Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kumpulan Cerpen Lampung Tentang Raja Gangsa dan Putri Malu Karya Sarippudin

cerita dari Lampung

GANGSA ANAK YATIM

“Kukuruyuuuk! Kukuruyuuuk!” Kokok ayam hutan terdengar bersahut-sahutan. Penduduk Negeri Kasui segera bangun. Mereka memulai kegiatan di pagi yang masih dingin. Kesibukan mulai tampak di seluruh pelosok Negeri Kasui. Pagi itu, suasana gembira berlangsung di rumah salah satu penghuni Ibu Kota Negeri Kasui, tepatnya di rumah Bu Miah. Suara tangis bayi terdengar dari sana, nyaring seperti tidak mau kalah dari suara kokok ayam hutan. Suasana menegangkan sebelum kelahiran bayi tampan itu telah menguap. Raut muka tegang dalam rumah itu telah berganti dengan wajah lega. Sang ibu, meskipun terlihat lelah, tersenyum bahagia sekaligus sedih. Ia teringat almarhum suaminya yang meninggal saat berburu setengah tahun lalu. Hatinya sedih memikirkan sang bayi yang langsung menjadi yatim saat lahir ke dunia. Kakek si bayi tersenyum memandang wajah cucunya yang baru lahir dengan perasaan bahagia. “Engkau sudah punya nama untuknya, Miah?” Sang kakek bertanya sambil membelai kepala bayi mungil itu. Wajahnya sangat mirip dengan almarhum bapaknya.

Miah tersenyum. Ia memang sudah menyimpan sebuah nama sejak setengah tahun lalu, yaitu nama almarhum suaminya sendiri. Ia ingin terus mengenang sang suami dengan memberikan namanya pada buah hati mereka. 
“Gangsa, Yah! Apakah Ayah setuju kalau cucu Ayah diberi nama sama dengan nama almarhum bapaknya?
” Sang kakek tertawa renyah. Tentu saja ia setuju. 
“Ya, ya! Itu adalah nama yang bagus! Wajah anakmu memang mirip dengan wajah bapaknya,” sambung sang kakek lagi. 
Para tamu yang hadir di rumah itu ikut tersenyum tanda setuju. Pada pagi itu, telah lahir seorang anak bernama Gangsa, anak yatim dari Negeri Kasui.

BERGURU KEPADA KAKEK

Ketika Gangsa genap berusia sepuluh tahun, ia sudah menguasai bermacam-macam gerakan silat. Gerakannya sangat lincah, hasil dari ketekunannya belajar pada sang kakek. Meskipun perguruan silat tempat ia belajar adalah milik kakeknya sendiri, Gangsa tidak pernah diperlakukan istimewa. Jika ia bersalah, ia dihukum sama seperti murid lain. Gangsa pernah terlambat datang untuk latihan. Ia dihukum mengambil kayu bakar di hutan. Beberapa kali Gangsa tertidur saat kakek memberi nasihat. Oleh karena itu, ia dihukum menanak nasi untuk semua orang. Kemampuan silat Gangsa sangat istimewa. Ia menguasai semua ilmu yang diberikan kepadanya dengan sangat baik, menyamai atau bahkan melebihi kemampuan orang dewasa. 

Pada suatu petang, selesai latihan, Gangsa duduk bersama kakeknya di bawah sebatang pohon yang rindang. Angin bertiup semilir. Kakek dan cucunya itu tampak sedang berbicara dengan santai.
“Engkau tahu jurus silat yang paling hebat, Gangsa?” tanya kakek kepada Gangsa. Gangsa mengangguk. 
“Jurus harimau,” sebutnya. Kakek menggeleng.
“Jurus elang hitam,” sebutnya lagi. Kakek kembali menggeleng. Gangsa kebingungan. Jurus-jurus yang disebutnyanya tadi adalah jurus-jurus hebat yang diajarkan di perguruan sang kakek.
“Apakah ada jurus yang lebih hebat dari itu?” pikirnya.
“Ada!” seru kakek seolah-olah mengetahui pikiran Gangsa.
“Jurus apa, Kek?” Gangsa penasaran. 
“Jurus rendah hati,” jawab kakek mantap. 
“Memangnya ada jurus rendah hati, Kek?” tanya Gangsa tidak percaya. Keningnya tampak berkerut. Sang kakek mengangguk tanpa menjawab. “Mengapa Kakek tidak mengajarkan jurus itu kepada Gangsa?” Kakek menatap Gangsa. 

Kemudian, ia menjelaskan kalau jurus rendah hati harus dikuasai sendiri. Tidak ada guru yang dapat mengajarkannya, termasuk kakek. Mendengar penuturan kakek, Gangsa semakin tertarik mengetahui tentang jurus rendah hati.
“Bagaimana cara menguasai jurus itu, Kek?” tanya Gangsa bersungguh-sungguh. “Caranya banyak. Salah satunya, engkau melakukan perjalanan.”
“Perjalanan? Saya harus pergi ke mana, Kek?”
“Ke Negeri Banjit!”
“Jika engkau sudah siap, mintalah izin kepada ibumu! Besok pagi kau bisa memulai perjalanan itu,” kata kakek lagi.
Mendengar hai itu, Gangsa menjadi bersemangat. Ia segera pamit pulang untuk menemui ibunya. 
“Bu, Ibu!” Sampai di rumah, Gangsa tidak sabar ingin menemui ibunya. Ia memanggil ibunya sambil menaiki tangga rumah.
“Bolehkah Gangsa pergi ke Negeri Banjit, Bu?” kata Gangsa saat ia menemukan ibunya di dapur. 
“Untuk apa engkau pergi ke Negeri Banjit? 
Bukankah negeri itu sangat jauh, Gangsa!
Apakah engkau tidak takut?” Gangsa menggeleng mantap.
Ia sudah bertekad ingin menguasai jurus rendah hati dengan melakukan perjalanan ke Negeri Banjit.

PERJALANAN

Besok paginya, setelah mendapat restu Bu Miah dan sang kakek, Gangsa memulai perjalanan ke Negeri Banjit. Sang ibu membekalinya nasi lemang dan air nira. Gangsa melangkah mantap. Ia menuju Negeri Banjit melalui hutan belantara agar lebih cepat tiba di sana. Setelah hampir dua jam berjalan, Gangsa menemukan sebuah perladangan. Di sana ada sebuah pondok yang berlantai tinggi dari tanah. Bangunan seperti itu biasanya dibuat untuk menghindari luapan air sungai pada musim hujan dan menghindari gangguan binatang buas. Gangsa memutuskan untuk mampir, sekadar melepas penat. 
“Permisi! Permisi!” Gangsa memberi salam. 
“Siapa?” Terdengat sahutan dari dalam pondok. 

