Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Akhir Perjuangan Seorang Guru Honorer SMK

Conny Abdull
Saya bekerja sebagai seorang guru honorer selama 15 tahun di salah satu SMK Negeri di Kabupaten Indramayu, yang membuka formasi P3K untuk 3 guru Bahasa Indonesia. Berbagai upaya saya lakukan agar lulus ujian P3K untuk mengakhiri status sebagai guru honorer. Segala kemampuan saya kerahkan, saya berusaha semampu yang saya bisa, termasuk belajar dari banyak sumber (termasuk soal_soal Try Out Saraswati) dan dari berbagai media (termasuk Youtube dan Blog) untuk menghadapi ujian P3K tahap pertama. 

Meski saya punya afirmasi 35+, saya harus tetap belajar karena saya menyadari kesempatan emas guru induk di sekolah negeri ada di tahap pertama. Jika saya gagal di tahap pertama, berarti pupus sudah harapan karena masih ada ujian tahap kedua dan ketiga yang akan lebih berat saingannya. Dan sangat mustahil bagi saya mengalahkan saingan yang berserdik (memiliki sertifikat pendidik). Di rumah, saya tinggal bersama istri tercinta yang juga guru honorer SD dan dua anak yang Alhamdhulilah anak pertamaku Noval Swarandhika Basae telah lulus wisuda bersamaan dengan hari pendaftaran PPPK. Sedangkan adiknya Michelle Clarache Carandache masih duduk di kelas 10 SMK dimana saya mengajar di situ. 

Menjelang ujian, semalaman saya tidak bisa tidur. Pukul satu dini hari, saya berdoa untuk kelancaran saya, baik di perjalanan maupun saat mengerjakan ujian. Padahal pagi sekali saya harus sudah berangkat. Di pagi hari, setelah selesai sarapan dengan nasi goreng buatan istri, saya berpamitan.

Pemandangan seperti ini jarang terjadi karena biasa saat saya akan pergi ke sekolah tidak pernah melakukan sebegitu dramatis. Kali ini benar_benar sakral, sampai_sampai kucurahkan semua kata maaf dan doa restu. Saya mohon doa restu supaya lulus dan dapat mengerjakan soal-soal ujian nanti dengan baik. Lalu saya peluk erat istri ketika hendak berangkat, saya terisak.

“Mah,” ucap saya dengan suara terputus-putus. 
“Aku mangkat, ya….., Dongakaken reang lulus...” 
“Iya, Ayah, tek dongakaken awan bengi kambisan lulus tes P3Kne, supaya lancar!” 
Ketika itu saya menangis. 

“Ko dikit Yah..., teksiapaken jabur lan Aqua bokat teklok ning dalan,” ucap istri lagi. 

Saya cium tangan istri sesudah ia mencium tanganku kemudian berlalu pergi tanpa kusadari hari masih pagi. Beruntungnya saya mendapat sesi kedua dalam ujian, jadi waktu perjalanan 3 jam naik motor masih ada waktu untuk beristirahat dan mempersiapkan diri. 

Saat ujian tiba, semua soal saya kerjakan semampu saya, sebisa-bisa saya. Saya pilih jawaban yang menurut saya paling benar. Ketika waktu tersisa 2 menit, saya klik selesai. Kemudian muncul hasil ujian: MSK 196, wawancara 30, teknis 170.

Saya catat hasil itu di kertas kartu ujian. Saya tidak bisa berpikir lagi, apakah dengan nilai itu saya lulus atau tidak. Kemudian saya keluar ruangan karena kepala sudah pening sekali. Ternyata begitu hebat dampak dari mengerjakan soal-soal di komputer saat ujian. Hingga saya juga sampai lupa berapa passing grade yang harus dicapai. 

Tak lama setelah keluar ruangan, rekan kerja saya di sekolah yang sudah menjadi PNS kirim pesan dan bertanya, “Berapa nilainya, Pak?” Saya membalas dengan foto kertas yang saya gunakan mencatat nilai hasil ujian. Kemudian saya kirim. Tak lama setelah itu saya mendapat balasan dari rekan saya. “Selamat ya, Pak. Bapak masih harus banyak belajar lagi untuk di tahap 2.” 

