mulut antara penutur dan pendengar. Proses dalam penyampaian tersebut berlangsung turun-temurun dari generasi ke generasi dalam berbagai versi maupun variasi.
Dalam perkembangannya, sastra (Bali) lisan tersebut telah banyak yang ditulis. Di samping itu, karya-karya tersebut juga ditransformasikan ke dalam bentuk karya sastra tulis, seperti ke dalam geguritan dan peparikan. Sastra Bali dalam formulasi ini juga dapat dikaji melalui perspektif folklor, yaitu suatu ilmu tentang budaya, yang cenderung sebagai budaya lisan, yang telah mengakar pada suatu masyarakat tertentu.
Folklor yaitu kelisanan itu sendiri, sebagai orality dipertentangkan dengan keberaksaraan, literacy.
Secara definitif tradisi lisan adalah berbagai kebiasaan dalam masyarakat yang hidup secara lisan, sedangkan sastra lisan (oral literature) adalah berbagai bentuk sastra yang dikemukakan secara lisan. Jadi, tradisi lisan membicarakan masalah tradisinya, sedangkan sastra lisan masalah sastranya.
Ciri khas kelisanan adalah penyebarannya yang dilakukan dari mulut-mulut. Oleh Karena itu dapat dipastikan bahwa sastra lisan hidup subur di wilayah-wilayah yang tradisi tulisnya belum maju. Ciri lain diantaranya :
Contoh sastra lisan dalam bentuk tembang ( puisi ), yaitu gegendingan atau nyanyian anak-anak (made cenik, goak maling taluh,dan lain-lain).
Contoh lisan dalam bentuk gancaran ( prosa ), diantaranya Satua Pan Balang Tamak, Satua I Siap Selem, Satua I Bawang Teken I Kesuna, Satua Men Cubling, Satua Pan Angklung Gadang, dan lain-lain.
b. Sastra Tulis (Sesuratan)
Sastra tulis (sesuratan) juga dikenal dengan nama “kesusastran sujana” oleh Wayan Budha Gautama (2007: 32). Satra Bali dalam bentuk tulis merupakan formulasi dari sastra Bali sebagai teks-teks yang tertuang dalam naskah-naskah tulisan tangan (manuskrips) maupun cetakan, baik berupa lontar, tembaga, maupun kertas. Sastra tulis ini merupakan perkembangan dari sastra lisan sebelumnya ketika masyarakat Bali telah mengenal aksara (huruf). Sastra lisan lebih mementingkan makna yang terkandung di dalamnya daripada bentuk yang tersaji, sedangkan sastra tulis, adanya bentuk yang tersaji secara tertulis tersebut merupakan suatu rangkaian tanda yang dapat menjadi jembatan untuk menelusuri jejak-jejak makna yang terkandung di dalamnya.
Tradisi lisan dan sastra lisan tidak dapat dipisahkan dengan tradisi dan sastra tulis. Dalam masyarakat kontemporer keduanya hidup secara berdampingan, saling meliputi, saling menentukan, keberadaannya masing-masing. Tradisi dan sastra lisan, dengan tujuan mendokumentasikannya kemudian ditranskripsikan dengan menggunakan bentuk tulisan tertentu. Dengan tujuan-tujuan tertentu pula tradisi dan sastra tulis dilisankan kembali, seperti pembacaan puisi dan cerpen, termasuk genre yang lain.
Adapun yang termasuk dalam sastra tulis yaitu:
Berdasarkan Bentuk/Struktur Penulisan
Berdasarkan bentuk/struktur penulisannya, sastra Bali dapat diklasifikasikan menjadi 3(tiga) yaitu: puisi (tembang), prosa (gancaran), dan prosa liris (palawakia).
a. Puisi (Tembang)
Sastra Bali dalam bentuk puisi (paletan tembang) ini merupakan formulasi dari sastra Bali sebagai suatu karangan dengan pola yang terikat. Seperti karakteristik puisi pada umumnya, kesusastraan Bali dalam hal ini tampil dengan suatu pola yang terstruktur oleh konvensi-konvensi tertentu yang mengikat dan memberikan karakter yang tertentu pula.
Contoh sastra Bali dalam bentuk puisi (tembang), yaitu gegendingan/dolanan, pupuh, kidung, wirama, babad dalam bentuk geguritan/peparikan, dan puisi- puisi Bali Modern.