Belum sempat Gangsa menyebutkan jati dirinya, seorang lelaki paruh baya keluar dari pondok itu.
“Permisi, Wak! Saya Gangsa dari Negeri Kasui. Bolehkah saya menumpang istirahat sebentar?” Gangsa berbicara dengan sopan. 
“Oh, silakan naik ke pondok, Nak,” ujar lelaki itu dengan ramah. 
“Uwak tinggal sendiri saja di sini?” tanya Gangsa setelah duduk. 
“Iya, Nak!”
“Uwak tidak takut?”
“Engkau yang masih kecil saja tidak takut bepergian sendiri,” kata pemilik pondok itu sambil tertawa. 
Gangsa pun tersenyum. Ia senang disebut anak yang tidak penakut. Gangsa membuka bekalnya. Ia berniat mengisi perut sebelum melanjutkan perjalanan.
“Ayo, Wak! Kita makan bersama!” Gangsa menawarkan nasi lemangnya. Lelaki itu tidak menolak tawaran Gangsa. 
“Wah, enak sekali nasi lemangmu, Nak!” kata pemilik pondok setelah mereka selesai makan.
Gangsa tersenyum senang. Lalu, ia kembali menawarkan air nira yang dibawanya. Pemilik pondok itu pun segera meminumnya.
“Terima kasih, Nak! Sudah lama Uwak tidak makan enak dan minum air nira seperti ini,” kata pemilik pondok.
Beberapa saat kemudian, Gangsa memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan. Ia khawatir nanti kemalaman di jalan. 
“Tunggu sebentar, Nak!” Pemilik pondok menahan Gangsa sebelum ia menuruni tangga pondok.
“Ada apa, Wak?” Pemilik pondok meninggalkan Gangsa.
Ia menuju ke arah dapur, lalu kembali dengan singkong rebus yang dibungkus dengan daun pisang. Singkong itu tidak banyak, hanya dua potong.
“Maukah engkau menukar semua nasi lemangmu dengan singkong ini,” kata pemilik pondok sambil menyodorkan singkong rebus itu kepada Gangsa. 
Wajahnya penuh harap. Sejenak Gangsa ingin menggeleng. Ia hendak menolak permintaan pemilik pondok karena nasi lemang yang tersisa adalah bekal makan malamnya nanti.

Saat Gangsa hendak menolak, ia teringat pesan kakeknya. Perjalanannya ke Negeri Banjit adalah dalam rangka menguasai jurus rendah hati. Bukan rendah hati namanya jika ia menganggap nasi lemang lebih baik dari singkong rebus punya pemilik pondok. 
“Itu bukan rendah hati! Itu sombong!” Hatinya berbisik. 
Menyadari hal itu, Gangsa pun menyetujui permintaan pemilik pondok. Ia menukar seluruh nasi lemangnya dengan dua potong singkong rebus si pemilik pondok. Dengan berbekal singkong rebus di punggung, Gangsa berjalan meninggalkan perladangan. Namun, belum jauh dari perladangan, ia mendengar suara dari arah pondok yang baru saja ditinggalkannya.
“Nak! Singkong rebus yang kuberikan itu adalah singkong ajaib. Singkong itu tidak akan pernah basi. Jika engkau makan sepotong kecil saja, engkau akan menghilang dari pandangan. Tubuhmu menjadi takkasat mata.” Mendengar suara itu, sontak Gangsa menghentikan langkahnya. 

Ia menoleh ke arah pondok tadi. Alangkah terkejutnya Gangsa karena perladangan dan pondok itu telah hilang, berganti hutan lebat. Gangsa kembali menerobos hutan belantara. Ia menuju ke arah selatan tempat Negeri Banjit berada. Perasaannya bercampur aduk. Setelah sekian lama berjalan, ia sampai di tepi sebuah sungai yang sangat jernih. Bebatuan di dasar sungai terlihat jelas. Ikan-kan kecil berenang hingga ke bagian sungai yang dangkal. Mereka seolah-olah mengajak Gangsa mencecahkan kakinya ke sungai. Sinar matahari yang terik menerobos dedaunan. Rasa penat setelah berjalan sejak pagi membuat Gangsa ingin menceburkan diri ke sungai. Ia ingin mandi dan berendam agar tubuhnya segar kembali.

“Pasti air sungai ini sejuk sekali,” pikir Gangsa.
Akan tetapi, ada yang luput dari perhatian Gangsa karena agak terlindung di balik daun-daun tanaman yang tumbuh subur di tepi sungai. Ketika menyadar hal itu, ia melihat seorang perempuan sedang mencuci sesuatu, tidak jauh dari tempatnya berdiri. 
“Bibi itu hampir sebaya dengan ibuku!” Gangsa membatin. 
Ia menghampiri sang bibi sebelum meneruskan niatnya untuk berendam. 
“Permisi, Bi!” Gangsa menyapa sambil mendekat. 
Perempuan itu tidak mendengar sapaan Gangsa. Ia tetap sibuk mencuci benda yang dipegangnya. 
“Permisi, Bi!” Gangsa mengeraskan suaranya. 
Bibi itu tampak kaget mendengar sapaan Gangsa. Sejenak ia menatap Gangsa, lalu tersenyum. 

“Ya, Nak! Ada apa?” Perempuan itu bertanya. 
“Bibi sedang mencuci apa?” Gangsa balik bertanya. 
“Oh, Bibi sedang mencuci labu tempat air, Nak! Labu ini sudah kotor! Bibi mencucinya agar bersih!” Bibi itu menjelaskan. 
“Engkau sendirian saja, Nak?” lanjutnya lagi. 
Gangsa menganggukkan kepala sambil memperkenalkan diri dan menceritakan tujuan perjalanannya. 
“Oh, engkau hendak pergi ke Banjit. Negeri itu masih jauh dari sini, Nak! Beristirahatlah dulu!” saran si bibi. 
Gangsa mengangguk. Ia memang ingin beristirahat sejenak dan ingin mandi untuk menyegarkan tubuhnya yang sudah letih dan berkeringat. Akan tetapi, ia tidak enak hati karena di sungai itu ada perempuan yang sedang mencuci labu tempat penyimpanan air.

Akhirnya, Gangsa duduk saja di tepi sungai. Perempuan itu masih sibuk membersihkan labunya. Sesekali ia menyeka keringat. 
“Apakah engkau membawa air minum, Nak?” tanya si bibi. 
Gangsa mengangguk. Ia meloloskan tabung bambu yang berisi air nira dari pundaknya dan menyodorkannya pada bibi itu. 
“Silakan, Bi! Ini air nira yang disiapkan oleh ibuku.” Si Bibi menyambut tabung bambu itu. 
Ia meminum air nira beberapa teguk. Air nira yang manis itu terasa nikmat sekali, apalagi di tengah terik matahari siang itu. 
“Silakan, Bi! Jangan sungkan,” kata Gangsa saat memperhatikan perempuan itu agak ragu meneruskan minum. 
Si Bibi tersenyum. Ia tidak meminum air nira itu lagi. 
“Kamu anak yang baik sekali! Maukah kamu menukar air minummu dengan air minum Bibi?” lanjutnya. 
Gangsa bingung mendengar perkataan perempuan itu. Dia tidak melihat si bibi membawa air minum. 
“Bukankah dia meminta air minum kepadaku,” batin Gangsa.
Bibi itu sudah selesai membersihkan labunya. Ia mengisi labu itu dengan air sungai, tidak sampai penuh, hanya separuh saja. Kemudian, ia menyodorkannya kepada Gangsa.

