Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

POTONGAN CERITA IBU MAIYA [sebuah cerpen]

POTONGAN CERITA IBU MAIYA 

Ketelair Indonesia_  MAIYA terpesona melihat kemilau kalung manik-manik itu. Tak pernah Maiya melihat untaian kalung seindah itu. Pastilah dibuat oleh pengrajin yang teliti dan rapi. Ada juga anting-anting, bros dan gelang. Maiya menyangka semua perhiasan itu terbuat dari berlian.

“Ini bukan berlian, Nyonya,” jelas perempuan itu. “Ini manik-manik airmata…”

Maiya memandangi perempuan yang duduk bersimpuh di hadapannya. Mungkin usianya sekitar 35 tahunan. Kulitnya kecoklatan. Bedak tipis sedikit memulas kelelahan di wajahnya. Memakai rok terusan kembang-kembang, terlihat kucel, dan malu-malu. Saat tadi muncul menenteng tas abu-abu, dan tak beralas kaki, 

“Sungguh, Nyonya. Ini butir-butir airmata yang mengeras. Kami menyebutnya biji-biji airmata. Seperti butiran beras kering berjatuhan dari kelopak mata…” Perempuan itu pun terus bercerita, membuat Maiya makin terpesona.

SAAT Maiya datang ke arisan memakai kalung manik-manik itu, semua terbelalak memuji penampilannya yang chic. Maiya melirik ke arah Andien yang muncul menenteng tas koleksi terbaru Hermés -tapi tak seorang pun memujinya. Semua perhatian tersedot kalung manik-manik yang dikenakan Maiya. Membuat Mulan yang memakai bustier dan rok flouncy Louis Vuitton hanya bersandar iri menyaksikan Maiya jadi pusat perhatian. Dengan penuh gaya Maiya bercerita soal kalung manik- manik yang dikenakannya. Dan semua berdecak mendengarnya. “Begitulah yang dikatakan perempuan itu pada saya. Manik-manik ini berasal dari airmata.”

“Jadi itu manik-manik airmata?” tanya Mulan, terdengar sinis. “Jangan-jangan airmata buaya, ha ha…”

Andien ikut tertawa. Yang lain terus menyimak cerita Maiya.

“Lihat saja bentuknya, persis airmata yang menetes. Begitu halus. Bening. Berkilauan… Lebih indah kan ketimbang yang bermerek? Lagi pula gue emang nggak brand minded, kok!” Lalu Maiya melirik Mulan yang beringsut mengambil cocktail.

Dari jauh Andien dan Mulan memandangi Maiya.

“Ngapain juga mereka mau dengerin ceritanya yang nggak masuk akal itu,” cibir Mulan.

“Dia cuma cari perhatian,” ujar Andien. “Gue tahu kok, dia nggak bahagia. Sudah nggak lagi dapat perhatian. Dani mulai selingkuh…”

Mulan hanya mendengus.

DANI hanya tertawa ketika Maiya memperlihatkan kalung manik-manik itu. “Di Tanah Abang juga banyak,” komentarnya pendek, sambil mematut diri di depan kaca, menyemprotkan parfum. Baru dua jam Dani balik ke rumah, kini hendak keluar lagi.

“Ini beda. Lihat deh…”

“Sorry, aku mesti pergi.” Lembut Dani mencium kening Maiya. Maiya ingin menahan. Ingin bercerita, betapa sejak ia punya kalung itu ia selalu mendengar suara tangis yang entah dari mana datangnya. Suara tangis yang bagai merembes dari dalam mimpinya. Tangis yang selalu didengarnya setiap malam, saat ia tidur sendirian. Maiya ingin menceritakan itu semua, tapi Dani sudah tergesa keluar menutup pintu kamar.

MOBIL meluncur pelan di bawah gemerlap malam.

“Tadi gue iri ama Maiya. Dia pakai kalung manik-manik. Bagus banget. Katanya terbuat dari airmata.”

“Ha ha.”

“Kamu beliin, ya?” “Nggak.”

“Beli di mana?” “Aku nggak beliin!”

“Kok aku nggak dibeliin?”

“Masa kamu nggak percaya. Aku bener-bener nggak beliin!”

Mulan diam, memandang jalanan yang bermandi cahaya. Segalanya terlihat berkilauan. Kota seperti akuarium raksasa yang digenangi cahaya. Dan ia seperti mengapung kesepian di dalamnya.

“Apa Maiya ngerasa soal kita, ya?”