Demikian juga antara puisi dan bentuk-bentuk terikat yang lain. Termasuk peristiwa, seperti: ngaben (pembakaran mayat dalam agama Hindu Bali)
b. Prosa (Gancaran)
Kebanyakan karya prosa yang lebih tua dianggap informative dan menjadi bahan kajian atau rujukan, termasuk didalamnya buku pegangan tentang agama, ungkapan-ungkapan suci, tata cara keagamaan, silsilah, kitab undang-undang, peraturan desa, perbintangan, penanggalan, ilmu gaib, adu ayam, serta memelihara kuda dan merpati. Semua itu dicatat dalam naskah daun al dan maksud naskah-naskah itu dimaksudkan untuk dibaca oleh setiap orang bali.
Bahasa yang digunakan berhubungan erat dengan tingkat kepentingan karyanya. Teks tentang agama dan tata cara keagamaan yang lebih tinggi ditulis dalam bahasa Jawa Kuna yang sukar dengan kata-kata bahasa Sansekerta yang hanya dikenal oleh kelompok kecil orang Bali. Teks lain yang dianggap lebih rendah karena ditulis dalam bahasa Jawa Kuna yang kurang rumit dan sering dicampur dengan bahasa Bali.
Contoh sastra Bali dalam bentuk prosa, yaitu babad, satua, cerpen, novel, dan drama.
Digunakan Pada pestival di pura serta upacara kematian yang rumit, teks prosa mungkin dibacakan didepan khalayak. Pada perayaan tahunan di pura suku dan keluar prosa silsilah mungkin dibawakan dari naskah lontar oleh speialis bagi keluarga itu sambil duduk tinggi diatas anjungan, pedanda brahmana, membawakan dari bagian bab tersuci dalam Mahabharata, Adiparwa atau dari teks Jawa Kuna tentang pembersihan jiwa Putupasaji bertujuan harus menggunakan naskah lontar. Jika membaca dengan naskah kertas dianggap melanggar hal-hal keramat yang ada di Bali.
c. Prosa Liris (Palawakia)
Sastra Bali dalam bentuk prosa liris prosa liris (palawakia) merupakan karangan bebas, yang tidak terikat dengan aturan seperti prosodi dan metrum seperti pada puisi (tembang). Palawakia merupakan karangan bebas yang dibaca dengan cara diiramakan/dilagukan. Umumnya palawakia menggunakan bahasa Jawa Kuna/Tengahan.
Contoh sastra Bali dalam bentuk palawakia, yaitu Astadasa Parwa (dalam Kakawin Mahabharata) seperti Adi Parwa sampai dengan Swarga Rohana Parwa, Sapta Kanda (dalam Ramayana) seperti Bala Kanda sampai dengan Uttara Kanda, dan lain sebagainya.
Berdasarkan Struktur, Corak dan Waktu Pertumbuhkembangannya
Berdasarkan struktur corak dan waktu pertumbuhkembangannya, sastra Bali dapat diklasifikasikan menjadi 2(dua), yaitu:
Berdasarkan Kondisi Empiris dan Pragmatis
Berdasarkan kondisi empiris dan pragmatisnya, sastra Bali dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
Secara Struktural
Secara struktural sastra Bali merupakan himpunan dari karya-karya sastra yang berbahasa Bali, baik bahasa Bali Tengahan maupun bahasa Bali Baru. Tinjauan ini didasarkan atas konstruksi yang membentuk suatu bangun karya sastra Bali. Bahasa merupakan aspek mendasar dalam mengkonstruksi suatu karya sastra dan selanjutnya dapat memberikan ciri khas terhadap karya sastra tersebut yang dapat membedakannya dengan karya sastra lain. Begitu juga halnya dengan bahasa Bali.
Sebagai aspek mendasar dalam mengkonstruksi karya-karya sastra Bali, bahasa Bali dapat menjadi suatu ciri khas bagi karya-karya sastra lainnya. Adapun contoh dari karya-karya sastra Bali yang termasuk dalam kategori ini adalah gegendingan/dolanan, pupuh (geguritan), pralambang (pribahasa), babad, satua, cerpen, novel, roman, drama dan puisi-puisi Bali modern.