“Ditukar dengan ini,” katanya dengan lembut. 
Mulanya, Gangsa agak keberatan. Air nira yang diperoleh susah payah dengan memanjat pohon yang tinggi dan ditunggu selama satu malam, haruskah ditukar dengan air sungai yang masih mentah? 
Gangsa menimbang-nimbang dalam hatinya. Saat ia hendak menggeleng, ia teringat singkong rebus pemberian lelaki yang dijumpainya di perladangan. Gangsa teringat pula dengan tujuan perjalanannya untuk mempelajari jurus rendah hati. Bukan rendah hati namanya jika ia tega menolak permintaan si bibi. Ia juga tidak sedang haus sekarang. Ia bisa mencari air di hutan nanti. Akar-akar pohon biasanya mengandung air yang bisa diminum. 
“Baiklah, Bi!” ujar Gangsa sambil menyodorkan ruas bambu yang berisi air nira kepada perempuan itu. 
Bibi itu tersenyum. Ia tampak senang sekali. 
“Engkau memang anak yang baik, Gangsa,” pujinya. 

Perempuan itu pamit. Kemudian, ia bergegas pergi. Setelah punggung bibi itu tidak terlihat lagi karena ditelan lebatnya hutan, Gangsa meletakkan perbekalan. Ia melepas baju, lalu melompat ke sungai yang jernih.

Byuuur! Air bercipratan. Kepala Gangsa muncul di permukaan. Ia sedikit menggigil. Walaupun di tengah terik matahari, air sungai itu tetap dingin dan menyegarkan. Sebelum sempat menyelam kembali, Gangsa mendengar sebuah suara dari kejauhan. Suara itu seperti suara si bibi tadi.

“Gangsa, air di dalam labu itu bukanlah air sembarangan. Itu adalah air obat. Cukup engkau berikan sebanyak tiga teguk kepada orang yang menderita sakit apa pun. Dengan pertolongan Tuhan, niscaya orang itu akan sembuh.” Gangsa celingak-celinguk mencari sumber suara, tetapi ia tidak melihat si bibi atau pun orang lain di sekitar sungai. 

Ia menyudahi mandi dan segera berenang ke pinggir sungai. Ia bersiap untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Negeri Banjit.

NEGERI BANJIT

Negeri Banjit dipimpin oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Raja itu sangat disenangi oleh seluruh rakyatnya. Raja dan Permaisuri memiliki seorang anak perempuan bernama Putri Malu. Putri Malu berusia sembilan tahun, sedikit lebih muda daripada Gangsa. Putri Malu adalah anak yang periang. Ia juga ramah dan sopan kepada setiap orang, sama seperti kedua orang tuanya. Tutur katanya lembut dan bahasanya halus. Rakyat Negeri Banjit juga sangat menyenangi dan menyayangi Putri Malu. Hanya saja, saat ini Negeri Banjit sedang dirundung masalah berkepanjangan. 

Setiap bulan purnama, sejak dua bulan lalu, mereka didatangi raksasa-raksasa dari negeri di atas gunung. Raksasa-raksasa itu mengambil persediaan makanan di lumbung negeri. Tidak cukup sampai di situ, mereka juga mengambil hewan-hewan ternak milik penduduk. Saat kedatangan mereka yang terakhir, raksasa-raksasa itu malah mengancam penduduk Negeri Banjit. Mereka minta disiapkan seratus ekor sapi yang besar pada bulan purnama berikutnya. Jika tidak dipenuhi, mereka akan menghancurkan Negeri Banjit. Pasukan prajurit Negeri Banjit yang dikerahkan untuk menghadapi para raksasa tidak berhasil menghalau mereka. Raksasa-raksasa tersebut bukanlah lawan yang sepadan dengan para prajurit. Lima belas raksasa saja telah membuat puluhan prajurit Negeri Banjit tidak berkutik dalam waktu singkat. Para prajurit mengalami cedera berat ketika mencoba menyerang para raksasa. Raja dan rakyat Negeri Banjit hampir berputus asa. Kedatangan para raksasa bulan purnama yang lalu juga telah menyebabkan Putri Malu cedera. Kaki sang Putri terkilir saat ia hendak bersembunyi dari para raksasa. Sudah setengah bulan berlalu. Kaki Putri Malu yang terkilir belum juga sembuh. Ia masih tetap tidak bisa berjalan dengan baik.

Semua upaya pengobatan dari tabib istana belum dapat menyembuhkannya. Sang Raja bermuram durja. Ia tidak hanya sedang sedih memikirkan nasib sang Putri, tetapi juga sedang rumit memikirkan cara mengusir para raksasa itu. Ia harus menemukan strategi yang tepat agar dapat mengalahkan raksasa-raksasa itu sehingga mereka tidak lagi mengganggu ketenteraman Negeri Banjit selamanya.
“Bagaimana, Panglima? Apakah engkau punya strategi baru untuk mengalahkan para raksasa itu?” tanya sang Raja kepada pemimpin pasukannya. 
“Bagaimana kalau kita menyerang mereka dengan panah api, Baginda?” tanya Panglima. 
“Bukankah mereka kebal terhadap senjata dan api, Panglima?” Raja balik bertanya.
Panglima diam sesaat. Kemudian, ia menjelaskan rencana yang telah dipikirkannya kepada sang Raja.
“Saya yakin, Baginda! Jika kita menyerang para raksasa itu dengan ratusan anak panah berapi tanpa berhenti, mereka akan lari tunggang-langgang meninggalkan negeri kita.

“Apakah engkau yakin, Panglima?” tanya sang Raja. Panglima Kerajaan Banjit itu mengangguk mantap. 
Ia yakin strateginya kali ini akan berhasil membuat para raksasa pergi.

“Baiklah! Segera siapkan anak panah api sebanyak-banyaknya! Kita akan menyerang para raksasa saat mereka datang pada malam bulan purnama nanti. Aku akan memimpin penyerangan itu sendiri,” lanjut Raja Negeri Banjit. 

Pertemuan Raja dan Panglima Negeri Banjit berakhir. Kemudian, sang Panglima menemui para pembuat senjata kerajaan. Ia meminta mereka menyiapkan anak panah api sebanyak-banyaknya, sesuai keinginan sang Raja. Panglima juga segera mengumpulkan semua prajurit. Ia memaparkan strategi yang akan dilakukan untuk menyerang para raksasa pada malam bulan purnama nanti. Para prajurit pun segera berlatih memanah. Prajurit dibagi atas beberapa kelompok untuk ditempat pada pos-pos penyerangan berbeda. Semua rencana dan strategi penyerangan telah disiapkan secara matang. 

