Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Asal Mula Sastra Aceh

tarian Aceh

Asal Mula Sastra Aceh (Sastra Aceh Zaman Kerajaan)

Ketelair Indonesia_ Awal keberadaan sastra di Aceh bisa dilihat sekitar abad ke-13, Pada saat Aceh masih dalam bentuk kerajaan. Sejak Islam masuk ke Aceh pada abad pertama Hijriah, kesusastraan Aceh telah memegang peranan penting dalam menyebarkan dakwah Islam di Nusantara. Hampir semua karya sastra Aceh ketika itu digunakan untuk kepentingan dakwah Islam. Maka tidak salah jika dikatakan kebudayaan (kesenian dan sastra) Aceh identik dengan kebudayaan Islam. Pengaruh ulama di Aceh dulu lebih dominan dalam masyarakat, bahkan para sastrawan Aceh dulu juga terdiri dari ulama-ulama yang berpengaruh. Ada banyak karya sastra berupa kitab-kitab, hikayat, dan sastra tutur. Karya tulisan umumnya menggunakan tulisan Jawi, bahasa Melayu, dan Arab. Sedangkan sastra lisan umumnya menggunakan bahasa Aceh karena lebih komunikatif saat berkomunikasi langsung dengan pendengarnya.

Dulu, karya sastra tulisan lebih sedikit dibandingkan dengan karya sastra tutur. Karya sastra tutur ini lebih merakyat dan berkembang pesat. Hikayat yang tidak ditulis tetapi dituturkan secara spontan. Penyebab lain mengapa sastra tulisan lebih sedikit adalah karena orang Aceh lebih suka bertutur daripada menulis. Juga pada masa itu, walaupun semua orang bisa membaca tulisan Arab atau Melayu Jawi, hanya kalangan yang berpendidikan saja yang bisa menulis dalam huruf latin di Aceh. Ini salah satu penghambat sedikitnya karya berbentuk tulisan di Aceh.

Dari bumi serambi Mekkah juga asal muasal pembaharuan sastra Melayu Indonesia. Yang berpengaruh dan membawa perubahan terhadap sastra Melayu Indonesia. Daerah Aceh memiliki aset kekayaan genre (cabang ) sastra klasik (klasik literatur).

Ciri-ciri umum karya sastra klasik adalah sama dengan ciri sastra lama yaitu:
a) bersifat anonim (tidak memiliki nama pengarang), 
b) bercorak ragam lisan diceritakan dan dibicarakan dari mulut ke mulut, 
c) bersifat turun temurun antar generasi ke generasi, 
d) jika berupa puisi unsur ritma dan sajak lebih dominan.
Adapun mengenai Tradisi Tulisan Aceh adalah sebagai berikut:

TRADISI TULIS ACEH
Meskipun tidak mungkin menetapkan tanggal mulanya tradisi tulis Aceh, naskah-naskah yang ada menunjukkan suatu tradisi yang khususnya kaya dengan syair. Tema-temanya berasal dari sejarah, dari islam, dan dari cerita rakyat. Syair epik Aceh mencakup beberapa dari karya sastra terbaik Indonesia.

Bukti tertua naskah Aceh
Tampaknya tak ada bekas tradisi tulis Aceh pra islam yang masih ada, meskipun keberadaan aksara india dibagian-bagian lain dari Sumatera, dan pada bahasa Chamic dari Vietnam yang serumpun menyiratkan bahwa bahasa Aceh mungkin telah mempunyai bentuk tertulis sebelum kedatangan akasara Arab. Tanggal tertua yang membuktikan adanya tradisi naskah Aceh adalah tahu 1069 H ( 1658-1659 M) tulisan-tulisan pada naskah lain berasal dari paruh kedua abad ke 17 dan awal abad ke 18. Semua naskah awal ini merupakan tulisan keagamaan, ditulis dengan huruf Arab tradisional.