Secara Fungsional
Secara fungisonal, di samping merupakan karya-karya sastra yang berbahasa Bali, sastra Bali juga meliputi karya-karya sastra (yang berbahasa Jawa Kuna (Kawi). Tinjauan ini didasarkan atas penggunaan karya-karya sastra Jawa Kuna dalam aspek-aspek kehidupan masyarakat Bali, terutama pada aspek relegi ataupun keagamaan. Sastra Jawa Kuna memiliki kedudukan yang signifikan dalam aktivitas relegi atau keagamaan (Hindu) pada masyarakat Bali. Bahkan, karya-karya sastra Jawa Kuna tersebut telah dianggap sebagai “milik” masyarakat Bali karena adanya kedekatan maupun keakraban terhadap karya sastra tersebut.
Adapun contoh karya-karya sastra Jawa Kuna, sebagai karya sastra Bali secara fungsional tersebut adalah kidung, wirama, palawakia, kanda-kanda dan parwa-parwa. 2. Berdasarkan Cara, Teknik, atau Tradisi Penyajian
Klasifikasi sastra Bali berdasarkan cara, teknik, atau tradisi penyajiannya dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: sastra lisan dan sastra tulis.
a. Sastra Lisan (Sastra Gantian, Sastra Tutur)
Menurut Wayan Budha Gautama, sastra lisan juga disebut kesusastran pretakjana (2007: 31). Sastra Bali dalam bentuk lisan merupakan formulasi dari sastra Bali sebagai teks-teks yang disampaikan secara oralty, yaitu dari mulut ke mulut antara penutur dan pendengar. Proses dalam penyampaian tersebut berlangsung turun-temurun dari generasi ke generasi dalam berbagai versi maupun variasi.
Dalam perkembangannya, sastra (Bali) lisan tersebut telah banyak yang ditulis. Di samping itu, karya-karya tersebut juga ditransformasikan ke dalam bentuk karya sastra tulis, seperti ke dalam geguritan dan peparikan. Sastra Bali dalam formulasi ini juga dapat dikaji melalui perspektif folklor, yaitu suatu ilmu tentang budaya, yang cenderung sebagai budaya lisan, yang telah mengakar pada suatu masyarakat tertentu.
Folklor yaitu kelisanan itu sendiri, sebagai orality dipertentangkan dengan keberaksaraan, literacy.
Secara definitif tradisi lisan adalah berbagai kebiasaan dalam masyarakat yang hidup secara lisan, sedangkan sastra lisan (oral literature) adalah berbagai bentuk sastra yang dikemukakan secara lisan. Jadi, tradisi lisan membicarakan masalah tradisinya, sedangkan sastra lisan masalah sastranya.
Ciri khas kelisanan adalah penyebarannya yang dilakukan dari mulut-mulut. Oleh Karena itu dapat dipastikan bahwa sastra lisan hidup subur di wilayah-wilayah yang tradisi tulisnya belum maju. Ciri lain diantaranya :
- Pada umumnya hidup dalam masyarakat tradisional,
- Dianggap sebagai milik masyarakat bersama,
- Oleh karena itu seolah-olah tidak ada pengarangnya, sehingga setiap orang bebas untuk menyalin , meresepsinya,
- Oleh karena itu pula pada umumnya terdiri atas beberapa versi,
- Tidak ada batas yang jelas antara fakta dan fiksi,
- Sebagai karya sastra ciri lain yang juga penting adalah estetis, puitis, dan diucapkan secara berulang-ulang.
Contoh sastra lisan dalam bentuk tembang ( puisi ), yaitu gegendingan atau nyanyian anak-anak (made cenik, goak maling taluh,dan lain-lain).
Contoh lisan dalam bentuk gancaran ( prosa ), diantaranya Satua Pan Balang Tamak, Satua I Siap Selem, Satua I Bawang Teken I Kesuna, Satua Men Cubling, Satua Pan Angklung Gadang, dan lain-lain.
b. Sastra Tulis (Sesuratan)
Sastra tulis (sesuratan) juga dikenal dengan nama “kesusastran sujana” oleh Wayan Budha Gautama (2007: 32). Satra Bali dalam bentuk tulis merupakan formulasi dari sastra Bali sebagai teks-teks yang tertuang dalam naskah-naskah tulisan tangan (manuskrips) maupun cetakan, baik berupa lontar, tembaga, maupun kertas. Sastra tulis ini merupakan perkembangan dari sastra lisan sebelumnya ketika masyarakat Bali telah mengenal aksara (huruf). Sastra lisan lebih mementingkan makna yang terkandung di dalamnya daripada bentuk yang tersaji, sedangkan sastra tulis, adanya bentuk yang tersaji secara tertulis tersebut merupakan suatu rangkaian tanda yang dapat menjadi jembatan untuk menelusuri jejak-jejak makna yang terkandung di dalamnya.