Waktu pun berlalu. Purnama akan datang nanti malam. Seluruh penduduk sudah mengungsi ke tempat yang aman. Hanya beberapa prajurit tinggal di sekitar lumbung persediaan Negeri Banjit. Isi lumbung pun sudah dipindahkan ke tempat lain. Petang itu, Raja dan Permaisuri menemui Putri Malu. 
“Anakku! Malam ini Ayahanda akan memimpin pasukan melawan raksasa. Kita akan membuat mereka menyesal karena telah mengganggu ketenteraman negeri ini,” Kata sang Raja. 
Putri Malu mendengarkan perkataan ayahandanya dengan saksama. Ia berdoa agar raksasa-raksasa itu dapat dikalahkan segera.

“Demi keselamatan, engkau dan ibundamu serta seluruh penghuni istana akan diungsikan ke Dusun Hilir. Seluruh penduduk negeri juga sudah mengungsi ke dusun itu. Tunggulah Ayahanda di sana! Doakan Ayahanda dan pasukan prajurit berhasil mengalahkan para raksasa!” Setelah itu, Raja Negeri Banjit pun bersiap-siap.

Ia memimpin pasukannya untuk melakukan penyerangan terhadap para raksasa yang akan datang nanti malam, saat bulan purnama.

MELAWAN RAKSASA

Hari sudah petang saat Gangsa tiba di Ibu Kota Negeri Banjit. Ia bingung melihat suasana yang sepi. Rumah-rumah tampak tidak berpenghuni, jalan kosong melompong. Di halaman setiap rumah tidak tampak anak-anak bermain. Memang baru kali itu Gangsa datang ke Negeri Banjit. Namun, menurut cerita yang didengarnya, Negeri Banjit tidak kalah ramai dibandingkan dengan Negeri Kasui. Namun, mengapa saat ia datang, ibu kota negeri itu terlihat sepi. 
“Pergi ke manakah para penduduk kota ini?” Gangsa bertanyatanya dalam hati. Saat Gangsa kebingungan sambil memandang ke segala penjuru, tiba-tiba seorang prajurit mendatanginya. 
“Hei, Nak! Mengapa engkau tidak pergi mengungsi,” tegurnya. “Mengungsi?” 
“Ya. Apakah engkau tidak tahu kalau semua penduduk sudah mengungsi ke Dusun Hilir?” Gangsa menggeleng dan bertambah bingung.
“Apakah engkau bukan penduduk negeri ini?” Prajurit itu bertanya lagi karena melihat Gangsa kebingungan.

“Benar, Paman! Saya baru saja datang dari Negeri Kasui!” 
“Kalau begitu, engkau harus segera pulang ke negerimu, Nak!” 
“Saya diminta kakek datang ke sini, Paman!” Gangsa menjelaskan maksud kedatanganya ke Negeri Banjit kepada prajurit itu. 
Prajurit tersebut menggeleng-gelengkan kepalanya. 
“Tidak ada yang bisa engkau pelajari di sini, Nak! 
Negeri ini sedang dirundung masalah besar. Para raksasa dari negeri di atas gunung sudah beberapa kali mengambil harta penduduk negeri. Nanti malam, mereka akan datang lagi.” Gangsa mendengarkan penjelasan sang prajurit.

Namun, ia sudah bertekad tidak akan pulang ke Negeri Kasui sebelum menguasai jurus rendah hati, sesuai pesan kakeknya. 
“Malam ini kami akan melawan raksasa-raksasa itu sekuat tenaga karena kami tidak tahan lagi diperlakukan semena-mena.” 
“Dengan apa Paman melawan makhluk itu?” tanya Gangsa.
“Dengan panah api. Semoga serangan ratusan anak panah berapi yang sudah kami siapkan dapat mengusir mereka.” Gangsa melihat keyakinan pada raut muka prajurit itu.
Akan tetapi, mampukah panah api membuat para raksasa jeri? 
Jangan-jangan, hal itu malah membuat kerugian besar bagi Negeri Banjit. Bagaimana jika anak panah berapi yang berterbangan mengenai dan membakar rumah-rumah penduduk? 
Lalu, bagaimanakah cara menghadapi raksasa yang marah karena diserang dengan panah api? Gangsa memikirkan perkataan sang prajurit.

 Saat Gangsa sedang berpikir, prajurit itu menegurnya lagi.
“Pulanglah segera, Nak! Jika tidak, sebaiknya engkau pergi ke Dusun Hilir dan bersembunyi di sana bersama penduduk lain!” Sang prajurit menasihati Gangsa, tetapi Gangsa memutuskan tetap berada di Ibu Kota Negeri Banjit. 
“Inilah saatnya saya menggunakan ilmu bela diri yang sudah diajarkan kakek.” Gangsa membatin.
“Saya di sini saja, Paman! Kalau boleh tahu, siapakah yang memimpin pasukan penyerangan?” Gangsa bertanya pada prajurit itu.
“Raja sendiri yang akan memimpin, Nak! Nah, sekarang cepatlah bersembunyi! Sebentar lagi malam tiba.” Prajurit itu benar. 
Malam akan segera datang. Matahari sudah berada di ufuk barat. Gangsa mengikuti prajurit itu menuju sebuah pos penyerangan. 

Rupanya, pos penyerangan yang dituju adalah tempat Raja Negeri Banjit memimpin pasukannya. Prajurit itu memperkenalkan Gangsa kepada sang Raja.
“Hormat, Baginda! Saya Gangsa dari Negeri Kasui. Saya datang ke sini untuk menuntut ilmu,” jelas Gangsa dengan takzim. 
Wajah ramah Raja Negeri Banjit terlihat jelas walaupun situasi mencekam sedemikian rupa. Tatapan matanya lembut menyejukkan.
“Kami mohon maaf, Nak! Kami tidak dapat menyambutmu dengan layak!” Sang Raja menyambut salam Gangsa. 
“Saya yang seharusnya mohon maaf, Baginda! Raja Negeri Kasui belum mengetahui persoalan Negeri Banjit. Kalau saja, raja kami tahu, tentu ia akan mengirimkan pasukan untuk....”
Belum selesai ucapan Gangsa, bumi terasa bergetar seperti sedang terjadi gempa.
“Raksasa sudah datang! Beri aba-aba pertama!” Raja langsung memberi perintah kepada prajurit yang sudah siaga.

Seorang prajurit meniup peluit bambu. Suara lengkingan peluit terdengar satu kali. Itu adalah aba-aba pertama agar semua prajurit bersiap dan merentangkan busur panah, menariknya sekuat tenaga. Ratusan anak panah berapi siap meluncur secara bersamaan. Sementara itu, getaran bumi terasa makin kuat, pertanda rombongan raksasa semakin dekat. Tidak lama kemudian, tidak jauh dari pos tempat Gangsa berada, muncul sekitar lima belas raksasa. Mereka berhenti berjalan. Salah satu dari raksasa itu menunjuk ke sebuah lapangan. Lapangan itu adalah tempat yang ditentukan bagi penduduk Negeri Banjit mengumpulkan seratus ekor sapi.
“Kosong! Kosong! Mana sapi! Sapppiiiiii!” Salah satu raksasa berteriak keras. 
Ia marah mendapati lapangan itu kosong melompong. 
“Sappiiiii!” Raksasa lain pun menyahuti. 
“Sssaaaappiiiiii!” Semua raksasa berteriak.
 