Menulis dan membaca bahasa Aceh
Kemampuan membaca dan menulis bahasa Aceh dalam huruf tradisional hanya di dapatkan secara tak langsung. Tahap pertama dimulai waktu kecil,ketika anak-anak belajar mengaji Qur’an. Tahap berikutnya dalam pembelajaran ilmu baca tulis secara tradisional dicapai oleh sebagian kecil saja, melibatkan pembelajaran bahasa Jawoe ( Jawi), yakni bahasa Melayu ditulis dengan huruf Arab. Ini bahasa yang lazim di pakai untuk prosa tertulis dalam masyarakat Aceh tradisional. Buku pelajaran keagamaan, serta surat dokumen lain seperti paspor, undang-undang, kontrak, dan stempel penguasa semua dibuat dalam bahasa jawi, kini ditulis dalam turunan bahasa Melayu, bahasa Indonesia.

Melalui kemampuan bahasa jawi, orang Aceh menguasai keterampilan membacakan bahasa Aceh dari naskah tertulis. Meskipun sistem penulisan Aceh tradisional sangat tidak fonetis, Ia cocok jadi penutur asli bahasa Aceh yang terlatih dalam huruf Jawi serta dasar-dasar bahasa arab. Kecenderungannya mengeja banyak kata dalam bahasa melayu se asal yang mudah dikenali atau dalam bentuk asli bahasa Arab, meskipun pengucapan cara Acehnya cukup berbeda.

Rima dan irama syair Aceh juga mempermudah pembacaan. Dengan kekecualian yang jarang terjadi, bahasa tulisan Aceh ada dalam benttuk syair, dengan matra puitis sanjak. Ini bersajak dalam dua cara, dengan keduanya bersajak di khir dan sajak-sisispan pada baris terpisah. Pola persajakan akhir mungkin dipinjam dari bahasa Melayu melalui hubungan yang berabad-abad dengan bahasa itu. Sajak sisipan mengikuti pola yang umum di Asia Tenggara, dan dirunut ke asal-usul bahasa Aceh di tanah daratan. Pola dasar sajak sisipan adalah satu suku kata di akhir sepenggal syair bersajak dengan suku kata di tengah bagian berikutnya dari syair yang sama panjang penggalannya.

Pada paruh kedua abad ke-20, penggunaan huruf-huruf Romawi bagi bahasa Aceh telah cukup tersebar luas. Meskipun ada usaha-usaha dari para sarjana terkemuka di Banda Aceh, mereka tak berhasil memaksakan ejaan Romawi baku yng disarankan. Ada cukup banyak ragam perseorangan pada kaidah-kaidah ejaan, dan perbedaan dialek cenderung mempengaruhi bentuk tulisan dalam sistem-sistem ejaan Romawi.

Hikayat
Kebanyakan naskah tulis berbahasa Aceh digambarkan sebagai hikayat. Istilah ini juga digunakan dalam bahasa Melayu untuk karya panjang bergaya epik. Penggunaan istilah itu dalam bahasa Aceh dan bahasa Melayu mirip, yaitu hikayat untuk pertunjukan lisan yang panjang dengan menggunakan melodi, umumnya tertulis. Bedanya adalah hikayat Melayu berbentuk prosa. 

Hikayat Aceh dikelompokkan berdasarkan sifat pokok bahasanya.

1. Teks penghinaan
Jenis ini membentuk kelompok yang relatif kecil dan langka. Mereka dikhususkan untuk penghinaan dan cukup singkat.

2. Syair Cerita Rakyat
Jenis ini membentuk kelompok lain naskah langkah, terdiri atas bahan yang biasanya disampaikan secara lisan dalam bentuk dongeng-dongeng rakyat, namun yang diubah menjadi syair oleh pengarang.

3. Dongeng Kepahlawanan Rakyat
Menceritakan tentang tokoh suci atau berkekuatan gaib dari masa lalu di Aceh. Yang terkenal adalah Hikayat Malem Diwa. Jenis hikayat ini tergantung bahan dongeng pra-Islam, banyak yang yang sama dengan daerah lain di Sumatera.

4. Epik Perang
Melukiskan pertempuran dan gerakan sejarah. Beberapa cerita kepahlawanan menguraikan konflik masa pendudukan Belanda, yang lain menceritakan gerakan pertahanan melawan Jepang, perang saudara, Prang Cumbok, yang terjadi setelah Perang Dunia II.