Tradisi lisan dan sastra lisan tidak dapat dipisahkan dengan tradisi dan sastra tulis. Dalam masyarakat kontemporer keduanya hidup secara berdampingan, saling meliputi, saling menentukan, keberadaannya masing-masing. Tradisi dan sastra lisan, dengan tujuan mendokumentasikannya kemudian ditranskripsikan dengan menggunakan bentuk tulisan tertentu. Dengan tujuan-tujuan tertentu pula tradisi dan sastra tulis dilisankan kembali, seperti pembacaan puisi dan cerpen, termasuk genre yang lain.
Adapun yang termasuk dalam sastra tulis yaitu:
- Terikat, yaitu tembang ( puisi ); sekar rare (gegendingan/dolanan), sekar alit (pupuh), sekar madya (kawitan/kidung), dan sekar agung (wirama) serta peparikan.
- Bebas, yaitu gancaran ( prosa ) dan babad.
Berdasarkan Bentuk/Struktur Penulisan
Berdasarkan bentuk/struktur penulisannya, sastra Bali dapat diklasifikasikan menjadi 3(tiga) yaitu: puisi (tembang), prosa (gancaran), dan prosa liris (palawakia).
a. Puisi (Tembang)
Sastra Bali dalam bentuk puisi (paletan tembang) ini merupakan formulasi dari sastra Bali sebagai suatu karangan dengan pola yang terikat. Seperti karakteristik puisi pada umumnya, kesusastraan Bali dalam hal ini tampil dengan suatu pola yang terstruktur oleh konvensi-konvensi tertentu yang mengikat dan memberikan karakter yang tertentu pula.
Contoh sastra Bali dalam bentuk puisi (tembang), yaitu gegendingan/dolanan, pupuh, kidung, wirama, babad dalam bentuk geguritan/peparikan, dan puisi- puisi Bali Modern.
Demikian juga antara puisi dan bentuk-bentuk terikat yang lain. Termasuk peristiwa, seperti: ngaben (pembakaran mayat dalam agama Hindu Bali)
b. Prosa (Gancaran)
Kebanyakan karya prosa yang lebih tua dianggap informative dan menjadi bahan kajian atau rujukan, termasuk didalamnya buku pegangan tentang agama, ungkapan-ungkapan suci, tata cara keagamaan, silsilah, kitab undang-undang, peraturan desa, perbintangan, penanggalan, ilmu gaib, adu ayam, serta memelihara kuda dan merpati. Semua itu dicatat dalam naskah daun al dan maksud naskah-naskah itu dimaksudkan untuk dibaca oleh setiap orang bali.
Bahasa yang digunakan berhubungan erat dengan tingkat kepentingan karyanya. Teks tentang agama dan tata cara keagamaan yang lebih tinggi ditulis dalam bahasa Jawa Kuna yang sukar dengan kata-kata bahasa Sansekerta yang hanya dikenal oleh kelompok kecil orang Bali. Teks lain yang dianggap lebih rendah karena ditulis dalam bahasa Jawa Kuna yang kurang rumit dan sering dicampur dengan bahasa Bali.
Contoh sastra Bali dalam bentuk prosa, yaitu babad, satua, cerpen, novel, dan drama.
Digunakan Pada pestival di pura serta upacara kematian yang rumit, teks prosa mungkin dibacakan didepan khalayak. Pada perayaan tahunan di pura suku dan keluar prosa silsilah mungkin dibawakan dari naskah lontar oleh speialis bagi keluarga itu sambil duduk tinggi diatas anjungan, pedanda brahmana, membawakan dari bagian bab tersuci dalam Mahabharata, Adiparwa atau dari teks Jawa Kuna tentang pembersihan jiwa Putupasaji bertujuan harus menggunakan naskah lontar. Jika membaca dengan naskah kertas dianggap melanggar hal-hal keramat yang ada di Bali.
c. Prosa Liris (Palawakia)
Sastra Bali dalam bentuk prosa liris prosa liris (palawakia) merupakan karangan bebas, yang tidak terikat dengan aturan seperti prosodi dan metrum seperti pada puisi (tembang). Palawakia merupakan karangan bebas yang dibaca dengan cara diiramakan/dilagukan. Umumnya palawakia menggunakan bahasa Jawa Kuna/Tengahan.