Ternyata rekan saya sudah menghitung nilai yang saya dapatkan dan ditambah dengan afirmasi, ternyata saya masih belum mencapai passing grade 260. Kurang beberapa soal benar di bidang teknis. 

Saya terdiam. Dada terasa sesak, agak berat di tengkuk belakang. Ya Tuhan, apa lagi yang harus saya lalukan. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin. Dalam hati saya menangis, apa lagi teringat istri dan anak_anak di rumah waktu melepas kepergian saya tadi pagi. Meskipun belum makan sepanjang hari, hari itu rasanya saya tidak merasa lapar atau haus. Yang saya rasakan hanya betapa kecewanya istri dan anak_anak saya nanti ketika tahu hasil ujian yang saya dapatkan. 

Saya istirahat sejenak di tempat yang agak sepi, sambil menghabiskan sebatang rokok sebelum pulang. Dalam perjalanan pulang, tubuh terasa lemas dan penuh kekecewaan. Hujan lebat turun ketika saya masih di tengah perjalanan sehingga saya harus beberapa kali berteduh. Sampai rumah jam 8 malam.

Di rumah, istri sudah menunggu. “Pribe Yah, tes e…? Lulus belih, kita dedonga bli liren_liren, kok.” Saya tidak menjawab dan langsung masuk kamar karena seluruh pakaian saya basah. Tak lama setelah itu saya keluar dan menjawab sambil berjalan untuk ambil air minum. 

“Ora lulus, Mah..., harus tes lagi sebulan lagi.” Saya berbohong sama istri bahwa tesnya bisa diulang sekali lagi karena saya tidak ingin melihat ia kecewa. 
“Oh, ya wis, bli apa_apa mader gah tahap 2 kari ngenteni ayah passsing grade bae kunuh” 

Beliau tidak tampak sedih di depan saya dan tetap menghibur saya. Tapi mungkin sebenarnya ia pasti kecewa tapi tidak menampakkan pada saya. 

Saya bertambah sedih setelah tahu kawan sekantor saya, pa Jaya lulus dengan nilai teknis 150 lebih kecil dari saya namun Lulus karena afirmasi usia 50 +. Sehingga saya merasa tidak ada kawan seperjuangan lagi karena selama ini kami selalu berjuang bersama-sama; melewati hari-hari sebagai honorer, saling memberi dukungan, mengerjakan soal try out bersama. Akh... usiaku kurang sebulan lagi 50. 

Sejak saat itu saya jadi sering merenung, bagaimana nasib hidup saya ke depan. Namun saya agak sedikit lega setelah sadar bahwa masih ada tahap kedua yang bisa saya ikuti. Pelan-pelan dengan berjalannya waktu, saya membuka lagi soal-soal latihan dan belajar lagi untuk menghadapi tes tahap dua bahkan saya buat soal_soal di chanel youtube saya dan web blog ini (soal_soal PPPK). Sekalipun saya tahu itu lebih berat untuk lulus. Akh... sialan umpatku dalam hati. 

Sambil menunggu keputusan resmi dari Panselnas tentang kelulusan yang sempat diundur beberapa kali karena banyak tuntutan dari daerah yang katanya soal tidak sesuai dengan kisi-kisi di tryout SIMPKB, passing grade terlalu tinggi, soal banyak yang jenis HOT, soal terlalu panjang, dan lain sebagainya. Saat pengumuman tiba, rekan saya yang sudah pasti lolos membuka lebih dulu akun SSCASN dan dia dinyatakan lolos. Saya pun memberi ucapan selamat. Padahal dalam hati saya merasa sedih dan iri, karena saya gagal. Dan saya merasa dia akan meninggalkan saya. Padahal kami sama_sama mengabdi di sekolah ini sudah 15 tahun. Sayangnya masa pengabdian tidak diberi tempat oleh Panselnas. Sedih rasanya... 