5. Epik yang Lebih Tua
Berhubungan dengan masa lalu Aceh yang lebih awal, membentuk sekelompok kecil cerita kepahlawanan namun sangat penting artinya. Dua contoh besar, yakni Hikayat Meuketa Alam, melukiskan peristiwa semasa Iskandar Muda, dan Hikayat Pocut Muhammad

6. Cerita Roman
Satu kelompok yang sangat besar dan beragam, mengandung unsur mitos yang kuat. Beberapa diantaranya belatar Aceh serta mempunyai kandungan sejarah. Jenis ini boleh disebut roman sejarah, termasuk Hikayat Nun Parisi, yang berlatar kerajaan bandar tua Pase. Namun, kebanyakan cerit roman berlatar mitos atau waktu dan tempat, serta tidak memiliki kandungan sejarah sama sekali. Banyak nama tempat tidak benar-benar ada. Lainnya berlatar seperti Abyssinia, India, Yaman, Hindustan, Persia, Siam, Syria, Srilanka, kerajaan Jens dan Cina. Banyak bahan ceritanya dipinjam dari kesustraan lain, termasuk sejumlah besar dari Persia, melalui bahasa Melayu.

7. Cerita Kepahlawanan Suci
Sebuah kelompok yang besar dan tidak disukai, khususnya melibatkan wali-wali Islam dan tokoh-tokoh suci dari masa lalu Islam yang lebih tua (termasuk masa pra-Islam). Cerita-ceritanya tidak ditempatkan di Aceh, misalnya, Hikayat Nabi Usah, cerita tentang Jusuf, dan Hikayat Hasan Husen, berkenaan dengan cerita mati syahidnya cucu-cucu Nabi, Hasan dan Husen.

8. Dongeng Pribadi
Jenis ini membentuk kelompok yang kecil namun menarik, dan kurang terwakili dalam koleksi umum disebabkan oleh sifatnya yang agak pribadi. Cerita yang diterbitkan tentang perjalanan keliling dunia penyair terkenal Abdullah Arif dalam rangkaian Seumangat Aceh-nya termasuk dalam kelompok ini.

9. Dongeng Peringatan dan Pengobaran Semangat
Mempunyai kandungan keagamaan yang kuat. Termasuk di dalamnya, misalnya, Teungku Tiro’s Lessons on the Holy War (Ajaran Teungku Tiro tentang Perang Suci) serta Hikayat Prang Sabi, yang mendorong pendengar untuk ambil bagian dalam perang Suci. Dongeng-dongeng peringatan singkat telah memberi bahan bagi penerbitan syair selama 30 tahunan terakhir ini.

A. Jenis Sastra Aceh

Menurut Razali Cut Lani dalam karyanya berjudul Kesusastraan Aceh, dikenal beberapa jenis sastra klasik yaitu: Narit Maja (peribahasa), Neurajah (mantra), Hiem (teka-teki), dan Panton (pantun). Semua genre sastra tersebut merupakan jenis sastra tertua dan purba dalam sejarah perkembangan sastra Aceh.

1.Narit Maja (Peribahasa)
Tradisi masyarakat Aceh Narit Maja berfungsi sebagai pengendalian pranata sosial (control sosial) dan sebagai sarana penyampaian pesan moral.
Narit Maja juga mengandung nilai-nilai pendidikan Islam. Seperti terdapat dalam narit maja berikut: Hana patot aneuk murid lawan gure/ nyo kon seude teunte gila. Terjemahan bebasnya adalah tidak patut seorang murid melawan gurunya, kalau tidak tentu gila. Demikianlah peribahasa Aceh sarat dengan nilai-nilai keagamaan. Untuk lebih jelas mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam narit maja, ada beberapa contoh berikut;

Misalnya terdapat dalam Narit Maja dalam bidang berdagang, seperti berikut:
Tulak tong tinggai tem. Arti bebasnya: dorong tong, tinggal kaleng. Peribahasa ini mengandung pengertian bahwa dalam usaha dagang–jual beli–setelah diperkirakan laba rugi dalam hal ini tidak ada yang diuntungkan, tetapi hanya mencukupi modal saja.
Misalnya terdapat dalam Narit Maja dalam bidang kriminalitas, seperti berikut:
gop pajoh boh panah/ tanyo yang meugeutah. Terjemahan bebasnya: orang yang makan nangka, kita yang bergetah. Orang lain yang berbuat salah kita yang mendapat efek dari kriminalitas tersebut.
2. Neurajah (Mantra)
Neurajah merupakan jenis sastra tertua setelah Narit Maja. Jika ada orang yang bertanya siapakah pemilik puisi jenis mantra ini? Maka jawabannya adalah pawanglah yang menjadi penyair genre mantra, karena pada mulanya pawang mengucapkan mantra-mantra untuk menjinakkan harimau, gajah, tawon, dan lain-lain.