Contoh sastra Bali dalam bentuk palawakia, yaitu Astadasa Parwa (dalam Kakawin Mahabharata) seperti Adi Parwa sampai dengan Swarga Rohana Parwa, Sapta Kanda (dalam Ramayana) seperti Bala Kanda sampai dengan Uttara Kanda, dan lain sebagainya.
Berdasarkan Struktur, Corak dan Waktu Pertumbuhkembangannya
Berdasarkan struktur corak dan waktu pertumbuhkembangannya, sastra Bali dapat diklasifikasikan menjadi 2(dua), yaitu:
(1) sastra Bali purwa (klasik/lama/kuno), dan
(2) sastra Bali anyar (baru/modern).
a. Sastra Bali Purwa
Sastra Bali purwa (klasik/lama/kuno) merupakan formulasi dari sastra Bali sebagai sastra yang bercorak dan bersifat tradisi atau warisan secara turun-temurun dari masa lampau. Sastra Bali dalam hal ini juga disebut sebagai sastra Bali tradisional sebagai himpunan karya-karya sastra yang dibangun atas struktur tradisional, baik dalam konvensi, tema, tokoh, maupun motif cerita yang ditampilkan. Pada karya-karya sastra tersebut dapat dijumpai adanya nilai-nilai luhur yang telah hidup dan dianut oleh masyarakat Bali sejak masa lampau sabagai nilai-nilai yang adiluhung. Contoh sastra Bali purwa, yaitu tembang, gancaran, dan palawakia.
b. Sastra Bali Anyar
Sastra Bali anyar (baru/modern) merupakan formulasi dari sastra sebagai suatu pola atau tipologi sastra yang muncul pada masa kolonial dengan adanya pengaruh dari sastra Indonesia maupun Barat. Pada masa kolonial, sastra Barat, seperti novel, cerpen (short story), dan puisi-puisi (poetry) Barat, mulai masuk ke Indonesia. Pola-pola sastra tersebut diterima dalam sastra Indonesia melalui suatu adopsi dan adaptasi, sehingga lahirlah sastra Indonesia Modern.
Perkembangan sastra Indonesia yang demikian turut mempengaruhi perkembangan sastra Bali, sehingga pola-pola sastra tersebut juga diinternalisasi ke dalam sastra Bali. Hal ini ditunjukkan oleh lahirnya novel-novel, cerpen-cerpen (satua bawak), maupun puisi-puisi Bali modern yang tentunya menggunakan bahasa Bali. Pola sastra tersebut merupakan contoh-contoh dari sastra Bali anyar tersebut. Contoh sastra Bali anyar, yaitu puisi dan prosa.
Mitos merupakan model untuk bertindak yang selanjutnya berfungsi untuk memberikan makna dan nilai bagi kehidupan. Dengan kalimat lain, mitos selalu dikaitkan dengan realitas, secara kosmogonis selalu ingin membuktikannya. Mitos tentang karmaphala bagi masyarakat Bali, sebab akibat yang logis bagi kehidupan manusia secara universal menyebabkan perubahan tingkah laku. Di satu pihak, bagi mereka yang ingin memperoleh kebahagiaan, masuk ke dalam kerajaan surge diakhir hayatnya, maka cenderung berbuat baik. Di pihak lain, banyak, jauh lebih banyak di antara kita yang bersifat mengabaikan, bahkan tidak mempercayainya sama sekali.
Istilah lain yang dekat dengan mitos adalah dogma, pengajaran dalam agama yang harus diterima sebagai kebenaran, bahkan dianggap sebagai hukum yang harus dipatuhi oleh para pemeluknya, seperti Tritunggal (Brahma, Wisnu, dan Siwa) dalam agama Hindu Bali, kematian dan kebangkitan kembali Yesus Kristus dalam agama Kristen.