Saya yang sudah tidak semangat lagi membuka akun SSCASN karena sudah tahu saya tidak akan lulus, namun saya tetap mencoba membuka akun saya melalui ponsel tapi ternyata susah untuk diakses. Di kantin sekolah yang biasa saya ngopi, akun saya dibukakan oleh rekan yang tempo hari menanyakan soal nilai saya. 

“Saya bukakan lewat laptop, Pak!” tawarnya. 
Saya mendekat ke mejanya. Dia teriak sambil memukul bahu saya. 

“PAK! Sampean LULUS PAAAKKK!” 

Dia meloncat sampai guru yang lain kaget, semua melihat ke laptop dan ikut berteriak. Mereka memeluk saya, merangkul saya, tertawa karena senang. Sedangkan saya hanya terdiam, bingung, dan masih bingung. Seolah saya tidak percaya dan tidak bisa berbuat apa-apa, tertunduk di meja kantin Bi Surti menahan rasa sesak di dada dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sesaat kemudian, saya mendongakkan kepala sambil berkata dan terisak, “Terima kasih, Tuhan, Terima kasih.

Terima kasih juga saya ucapakan kepada kawan-kawan, rekan kerja semuanya yang telah membantu dan selalu memberi semangat kepada saya. Di sekolah tempat saya mengajar, kami memang sudah seperti keluarga. Tangisku pecah saat itu karena memang dari awal saya sudah pesimis berdasarkan nilai teknis yang saya dapatkan. Namun ibu Aam yang dinyatakan LULUS pada tahap satu, rupanya kurang 5 poin nilainya dari saya...
Allahu Akbar...!!!

Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 12.00, Kantin Bi Surti sudah sepi. Saya pergi menuju ruang guru, sendirian di sekolah memandangi seluruh isi kantor. Dalam hati saya berjanji bahwa ruangan ini akan menjadi rumah kedua, menjadi ladang sebagai tempat mencari rezeki. Dari sinilah perjalan baru akan dimulai. Mata saya tak henti mengeluarkan air mata. Pukul 13.00, saya baru pulang. 

Sesampai di rumah saya mendapati isti sedang duduk di lantai di depan TV sedang makan mie instan dengan ditemani anak kedua saya. Saya meletakkan tas di kamar kemudian mendekat istri. Saya sentuh pundaknya. Sepertinya istri tahu bahwa saya akan menyampaikan sesuatu. Setelah meletakan mangkuk mie di sampingnya, beliau bertanya. 

” Ana apa sih Yah...? ” 
“Mah,” kataku sambil terbata_bata.
“Aku lulus, Mah…!” Tangisku pecah.

Saya peluk istri dan anakku yang masih duduk di lantai, dan aku masih terus menangis. 

“Tes P3K aku lulus, Maaah….!” 
“Ya, syukur, Alhamdulillah. Kita ndongakaken awan kelawan bengi, supaya Ayah lulus, supaya diterima, supaya asil.” 

Saya hanya menangis sambil tetap memeluk istri saya. 
“Ya, wis, Ko disiapaken mangan,” katanya sambil menepuk bahu saya. 
Begitu juga anak saya ia ikut merasakan tangis bahagia itu, malah tak henti_henti ia terisak_isak bercucuran air mata... 
Michelle anakku.... kien rejekine senok misel.. karo Aa Opang....

Berkat kebijakan pemerintah menambah afirmasi, dan ibu Aam yang beda 5 poin saya dinyatakan lulus tahap kedua. Kita memang tidak boleh menyerah dan putus asa. Terkadang apa yang tidak mungkin dipikiran manusia, tapi di sisi Allah semuanya bisa terjadi. Serahkan semua kepada yang di atas. Manusia boleh berencana tapi Allah SWT lah yang menentukan. 

Post a Comment for "Akhir Perjuangan Seorang Guru Honorer SMK"