Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MENGENAL BAHASA SUNDA LEA_INDRAMAYU

Sunda Lea (Kec. Lelea, Indramayu)
Sunda Lelea
Ketelair Indonesia_ Sampai dengan tahun 1980-an, masyarakat tua di Kecamatan Lelea, Indramayu, masih menggunakan bahasa sehari-hari yang beda dengan masyarakat Indramayu pada umumnya. Masyarakat di sana kala itu menyebutkan bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda abad ke-14. Pada abad tersebut wilayah Indramayu merupakan bagian dari Kerajaan Sunda Galuh, Ketika datang Adipati Wiralodra dari Bagelen, Mataram. Dermaga Pelabuhan Muara Cimanuk direnovasi. Sang Adipati Wiralodra membawa banyak tenaga kerja dari Jawa. Mereka beranak-pinak di wilayah pantura dan membentuk bahasa campuran, yang kini dikenal sebagai Bahasa Cirebon dialek Indramayuan atau disebut Bahasa Dermayon, hanya Lelea yang bertahan dengan bahasa yang mereka sebut sebagai Bahasa Sunda.

Desa Lelea kini masuk ke wilayah Kecamatan Lelea. Pasar Lelea merupakan pusat perdagangan hasil rempah, diantara masyarakat yang saling tukar barang dan jasa, ada pula yang membentuk keluarga dan berniaga di daerah Parean. Sehingga daerah itu berakulturasi dengan budaya Sunda. Namun, Lelea kini tanpa disadari berjuang untuk menunjukkan eksistensi bahasa daerahnya sendiri dengan bersusah payah. Disebutkan di daerah ini hanya beberapa blok saja yang masih berbahasa Sunda, selebihnya berbahasa Jawa Dermayonan. Begitu juga di desa Taman sari yang merupakan daerah pemekaran desa Lelea, hanya ada 4 RT yang masih menggunakan bahasa Sunda Lea. Hal ini disebabkan dominasi bahasa di daerah sekitarnya menggunakan bahasa Jawa Dermayonan. Ditambah lagi pelajaran di Sekolah, SD, SMP, dan SMK yang berada di sekitar Lelea memakai Mulok Bahasa Daerah Indramayu, semakin terkikislah ruang gerak komunikasi antar masyarakat.

Masih beruntung di Desa Lelea dan Desa Tamansari masih aktif menggelar acara adat tahunan yakni Adat Ngarot di situ pesan Kokolot yang tertulis berbahasa Sunda Lea harus dibacakan, sebagai simbol nasihat Sesepuh kepada generasi sesudahnya. Dengan demikian mudah_mudahan bahasa Sunda Lea tetap lestari menghadapi gempuran bahasa daerah di sekelilingnya.
Berikut contoh ragam percakapan Bahasa Sunda Lea yang ada di Kabupaten Indramayu.
“Punten. Cakana boga kotok bibit? Caang tah poek? Kami aya perlu. Kami ndak nanya ka anak kita, daek tah hente? Diterima tah hente? Kami mawa jago ndak nganjang. Mun diterima, ie serena. Esina aya gambir, bako, sere jung lainna. Ngges ente lila, kami ndak goyang, panglamaran diterima mah. Sejen poe, kami ndak nentuken waktu, jung nentuken poe kawinna.”
artinya dalam Bahasa Indonesia;
“Katanya punya anak gadis? Sudah punya pasangan belum? Saya ada perlu. Saya hendak bertanya kepada anak saudara, diterima atau tidak? Saya membawa jago hendak melamar. Kalau diterima, ini sirihnya. Isinya ada gambir, tembakau, sirih, dan lainnya. Sudah ya, saya tidak lama-lama, saya hendak pulang, kalau lamaran diterima mah. Lain hari, saya hendak menentukan waktu dan menentukan hari perkawinan.”
Penjelasan :
Ada nuansa yang terasa asing pada penggunaan bahasa Sunda seperti di atas. Bahasa yang digunakan mayoritas penduduk di Jawa Barat itu, di Indramayu seperti terjadi distorsi dan akulturasi dengan bahasa daerah lainnya (Cirebon/Indramayu dan Melayu-Betawi). Bahasa Sunda yang khas itu sudah berabad-abad digunakan, yakni di Desa Parean Girang, Bulak, dan Ilir Kecamatan Kandanghaur, serta Desa Lelea dan pemekarannya, Tamansari Kecamatan Lelea. Masyarakat mengenalnya sebagai bahasa Sunda-Parean dan Sunda-Lea.
Sunda Lea
Kosakata asing dalam bahasa Sunda bermunculan pada kalimat di atas, seperti kami, kita, goyang. Sepintas kosakata tersebut seperti kata serapan dari bahasa Indonesia. Setelah mengetahui artinya, ternyata bukan. Kami artinya saya, dalam arti tunggal, bukan jamak. Kita berarti saudara. Goyang mengambil serapan dari bahasa Indramayu, yang artinya pulang. Penggunaan kosakata kami merupakan pengambilan undak-usuk yang dianggap halus dibandingkan aing, meski ada yang lebih halus lagi yakni "kola". Kosakata kita juga lebih halus, sebab penggunaan yang kasarnya adalah "inya".

Perbedaan Bahasa Sunda Lea / Parean dengan Bahasa Sunda Baku (dialek selatan)

Dalam percakapan sehari-hari tentu saja akan lebih banyak lagi dijumpai kata-kata atau kalimat yang asing. Keasingan itu bisa jadi akan menimbulkan kesalapahaman, bahkan pengertian yang berbeda bagi orang luar.

Contoh :
“Bini aing benang kebanjir” disangka orang luar sebagai “istri saya hanyut oleh banjir”, padahal artinya “benih padi saya hanyut kena banjir”. “Melak waluh, buahna kendi?” disangka sebagai “menanam labu, buahnya kendi?” padahal artinya, “menanam labu, buahnya mana?”

Penjelasan :
Pada Bahasa Sunda Lea / Parean "Bini" berarti Benih, sedangkan dalam Bahasa Sunda Baku "Bini" berarti Istri. begitu juga dengan kata "Kendi" yang berarti Mana?, sementara dalam bahasa Sunda Baku "Kendi" berarti "Guci / Kendi". penggunaan kata "Kendi" merupakan alkulturasi atau pengaruh budaya Cirebon-Indramayuan dari kata "Endi / Mendi / Ngendi" yang berarti "Mana?" dalam Bahasa Indonesia. 
Demikianlah pemaparan tentang Sunda Lea, lebih memaknai bilamana kita berkunjung ke daerah tersebut, bisa secara langsung kita menyaksikan literasi sosiolinguistik melalui obrolan warung kopi masyarakat Lelea, Tamansari, dan di daerah Parean. Salam lierasi !

Post a Comment for "MENGENAL BAHASA SUNDA LEA_INDRAMAYU"