Dani hanya diam, melirik Mulan yang bersandar di sampingnya. Sementara mobil terus meluncur pelan di bawah gemerlap malam.

SUARA tangis itu mengalir menggenangi mimpinya. Dari segala penjuru, airmata mengalir membanjir menenggelamkan kota. Maiya seperti berada di kota bawah laut. Mobil-mobil menjelma terumbu karang. Orang-orang terlihat seperti ganggang. Suara tangis terus merembes dari gedung-gedung yang penuh lumut. Suara tangis itu juga menjelma gelembung-gelembung air yang keluar dari selokan yang mampet. Maiya menyelam bagai putri duyung dalam dongeng. Ia melihat suaminya terapung seperti gabus. Ia melihat kedua anak kembarnya menjelma ubur-ubur. Airmata telah menenggelamkan kota!

Dan di puncak Monas yang telah tenggelam dalam linangan airmata, Maiya melihat seorang penyair berdiri membaca puisi.

“Tanah airmata, tanah tumpah dukaku. 
Mata air, airmata kami.
Airmata, tanah air kami… 
Di sinilah kami berdiri, 
menyanyikan airmata kami…
Kemana pun melangkah, 
kalian pijak airmata kami… 
Kalian sudah terkepung, 
takkan bisa mengelak, 
takkan bisa ke mana pergi. Menyerahlah pada kedalaman airmata kami…”

Suaranya perlahan meleleh dan mencair, menjelma gelombang airmata.

Saat tergeragap bangun, Maiya mendapati tubuhnya kebah. Suara tangis yang mengapung itu masih didengarnya. Maiya mengira itu tangis anaknya. Tapi ia mendapati Faizi dan Fauzi tertidur tenang di kamarnya. Tangis itu merembes dari balik dinding dan menggenangi ruangan. Maiya tercekat ketika memandangi kotak perhiasan di atas meja, di mana ia menyimpan kalung manik-maniknya. Tangis itu datang dari kotak perhiasan itu, seperti muncul dari gramafon tua.

Gemetar tak percaya, Maiya kembali naik ke tempat tidurnya. Lalu menyadari, tak ada Dani di ranjang. Perlahan ia mulai terisak.

“HAMPIR setiap malam aku mendengar tangis itu,” Maiya bercerita sambil bersandar ke pundak Andien. “Mungkin itu memang airmata purba yang berabad-abad terpendam dan menjadi fosil. Menjadi batu granit. Lalu mereka membikinnya jadi kalung manik-manik.”

Andien tersenyum, kemudian mengecup bibir Maiya pelan. Berciuman dengan Maiya seperti menikmati mayonnaise yang lembut dan gurih. Andien memandangi wajah Maiya yang mengingatkannya pada roti tawar yang diolesi mentega. Bertahun-tahun diam-diam menjalin hubungan dengan Maiya membuat Andien mengerti, saat ini Maiya membutuhkannya untuk menjadi seorang pendengar. Aroma chamomile yang menguar dalam kamar membuat Maiya perlahan lebih rileks. Andien tahu, Maiya belakangan makin terlihat rapuh. Mungkin karena perkawinannya dengan Dani yang sedang bermasalah, tapi berusaha ditutup-tutupi. Dan soal kalung manik-manik yang selalu dikatakannya terbuat dari airmata itu hanya kompensasi untuk menutupi kegelisahannya.

“Apa kamu juga nggak percaya?” Maiya menggeliat, menatap Andien. “Mungkin itu memang manik-manik airmata. Kenapa tak kau buktikan saja sendiri? Kamu bisa cari alamat perempuan itu.”

Maiya mendekatkan kalung manik-manik itu ke telinga Andien, “Dengerin, deh…”

Andien merinding, ketika ada dingin yang mendesir, dan ia seperti mendengar isak tangis keluar dari kalung manik-manik yang berkilauan itu.

INI perjalanan paling aneh, seperti mencari alamat yang tak ada dalam peta. Jalanan yang becek penuh lubang membuat mobil tak bisa masuk ke perkampungan itu. Bau kayu busuk dan kotoran kerbau membuat perut mual. Seseorang menunjuk arah yang ditanyakan Maiya dan Andien. Rumah itu reyot nyaris ambruk. Seperti semua rumah di perkampungan ini. Atap-atap rumbia yang melorot terlihat kelabu tertutup debu. Maiya meyakinkan diri, betapa ia tidak memasuki ruang dan waktu yang salah.

Sungguh, Maiya tak pernah menyangka bahwa ada tempat sebegini kumuh dan terbelakang. Ini dunia yang tak pernah ia lihat dalam majalah-majalah life style yang selalu dibacanya.