3. Hiem (Teka – Teki)
Masyarakat Aceh dalam keseharian sering kumpul bersama sanak keluarga dan kerabat untuk berteka – teki sejenak. Teka – teki dalam masyarakat Aceh selain sebagai hiburan juga menjadi arena asah otak, karena dalam teka – teki juga mengandung unsur pendidikan. Walaupun unsur humor lebih dominan.

4.Panton (Pantun)
Bagian terakhir dari sastra klassik Aceh adalah pantun. Puisi empat baris yang terdiri atas sampiran dan isi. Baris pertama dan kedua disebut sampiran. Baris ke empat dan lima namanya isi. Panton Aceh dan pantun Indonesia memiliki ciri-ciri sama. Bersajak ab, ab. Sama halnya dengan narit maja, neurajah, dan hiem yang sebenarnya juga terdapat dalam konteks ke-Indonesia-an sastra. Ini ada salah satu contoh pantun dalam corak sastra ke-Aceh-an. Pantun perjuangan untuk meraih dan menaklukkan hati wanita idaman.

Contoh pantun:
limong limong kapai jitamong
dua go limong kapai jibungka/
nyo hantrok lon cot ngon reunong
nyan bungong lon pupo geulawa
Arti bebas pantun tersebut adalah lima lima kapal masuk, dua kali lima kapal berangkat, kalau tak bisa saya ambil pakai galah, ini bunga akan saya lempar supaya jatuh kepelukan saya. Dari segi umur pemakai terdapat bermacam jenis pantun seperti pantun anak-anak, pantun remaja, dan pantun dewasa. Berdasarkan manfaat dan kondisi pemakaian dikenal pantun nasehat, pantun jenaka, dan pantun kawla muda.

Cae’ atau syair adalah salah satu contoh dari prosa lama.

5.Cae’ atau syair adalah jenis prosa liris.
Sementara itu dalam ikon genre prosa lama di Aceh dikenal dengan prosa liris (hikayat), legenda, fabel, haba jameun (cerita rakyat/kabar zaman).

1. Hikayat adalah jenis prosa lama walaupun ada juga pakar sastra yang menyatakan bahwa hikayat itu jenis puisi liris,karena tipografinya seperti syair dan bersajak.

Jika dilihat dari unsur intrinsiknya hikayat lebih cocok disebut prosa. Mengingat dalam hikayat lebih dominan ditunjang oleh setting (latar), tokoh, watak (karakter), konfliks dll. Umumnya hikayat bersifat istanasentris, dan cerita raja-raja. Namun ciri utama hikayat adalah anonim (tidak memiliki nama pengarang) seperti umumnya sastra lama lainnya. Ada juga beberapa hikayat yang memiliki nama pengarang seperti hikayat Perang Sabil karya Teungku Syiek Pantee Kulu. Di Aceh sarat akan hikayat warisan indatu misalnya : hikayat Raja-Raja Pasai, dan hikayat Malem Diwa.

2. Legenda adalah jenis cerita turun temurun bercerita tentang asal usul suatu geografis (asal nama daerah, asal mula sebuah pulau dan sebagainya).

Contoh: Legenda Ahmad Rhangmanyang yang menjadi Pulau Batu di Aceh Besar atau legenda Raja Bakoi (di Aceh Utara), puteri Pukes, Loyang Koro, Pengantin Atu Belah (di dataran Tinggi Gayo, Takengon), dan legenda Tapak Tuan (di Aceh Selatan).