Mereka kecewa dan marah. Suara raksasa-raksasa itu sangat memekakkan telinga. Dalam kondisi seperti itulah, Raja Negeri Banjit memberikan isyarat perintah lagi kepada prajurit. Lengkingan kencang terdengar dua kali. Itulah aba-aba kedua. Sekarang saatnya pasukan mulai menyerang. Secara serentak, ratusan anak panah berapi terbang menerangi malam yang gelap gulita. Raksasa yang sedang kalut karena tidak mendapati seekor sapi pun menjadi terkejut. Mereka tidak menyangka akan mendapat perlawanan dari para prajurit. Mereka terlihat semakin marah. Ratusan anak panah berapi yang menyala itu menerpa tubuh para raksasa. Prajurit menahan napas. Mereka berharap serangan pertama membuat raksasa jeri dan lari pontang-panting. Ratusan anak panah berapi itu memang menerpa tubuh para raksasa, tetapi tidak melukai mereka sama sekali. Sentuhan anak panah itu hanya sedikit mengejutkan mereka. Tubuh raksasa-raksasa itu ternyata kebal terhadap serangan anak panah berapi. Ratusan anak panah berapi yang melayang pun berjatuhan ke tanah. Serangan itu membuat raksasa tambah murka.

Tidak lama kemudian, sang Raja memberikan isyarat lagi. Suara lengkingan peluit kembali terdengar tiga kali. Itu adalah aba-aba yang ketiga. Mereka akan menyerang kembali para raksasa dengan panah api tanpa berhenti sampai semua anak panah yang mereka siapkan habis. Ratusan anak panah berapi berterbangan serentak membuat suasana gelap gulita menjadi terang benderang seketika. Kali ini, para raksasa tampak lebih siap. Mereka menggerak gerakkan kedua tangan mereka untuk menangkis anak panah berapi agar tidak mengenai tubuh mereka. Tangan-tangan para raksasa itu bergerak dengan lincah. Anak-anak panah berapi terpental berjatuhan. Ada yang jatuh ke tanah, ada juga yang mencelat ke arah rumah penduduk. Api pun mulai membakar rumah-rumah penduduk. Gangsa memperhatikan pertempuran itu. Ia merasa perlawanan Raja Negeri Kasui dan pasukannya akan gagal.

Bagaimanapun, persediaan anak panah mereka akan segera habis. Sementara itu, para raksasa tampak tidak jeri menghadapi serangan demi serangan. Apa yang dipikirkan Gangsa sama dengan yang sedang dipikirkan sang Raja. Ia merasa bahwa pasukan yang dipimpinnya akan mengalami kekalahan lagi. Hatinya menjadi resah. Saat pertempuran sedang berkecamuk, tampak Panglima datang tergopoh-gopoh. Napasnya tersengal-sengal karena berlari kencang. Ia mengkhawatirkan keselamatan Raja jika serangan itu tidak berhasil.

AKAL GANGSA

“Ampun, Baginda! Ternyata, strategi kita gagal lagi! Serangan panah api ternyata tidak mempan untuk mengusir para raksasa. Lebih baik Baginda segera menyingkir untuk menyelamatkan diri sekarang! Biarlah kami yang menghadapi para raksasa itu!” Raja menggeleng tegas.

Ia tidak mau menuruti anjuran sang Panglima untuk meninggalkan pertempuran. 
“Tidak, Panglima! Saya tidak akan meninggalkan pasukan! Kalau saya menyingkir, semuanya harus ikut menyingkir bersama-sama!” Panglima terdiam! 
Gangsa yang berdiri di sampingnya tiba-tiba mendapat akal untuk menghadapi raksasa-raksasa itu.
“Maaf, Baginda! Apakah Negeri Banjit mempunyai tali rotan yang besar?” tanya Gangsa. 
Raja mengangguk. Banyak tanaman rotan tumbuh di sekitar ibu kota. Biasanya, penduduk mengambilnya untuk dijadikan perabotan. 
“Ikuti saya, Nak! Saya akan menunjukkan tempat penyimpanan tali rotan,” kata prajurit yang petang tadi menghampiri Gangsa.

Gangsa mendapat akal untuk mengikat kaki para raksasa satu sama lainnya saat mereka sibuk menangkis anak panah api. Dengan begitu, mereka tidak akan menyadari kalau kaki mereka telah diikat. Ia menjelaskan rencana itu dengan singkat kepada raja.
“Jangan nekad, Nak! Raksasa-raksasa itu akan membunuhmu bila mereka melihatmu saat mengikat kaki mereka!” Raja mencegah Gangsa sebelum ia dan prajurit pergi mengambil tali rotan. 
“Baginda tidak usah khawatir!” jawab Gangsa. Gangsa tersenyum penuh makna. Ia mengerti kekhawatiran sang Raja. Ia hanya berdoa dalam hati semoga akal yang muncul dalam pikirannya ini dapat mengatasi keadaan. Gangsa dan prajurit itu segera berlari ke tempat penyimpanan tali rotan yang tidak terlalu jauh dari tempat itu. Setelah mengambil beberapa gulung tali rotan, keduanya pun bergegas kembali ke tempat pertempuran. Untunglah, persediaan anak panah api pasukan belum habis. Para prajurit masih terus melayangkan anak-anak panah berapi kepada para raksasa. Ketika raksasa-raksasa itu masih sibuk menangkis serangan anak panah berapi, Gangsa dan prajurit mulai mengikat kaki-kaki mereka tanpa khawatir terlihat oleh para raksasa. Mereka sudah memakan masing sepotong singkong rebus ajaib. Mereka bekerja dengan cepat. Keringat bercucuran dari kening mereka. Semangat mengalahkan raksasa menghilangkan rasa lelah. 

Sementara itu, pasukan mengatur serangan agar persediaan anak panah tidak habis sebelum Gangsa selesai mengikat kaki raksasa. Mereka saling memberi isyarat ketika melepaskan anak panah berapi. Hampir satu jam Gangsa dan prajurit itu berusaha keras mengikat kaki semua raksasa. Hasilnya tidak mengecewakan. Kaki para raksasa sudah terikat satu sama lain. 

“Mereka tidak akan dapat lagi bergerak dengan bebas! Jika memaksakan diri untuk berjalan, mereka akan terjatuh,” bisik Gangsa kepada prajurit yang membantunya.

Para raksasa itu belum menyadari bahwa kaki mereka sudah terikat satu sama lain. Mereka berpikir serangan panah api itu akan segera berakhir. Mereka terlihat senang. Saat Gangsa dan prajurit menyelesaikan pekerjaannya, persediaan anak panah api pasukan juga habis. Hanya tersisa satu anak panah di busur Raja. Para raksasa masih menunggu apakah masih ada serangan. Menyadari bahwa pasukan Negeri Banjit sudah kehabisan anak panah, para raksasa itu menepuk-nepuk dada mereka. 