“Kita masih di Indonesia, kan?”

Andien nyaris tertawa mendengar perkataan Maiya. Tapi ia langsung menutup mulut ketika puluhan anak-anak kurus kumuh berperut buncit memandanginya dengan tatapan nanar.

MAIYA dan Andien duduk di bale-bale, mendengarkan laki-laki tua itu bercerita. Maiya segera tahu, laki-laki itu adalah yang dituakan di kampung ini.

“Kalian lihat sendiri anak-anak di sini. Kurus karena busung lapar. Bayi-bayi lahir sekarat. Ibu-ibu tak lagi bisa menyusui. Susu mereka kering. Kelaparan mengeringkan semua yang kami miliki. Mengeringkan airmata kami. Sudah lama kami tak bisa lagi menangis. Buat apa menangis? Tak akan ada yang mendengar tangisan kami. Bahkan begitu lahir, bayi-bayi di sini tak lagi menangis. Kami terbiasa menyimpan tangis kami. Membiarkan tangis itu mengeras dalam kepahitan hidup kami. Mungkin karena itulah, perlahan-lahan tangisan kami mengkristal jadi butiran airmata. Dan pada saat- saat kami menjadi begitu sedih, butir-butir airmata yang mengeras itu berjatuhan begitu saja dari kelopak mata kami.” Laki-laki tua itu menarik nafas pelan. “Kalian lihat sendiri…”

Maiya melihat ke pojok yang ditunjuk laki-laki tua itu. Di atas dipan tergolek bocah berperut busung. Tangan dan kakinya kurus pengkor. Mulutnya merot. Tulang-tulang iga bertonjolan. Matanya kering. Dan Maiya terpana ketika menyaksikan dari sepasang mata bocah itu keluar berbutir airmata. Seperti biji-biji jagung yang berjatuhan dari sudut kelopaknya yang bengkak.

“Begitulah, kami mengumpulkan butian-butiran airmata kami. Kemudian kami menguntainya jadi bermacam kerajinan dan perhiasan. Dengan menjual manik-manik airmata itu kami bisa bertahan hidup.”

Andien meremas tangan Maiya yang terdiam memandangi butir-butir airmata yang terus keluar dalam kelopak mata bocah itu. Terdengar bunyi kletik… kletik… ketika butir-butir airmata itu berjatuhan ke dalam baskom yang menampungnya.

MALAM itu Maiya sendirian dalam kamar. Sudah dua hari Dani tak pulang. Rasanya ia ingin menangis. Tapi ia hanya berbaring gelisah di ranjang. Sesekali ia melirik ke meja riasnya, di mana tergeletak kalung manik-manik airmata itu. Ia kini mengerti, mengapa setiap malam ia mendengar suara tangis yang bagai menggenangi kamar. Setiap butir manik-manik airmata itu memang menyimpan tangisan yang ingin didengarkan.

Alangkah lega bila bisa menangis, desah Maiya sembari memejam mendengarkan lagu yang mengalun pelan dari stereo set yang ia putar berulang-ulang. Menangislah bila harus menangis…! Sudah berapa lamakah ia tak lagi menangis? Mungkinkah bila ia terus menahan tangis, airmatanya juga akan membeku menjadi manik-manik airmata?

KETIKA Maiya tertidur, ia merasakan ada bebutiran airmata perlahan jatuh bergulir dari pelupuk matanya yang membengkak…

***
TIGA bulan setelah kejadian aneh itu, saya mendapat kiriman paket. Isinya kalung manik-manik yang begitu indah. Pada secarik kertas, Aku menulis: Ini kalung manik-manik airmata Maiya.
Saya meremas surat itu, dan membuangnya. Saya pikir, setelah bercerai dengan Maiya, saya tak akan diganggu hal-hal konyol macam ini. Benarkah ini manik-manik airmata Maiya? Saya pandangi kalung manik-manik itu. Memang bentuknya seperti butiran airmata yang mengeras.

Mulan muncul dari dalam kamar, dan melihat kalung manik-manik yang tengah saya pandangi.

“Apa tuh, Dan?”

“Ehmm…” Saya tersenyum, memeluk pinggang Mulan. “Ini aku beliin kalung buat kamu.” (diambil dari tulisan Agus Noor 'cerpen berjudul Potongan_potongan Cerita di Kartu Pos)

Post a Comment for "POTONGAN CERITA IBU MAIYA [sebuah cerpen]"