3. Fabel adalah cerita yang ditokohkan oleh binatang.
Jikapun melibatkan tokoh manusia, namun tokoh binatang dalam cerita fabel lebih dominan. Binatang menjadi aktor utama walaupun tanpa disutradarai oleh manusia cerita tetap berjalan sukses demikianlah sebuah fabel dikisahkan. Contoh fabel yang terkenal adalah Sang Kancil dan Harimau, Lutung Kasarung, dan Kera Sakti.

4. Haba Jameun (cerita rakyat) adalah kabar zaman yang diriwatkan dari mulut ke mulut. Secara turun temurun.
Jika ada cerita rakyat yang terkumpul dalam sebuah buku itu bukanlah milik penghimpun. Melainkan milik semua masyarakat di mana cerita rakyat tersebut berkembang. Sebagai penghargaan kepada penghimpun cerita ini disebut sebagai penyusun atau editor buku tersebut. Seperti kumpulan Kabar Zaman Dari Aceh karya LK. Ara. Cerita rakyat yang terkumpul dalam buku tersebut adalah milik masyarakat Aceh. Tetapi LK.Ara sangat berjasa dengan menerjemahkan cerita rakyat Aceh ke dalam Bahasa Indonesia.

Haba jameun biasanya selalu diawali dengan pembukaan seperti berikut ini: bak jameun dile, na sibak bak jambe di leun. Trep nibak trep broek rumoh tinggai sudep… na saboh kisah, yang artinya: pada zaman dahulu ada sebatang pohon jambu di depan rumah. Lama kelamaan rusak rumah tinggal panggang… ada sebuah kisah. Contoh haba jameun : Abu Nawas dan Aneuk Yatim.

B. Beberapa Sastrawan Aceh pada Zaman Kerajaan Aceh

Para sastrawan Aceh memiliki kekuatan dan karakter tersendiri. Misalnya, Hamzah Fanshuri (1575-1625). Seorang penyair sufi yang karya-karyanya jauh melampaui zamannya, sehingga dianggap sesat oleh mereka-mereka yang menafsirkannya secara berbeda. Sehingga banyak karya-karyanya yang dibakar atas perintah Nurrudin Arraniry, pemuka agama pada masa itu. Salah satu kitab yang ditulisnya "Syarab al-asyiqin" atau "Minuman segala orang yang berahi"

Tgk Syekh Abdurrauf al Singkili atau lebih dikenal dengan Tgk Syiah Kuala (yang namanya kemudian dijadikan nama universitas negeri di Aceh) juga banyak menuliskan kitab-kitab pendidikan dan agama yang berisikan syair-syair ma’rifat.

Tgk Chik Pante Kulu, juga seorang ulama besar. Dia menuliskan Hikayat Prang Sabil. Hikayat ini cukup dikenal dan merakyat dalam bentuk tutur. Kekuatan kata-katanya mampu menggerakkan orang Aceh untuk mati syahid melawan kaphe Belanda.

Tgk. Mansoer Leupueng, dan beberapa sastrawan lainnya. Mereka termasuk angkatan yang telah banyak berbuat dalam menyelamatkan kesusastraan Aceh di saat-saat mengalami kemunduran. Terutama sekali Tgk.Mansoer Leupueng, ia banyak sekali menulis buku-buku cerita dalam bahasa Aceh, baik dalam bentuk prosa maupun dalam bentuk sajak Aceh. Salah satu karyanya yang populer ketika itu adalah novel Sanggamara (menolak bahaya). Novel ini ditulis Tgk. Mansoer untuk mengembalikan jiwa sastra pada pemuda-pemuda Aceh yang saat itu dirasakan hampir lenyap, seperti dalam bait berikut: 
//Tameututo ngen bahsa droe/ 
Bahsa nanggroe nyang biasa/ 
Bahasa laen pih tapakoe/
Beuhat rugoe bak beurkata//
Para sastrawan legendaris ini semuanya memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi dan menguasai beberapa bahasa. Mereka juga berasal dari kalangan keluarga yang berpendidikan dan semuanya laki-laki. Pada masa ini, tidak ditemukan karya sastra yang ditulis perempuan (kalaupun ada, belum terekspos).