“Sssaaapiiiiii! Ssssaaaaaappppppppiiiiiii! Ssaapppi!” Raksasa-raksasa itu kembali mendengus. 
Mereka bersiap hendak menyerang balik para prajurit. Raja, Panglima, dan semua prajurit menunggu dengan tegang. 
“Aayyooooo!” Salah satu raksasa berseru lantang.
Ia mengajak teman-temannya menyerang serentak. Akan tetapi, ketika melangkahkan kaki, raksasa yang baru saja berseru jatuh terjengkang. Kawan-kawannya pun ikut bertumbangan karena kaki mereka tertarik. Tubuh sebagian raksasa terhimpit oleh sebagian yang lain. Mereka menjerit-jerit kesakitan dan berusaha melepaskan diri masing-masing, tetapi sia-sia. Saat itu, Gangsa dan beberapa prajurit bergegas mengikat tangan para raksasa yang kelimpungan. Raja pun melepas anak panah api terakhir ke angkasa. Seluruh prajurit bersorak gembira karena akhirnya para raksasa dapat dikalahkan. 

Para raksasa dari negeri di atas gunung hanya bisa mendengusdengus marah. Mereka tidak bisa bergerak dengan bebas lagi karena tangan dan kaki mereka sudah terikat. Sesekali mereka masih berseru, “Saappiii! Saaappiii!” Hanya itu yang dapat dilakukan oleh para raksasa itu hingga pagi menjelang. Kokok ayam hutan terdengar bersahut-sahutan, pertanda matahari pagi telah datang. Para raksasa bertambah kalut. Mereka takut terkena cahaya matahari karena dapat menyebabkan mata mereka buta. Mereka biasanya selalu berlindung di bawah pohon-pohon besar di gunung dan hanya keluar pada malam hari untuk mencari mangsa. Raksasa-raksasa itu meronta-ronta sekuat tenaga. Mereka masih berupaya melepaskan diri dari ikatan tali rotan dan himpitan tubuh kawan-kawannya. Namun, usaha mereka sia-sia saja. Gangsa dan prajurit telah mengikat kaki dan tangan mereka dengan kuat. Jika mereka makin meronta, ikatan tali itu pun terasa semakin kencang. Matahari pagi mulai memancarkan sinarnya ke bumi. Cahayanya yang terang menerpa tubuh–tubuh para raksasa yang bergelimpangan. Saat itu, gerakan para raksasa semakin lemah. Mereka sudah kehabisan tenaga. Dengusan kemarahan mereka pun semakin reda, hingga akhirnya menghilang. Para raksasa itu tidak bergerak dan tidak bersuara lagi. Mereka sudah mati. Perlahan-lahan, tubuh mereka mengeras seperti batu. Gangsa merasa lega. Raja Negeri Banjit dan seluruh pasukannya pun merasa lega. Mereka bagaikan terlepas dari beban yang mahaberat. Baginda mengangkat tangan penuh suka cita. Prajurit-prajurit bersorak riang. Mereka berhasil mengalahkan raksasa-raksasa dari negeri di atas gunung yang selama ini membawa keresahan di seluruh pelosok Negeri Banjit.

BERTEMU PUTRI MALU

Kabar kemenangan Raja Negeri Banjit dan pasukan mengalahkan para raksasa segera disampaikan kepada rakyat yang mengungsi ke Dusun Hilir. Rakyat diminta segera pulang kembali ke Ibu Kota Negeri Banjit. Gangsa menjadi tamu kehormatan kerajaan. Ia dijamu oleh Raja Negeri Banjit di istana. Sang Raja pun mengajak Gangsa menyambut kepulangan Permaisuri dan Putri Malu. Permaisuri menyalami Gangsa sambil mengucapkan terima kasih. Putri Malu yang berdiri di samping Permaisuri tersenyum. Dengan tertatih-tatih, ia mendekati Gangsa. “Terima kasih, Pangeran!” kata Putri Malu. 
Gangsa tidak tahu harus menjawab apa. Ia bukanlah seorang pangeran. Ia hanya rakyat biasa. Sang Putri sudah keliru menyapanya. Raja menghampiri Gangsa. Ia tersenyum kepada anak laki-laki kecil yang telah menyelamatkan Negeri Banjit dengan akal cerdiknya.
“Aku lupa memberitahumu, Nak!” Raja berkata kepada Gangsa. Sementara Gangsa masih kebingungan, raja sudah bertitah.
“Mohon perhatian! Saya umumkan, bahwa mulai hari ini, saya mengangkat Gangsa menjadi anak. Ia telah menjadi saudara bagi Putri Malu. Ia diberi gelar Pangeran Gangsa. Ia akan tinggal di istana bersama keluarga kerajaan,” titah sang Raja.

Seluruh orang yang berada di istana menyambut titah sang Raja dengan gembira. Demikian juga, seluruh rakyat Negeri Banjit. Memang wajar Gangsa diangkat menjadi pangeran karena ia telah menyelamatkan Negeri Banjit dari musuh yang sangat menakutkan. Gangsa pun memberi salam hormat kepada Raja dan Permaisuri. Ia juga menyalami Putri Malu. Saat mengetahui kondisi Putri Malu, Gangsa teringat air yang diberikan bibi yang dijumpainya di pinggir sungai. Ia ingin mencobakan keajaiban air itu pada sang Putri. 
“Minumlah air ini tiga teguk, Adikku! 
Mudah-mudahan kakimu kembali sembuh seperti sediakala!” Gangsa menyodorkan labu berisi air ajaib itu kepada Putri Malu. 

Tanpa ragu, sang Putri meminumnya sebanyak tiga teguk. Air yang sangat segar itu melewati tenggorokannya, menyejukkan seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan, rasa sakit di kakinya berkurang. Ia menggerakkan kakinya. Putri Malu tidak merasa kesakitan. 
“Cobalah berjalan!” Gangsa mengambil tongkat yang dipegang sang Putri. 
Putri Malu mengikuti saran Gangsa. Ia pun melangkahkan kaki kanannya, lalu kaki kirinya. Tanpa terasa, ia sudah maju sejauh lima langkah. “Ayahanda, Putri sudah sembuh! Ibunda, lihatlah!” serunya. 
Putri Malu menghampiri dan memeluk kedua orang tuanya dengan suka cita. Setelah itu, ia menghampiri Gangsa.
“Kak Gangsa! Ayo ikut denganku! Kita berikan air ini kepada para prajurit yang terluka agar mereka sembuh kembali.” Putri Malu mengajak Gangsa. 

Setelah itu, keduanya pun berlari ke luar istana. Putri Malu terlihat sudah tidak merasakan sakit di kakinya lagi. Tidak lama kemudian, mereka pun sibuk memberi minum prajurit yang cedera pada pertempuran kemarin. Setiap prajurit meminum air itu tiga teguk. Satu persatu prajurit pun sembuh. Air ajaib di dalam labu habis, tidak tersisa setetes pun.