Bersatu kita teguh, saling membantu dalam pengertian lebih luas, misalnya, disebut juga sagilik saguluk sabayantaka (Bali). Ketidakmampuan pengobatan modern justru dibantu dengan pengobatan tradisional seperti dilakukan oleh para balian (Bali) Mengakhiri masa tua di Bali bagi masyarakat Bali, cinta terhadap tanah air dalam pengertian yang lebih umum adalah beberapa contoh kerinduan orang pada tempat kelahiran.
Sastra Bali purwa (klasik/lama/kuno) merupakan formulasi dari sastra Bali sebagai sastra yang bercorak dan bersifat tradisi atau warisan secara turun-temurun dari masa lampau. Sastra Bali dalam hal ini juga disebut sebagai sastra Bali tradisional sebagai himpunan karya-karya sastra yang dibangun atas struktur tradisional, baik dalam konvensi, tema, tokoh, maupun motif cerita yang ditampilkan. Pada karya-karya sastra tersebut dapat dijumpai adanya nilai-nilai luhur yang telah hidup dan dianut oleh masyarakat Bali sejak masa lampau sabagai nilai-nilai yang adiluhung. Contoh sastra Bali purwa, yaitu tembang, gancaran, dan palawakia.
b. Sastra Bali Anyar
Sastra Bali anyar (baru/modern) merupakan formulasi dari sastra sebagai suatu pola atau tipologi sastra yang muncul pada masa kolonial dengan adanya pengaruh dari sastra Indonesia maupun Barat. Pada masa kolonial, sastra Barat, seperti novel, cerpen (short story), dan puisi-puisi (poetry) Barat, mulai masuk ke Indonesia. Pola-pola sastra tersebut diterima dalam sastra Indonesia melalui suatu adopsi dan adaptasi, sehingga lahirlah sastra Indonesia Modern.
Perkembangan sastra Indonesia yang demikian turut mempengaruhi perkembangan sastra Bali, sehingga pola-pola sastra tersebut juga diinternalisasi ke dalam sastra Bali. Hal ini ditunjukkan oleh lahirnya novel-novel, cerpen-cerpen (satua bawak), maupun puisi-puisi Bali modern yang tentunya menggunakan bahasa Bali. Pola sastra tersebut merupakan contoh-contoh dari sastra Bali anyar tersebut. Contoh sastra Bali anyar, yaitu puisi dan prosa.
Mitos masyarakat Bali
Mitos merupakan salah satu istilah yang sangat sulit di definisikan sebab istilah tersebut digunakan dalam berbagai bidang ilmu, dijelaskan dengan menggunakan berbagai konsep yang berbeda-beda.Mitos merupakan model untuk bertindak yang selanjutnya berfungsi untuk memberikan makna dan nilai bagi kehidupan. Dengan kalimat lain, mitos selalu dikaitkan dengan realitas, secara kosmogonis selalu ingin membuktikannya. Mitos tentang karmaphala bagi masyarakat Bali, sebab akibat yang logis bagi kehidupan manusia secara universal menyebabkan perubahan tingkah laku. Di satu pihak, bagi mereka yang ingin memperoleh kebahagiaan, masuk ke dalam kerajaan surge diakhir hayatnya, maka cenderung berbuat baik. Di pihak lain, banyak, jauh lebih banyak di antara kita yang bersifat mengabaikan, bahkan tidak mempercayainya sama sekali.
Istilah lain yang dekat dengan mitos adalah dogma, pengajaran dalam agama yang harus diterima sebagai kebenaran, bahkan dianggap sebagai hukum yang harus dipatuhi oleh para pemeluknya, seperti Tritunggal (Brahma, Wisnu, dan Siwa) dalam agama Hindu Bali, kematian dan kebangkitan kembali Yesus Kristus dalam agama Kristen.
Bersatu kita teguh, saling membantu dalam pengertian lebih luas, misalnya, disebut juga sagilik saguluk sabayantaka (Bali). Ketidakmampuan pengobatan modern justru dibantu dengan pengobatan tradisional seperti dilakukan oleh para balian (Bali) Mengakhiri masa tua di Bali bagi masyarakat Bali, cinta terhadap tanah air dalam pengertian yang lebih umum adalah beberapa contoh kerinduan orang pada tempat kelahiran.
Post a Comment for "SASTRA BALI"