Sastra Aceh Zaman Kemerdekaan

Dua abad terlampaui, sastra Aceh terus berkembang dan hikayat terus lahir di mana-mana. Bentuk sastra modern yang berasal dari barat juga mulai menampakkan pengaruhnya dalam karya sastra di Aceh. Banyak sastrawan yang melahirkan karya tulisan. Lebih banyak dari abad sebelumnya. Namun tidak ada satu pun karya yang mendunia yang lahir pada saat zaman kemerdekaan. Ada beberapa sastrawan yang cukup dikenal di nusantara (Indonesia dan dunia melayu). Salah satu yang paling menonjol dan banyak berkarya dan berperan dalam membangkitkan sastra dan pendidikan di Aceh adalah A Hasjmy.

Puisi "Menyesal" karyanya masih dihafal dengan baik oleh anak-anak sekolah sampai ke pelosok Aceh. Dia tidak hanya berkarya, namun juga sangat aktif dalam mengumpulkan karya-karya sastra dan budaya yang ada di Aceh. Dia menulis buku "Aceh dalam Sejarah" dan mendirikan museum A Hasjmy. Apa yang dikumpulkannya sangat membantu bahan kajian sastra dan budaya yang dilakukan oleh para peneliti.

Para sastrawan Aceh yang menonjol pada zaman kemerdekaan antara lain TA Talsya, A Rivai Nasution, Agam Wispi, T. Iskandar, Tgk Adnan PMTOH, Mak Lapee dan lain-lain. Dua nama yang terakhir Tgk. Adnan PMTOH dan Mak Lapee adalah tokoh teater tutur. Tgk Adnan PMTOH, sang troubadour, menggabungkan kemampuannya berhikayat, monolog, musik dan teater. Ketika ia bertutur, orang sanggup duduk sampai pagi mendengarkan kisahnya. Cerita yang paling sering disajikannya adalah Hikayat Malem Dagang.

Angkatan saat ini cukup banyak. Karya yang dihasilkan tidak hanya sebatas hikayat dan syair, tetapi juga sudah mulai lahir novel, puisi modern, dan essai. Hanya saja pada masa ini, publikasi sangat lemah, sehingga karya-karya yang ada, walaupun banyak yang bagus, namun tidak dikenal luas. Angkatan setelah ini yang banyak berkarya dan dikenal, antara lain: Hasyim KS, Ibrahim Kadir, Nurdin AR, LK Ara, Maskirbi, Tjoet Sofyan, Syamsul Kahar, Barlian AW, Rosni Idham dan lain-lain. Karya-karya mereka juga sudah mulai dikenal di luar Aceh.

Sastra Aceh pasca Tsunami dan Sekarang

Bencana tsunami pada 26 Desember 2004 tidak hanya menghancurkan Aceh, namun juga membawa pergi sejumlah besar aset budaya dan seniman di Aceh. Maskirbi, M Nurgani Asyik, Virsevenny, Siti Aisyah dan beberapa nama lain ikut hilang bersama ombak.

Begitu juga Pusat Informasi dan Dokumentasi Aceh (PDIA) yang menyimpan dokumen-dokumen sastra dan budaya, Kantor DKA dan LAKA ikut lenyap dibawa tsunami. Aceh dan Indonesia kehilangan banyak.

Namun, bencana ini juga membawa perubahan besar bagi perkembangan sastra di Aceh. Orang-orang mulai melirik dan ingin tahu lebih banyak tentang karya-karya sastra di Aceh. Apalagi setelah banyak dari karya-karya tersebut dipublikasikan. Penerbit lokal pun mulai bermunculan. Kehausan para penulis Aceh untuk menerbitkan karyanya, akhirnya terobati juga.

Penyair, budayawan dan sastrawan muda pun mulai bermunculan. Mereka punya gaya lebih berani dan bebas serta usianya berkisar antara 17-30 tahun. Keberadaannya juga dikenal sampai tingkat dunia. Ada Azhari, Reza, Fauzan, Salman Yoga, Cut Januarita. Sebenarnya mereka sudah mulai berkarya di awal tahun 2000-an.

Mereka tidak hanya berkarya, tetapi juga menerbitkan karya-karya sastra lokal dalam bentuk buku dan memotivasi calon-calon penulis muda dengan mengadakan pelatihan-pelatihan dan aneka lomba. Semoga sastra Aceh lestari, Aamiin...

Post a Comment for "Asal Mula Sastra Aceh"