PANGERAN GANGSA DAN PUTRI MALU

Waktu bergulir dengan cepat. Tak terasa sudah setahun Gangsa berdiam di Negeri Banjit. Ia sudah terbiasa dipanggil Pangeran Gangsa. Banyak hal telah dilakukannya bersama Putri Malu. Sejak tidak ada gangguan dari raksasa, Negeri Banjit yang makmur menjadi aman tenteram. Raja tetap memimpin negerinya dengan adil dan bijaksana. Pangeran Gangsa dan Putri Malu menjadi kakak-adik yang kompak. Keduanya baik hati dan gemar memberi pertolongan kepada sesama. Pangeran Gangsa mengajari adiknya semua jurus silat yang dikuasainya. Putri Malu rajin berlatih sehingga ia menguasai semua jurus bela diri itu, tidak kalah dari kakaknya.

Pada saat lain, Pangeran Gangsa mengajari Putri Malu membaca dan menulis. Mereka menghabiskan waktu dengan membaca semua tulisan yang terdapat pada kulit kayu. Tulisan-tulisan itu berisi hikayathikayat leluhur, tunjuk-ajar, dan cara memimpin dengan bijaksana. Sekarang Putri Malu pun sudah pandai menulis. Pangeran Gangsa dan Putri Malu sering menuliskan pengalaman dan kisah-kisah mereka sendiri pada kulit kayu yang disediakan pelayan istana untuk mereka. Kadang-kadang, muncul juga kejahilan di antara mereka. Sang kakak dan sang adik sering juga saling menggangu dan bercanda.
“Kakak Pangeran! Saya baca lagi kisah yang baru Kakak tulis, ya,” kata Putri Malu.

Tanpa menunggu jawaban, Putri Malu mulai membaca. Wajahnya tampak serius sekali. 
“Seorang anak bernama Gangsa menyampaikan akalnya kepada raja. Ia akan mengikat kaki raksasa dari negeri di atas gunung dengan tali rotan. Raja setuju. Anak itu mendekati raksasa bersama seorang prajurit. Saat keduanya mendekat, para raksasa menutup hidung. Mereka itu tidak tahan mencium bau pesing yang berasal dari arah Gangsa. Rupanya anak itu ngompol di celana. Ha ha ha!” Gangsa tersenyum masam melihat ulah adiknya. 
“Sekarang giliran Kakak yang membaca, ya Dik!” Tanpa menunggu persetujuan juga, Gangsa pun mulai membaca sambil memegang sebuah naskah kulit kayu.
“Kakinya yang terkilir membuat Putri Malu menjadi cengeng. Sebentar-sebentar ia menangis memanggil ibundanya. Ia minta disuapi bubur nasi.” Bukkk! 
Tanpa disadari Gangsa, sebuah buku dari kulit kayu yang ada di atas meja sudah melayang dan mendarat telak dipundaknya. Putri Malu kesal karena sang kakak menyebutnya cengeng. Ia memburu Gangsa dengan tongkat. Gangsa segera berlari ke arah pintu untuk menghindari pukulan Putri Malu. Ketika sampai di pintu, Gangsa bertubrukan dengan seorang prajurit. 
“Ada apa, Paman!” tanya Putri Malu. Tangannya masih memegang tongkat. Akan tetapi, rasa kesalnya sudah mereda. 
“Ada utusan dari Negeri Kasui, Putri!” “Utusan dari Negeri Kasui?” Pangeran Gangsa terkejut. “Iya. Mereka ingin bertemu dengan Pangeran.”

UTUSAN DARI NEGERI KASUI

Utusan itu datang berdua. Mereka berpakaian prajurit Negeri Kasui. Keduanya sedang diterima Raja Negeri Banjit di ruang tamu istana. Wajah mereka terlihat resah. 
“Ada apa, Paman?” tanya Gangsa kepada utusan tersebut setelah memberi hormat kepada raja dan permaisuri. 
“Kami diutus Raja Negeri Kasui untuk memintamu pulang, sesuai keinginan ibumu dan mendiang kakekmu, Pangeran!” 
“Mendiang? Apakah kakek sudah meninggal,” tanya Gangsa. 
“Kakekmu meninggal pekan lalu, Pangeran!” Tidak terasa air mata Gangsa mengalir, menetes jatuh ke lantai. Suasana menjadi sedih. Putri Malu pun terisak. Ia ikut merasakan kesedihan Gangsa, seolah-olah kakeknya sendiri yang sudah berpulang. Tidak ada yang berbicara sampai Pangeran Gangsa bertanya lagi dengan penuh kekhawatiran. “Bagaimana dengan ibundaku, Paman? Apakah beliau sehat?” Kedua utusan mengangguk. “Ibunda Pangeran dalam keadaan sehat. Ia dan Raja Negeri Kasui serta seluruh penduduk mengharapkan Pangeran segera pulang.” “Pulang?” Putri Malu menyahut sambil terisak. “Iya, Tuan Putri! Negeri kami sedang mendapat musibah. 

Sejak setengah tahun lalu, setiap tiga minggu, kawanan gajah melintasi negeri kami. Kawanan gajah itu melanda dan merobohkan rumahrumah serta merusak kebun dan perladangan. Pasukan negeri kami sudah berusaha menghalau mereka, tetapi selalu gagal. Kami mengharapkan Pangeran Gangsa dapat membantu menghalau gajah-gajah tersebut agar Negeri Kasui menjadi aman tenteram seperti sediakala.” Prajurit itu menjelaskan panjang lebar. Mendengar hal tersebut, Raja Negeri Banjit menimbang-nimbang dan akhirnya membuat keputusan yang bijaksana. “Pulanglah, Anakku Gangsa! Bantulah negerimu mengatasi masalah. Berkemaslah dan segeralah berangkat. Ayah akan siapkan seribu lima ratus prajurit untuk membantu Negeri Kasui,” titah sang Raja.

JURUS RENDAH HATI

Seperti kata pepatah, sejauh-jauhnya terbang bangau, pasti ia pulang ke kubangan jua. Sejauh-jauhnya pergi merantau, pasti ia pulang ke kampung jua. Sesampainya kembali di Negeri Kasui, Gangsa belum bisa bertemu ibunya. Ia menuju istana terlebih dahulu. Di istana, ia disambut dengan suka cita. Kemudian, Gangsa menitipkan pasukan yang dibawanya dari Negeri Banjit kepada Raja Kasui. Setelah itu, ia segera pamit untuk menemui ibunya. Gangsa tidak sabar ingin bertemu dengan ibunya yang sudah ditinggalkan selama setahun. Di Negeri Banjit, ia disenangi banyak orang. Ia bahkan menjadi anak angkat Raja Negeri Banjit dan diberi gelar pangeran. Ia hampir melupakan ibu dan kampung halamannya.
“Ibu,” kata Gangsa seraya memeluk sang ibunda. 
“Engkau sudah pulang, Gangsa!” Mak Miah segera memeluk anak semata wayangnya itu dengan perasaan gembira. 
“Ya, Bu! Maafkan saya yang meninggalkan Ibu sekian lama!” 
Setahun sejak kepergiannya dari Negeri Kasui, Gangsa nyaris lupa tujuannya meninggalkan kampung halaman, yaitu untuk belajar jurus rendah hati. Itu pesan terakhir yang diberikan mendiang kakeknya. Sekarang ia pulang tanpa berhasil mendapatkan jurus itu. Waktu pertama kali tiba di Negeri Banjit, Gangsa sudah bertanya kepada semua orang, tetapi tidak seorang pun tahu atau pernah mendengar tentang jurus rendah hati. Bahkan, Raja pun tidak. Ia telah berusaha mengetahui tentang jurus itu dari berbagai tulisan di kulit kayu yang ada di Negeri Banjit. Tidak ada satu pun tulisan-tulisan itu yang menjelaskan tentang jurus rendah hati. 

Akhirnya, Gangsa menganggap jurus itu sebenarnya tidak ada. Mungkin itu hanyalah jurus karangan kakeknya agar ia bersedia melakukan perjalanan ke Negeri Banjit. 
“Gangsa, apakah engkau sudah menguasai jurus rendah hati,” tanya Mak Miah kepada Pangeran Gangsa. Pangeran Gangsa menggeleng. Ia menunduk, takut menatap wajah ibunya yang tentu kecewa mendengar jawabannya. Akan tetapi, Mak Miah tidak kecewa. Ia malah tersenyum bijaksana. Ia mengangkat wajah Pangeran Gangsa yang tertunduk takut. 
“Teruslah belajar, Anakku! Suatu saat nanti, engkau akan menguasai jurus itu,” ujar Mak Miah lembut. Malam itu Gangsa tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan jurus rendah hati. Ia memejamkan mata, tetapi tetap tidak bisa tertidur. Bahkan, Gangsa tidak merasa mengantuk sedikitpun. Wajah kakeknya yang lembut terbayang-bayang di ruang mata. Gangsa juga teringat pesan sang kakek sebelum ia berangkat.

“Ingat, Gangsa! Tujuan utama perjalananmu adalah untuk mencari jurus rendah hati. Jangan pulang sebelum engkau menemukannya!” 

Malam itu, Pangeran Gangsa tidak bisa memejamkan mata karena ingat pesan sang kakek. Ia mulai mengingat lagi kisah perjalanannya sejak pertama kali berangkat dari Negeri Kasui. Siapa tahu, ada yang luput dari perhatiannya. Ya, siapa tahu, sebenarnya ia sudah mendapatkan jurus itu selama kepergiannya dari kampung, tapi mungkin ia tidak menyadarinya. Bukankah rasa rendah hati yang telah membuatnya bersedia menukar nasi lemang dengan singkong rebus pemilik pondok di perladangan dulu? 
Ternyata singkong rebus itu singkong ajaib. Singkong itu membuatnya dapat menghilang, sehingga ia tidak khawatir terlihat waktu mengikat kaki raksasa. Jika bukan karena rendah hati, tidak mungkin ia bersedia menukar nasi lemang enak buatan ibunya dengan dua potong singkong rebus. Bukankah rasa rendah hati juga yang telah membuatnya tidak menolak permintaan bibi di tepi sungai?
Ia bersedia menukar air nira yang manis dengan air sungai yang masih mentah karena tidak ingin melihat bibi itu kecewa. Ternyata, air itu adalah air ajaib. Gangsa terus berpikir. Dengan rendah hati, selama ini ia telah mengutamakan keinginan orang lain. Ternyata, balasan yang diterimanya lebih baik daripada benda-benda yang diikhlaskannya. Gangsa mendapatkan singkong rebus dan air ajaib atas keikhlasannya itu. Dua benda itu telah membantunya menolong Negeri Banjit. Gangsa menghadapi raksasa juga dengan sikap rendah hati. Ia tidak mengandalkan jurus-jurus silat. Ia tidak melawan raksasa berkelahi untuk memamerkan kemampuannya. Akhirnya, raksasa bisa dikalahkan hanya dengan tali rotan. Sederhana sekali bukan? Lantas ia dinobatkan menjadi seorang pangeran, sekaligus menjadi kakak angkat Putri Malu. Setahun tinggal bersama keluarga Raja Negeri Banjit, Gangsa pun pandai membawa diri. Ia disayangi keluarga Raja serta seluruh penduduk Negeri Banjit. Bukankah semua orang menyukai dirinya karena ia rendah hati? Ia tidak pernah berbuat sesuka hati walaupun sudah bergelar pangeran. Ia juga tidak pernah merasa paling kuat dan bersikap sombong, suka menindas, atau menghina orang lain. Gangsa merasa kakek telah melakukan hal yang benar dengan mengirimnya ke Negeri Banjit. 

Selama kepergiannya, sesungguhnya, ia telah mempelajari jurus rendah hati dari semua pengalamannya. Jurus itu ada dalam dirinya sendiri. Ia hanya perlu berusaha menghilangkan sifat sombong dan angkuh agar jurus bisa dikuasainya. Jurus itu telah membawanya pada banyak kemenangan dalam perjuangan hidup. Dengan jurus rendah hati, ia belajar bahwa kemenangan tidak harus diraih dengan kekerasan. Bahkan kemenangan dapat diperoleh dengan berperilaku baik, saling menghargai, dan bersikap rendah hati.

MENGHADAPI KAWANAN GAJAH

Menurut penghitungan, kawanan gajah akan melintasi Negeri Kasui sekitar seminggu lagi. Raja Negeri Kasui telah bersiap-siap dengan dua ribu prajurit karena Pangeran Gangsa membawa seribu lima ratus prajurit dari Negeri Banjit. Dengan kekuatan tersebut, ia yakin kawanan gajah akan dapat dihalau. Namun, alangkah terkejutnya Raja ketika Gangsa tidak setuju dengan rencananya. 
“Maaf, Baginda! Sebaiknya kita tidak menggunakan kekerasan untuk mengatasi masalah ini!” 
“Apa maksudmu, Pangeran Gangsa?”
“Kalau kita menghadapi hewan-hewan itu dengan kekerasan, mereka pasti makin marah. Pasti akan banyak korban berjatuhan. Akan semakin banyak prajurit kita yang terluka.”
“Lantas, bagaimana cara menghalau mereka?” tanya Raja. 
“Baginda, bukankah gajah-gajah tersebut melintasi Negeri Kasui sejak enam bulan terakhir? 
Saya rasa, daerah perladangan yang baru itu adalah jalur perlintasan mereka. Ketika jalur itu dijadikan perladangan, mereka menerobos perkampungan penduduk.” “Lantas, apa yang harus kita lakukan?” tanya Raja. 
“Ampun, Baginda! Menurut hemat hamba, sebaiknya, daerah perladangan baru itu ditutup kembali. Penduduk dapat membuka perladangan di tempat yang lain.” Gangsa menjelaskan pendapatnya. 
Raja menimbang-nimbang. Kemudian ia menggeleng. 
“Tidak, Pangeran! Tanaman di perladangan itu sedang tumbuh subur. Kita hadapi saja gajah-gajah itu dengan dua ribu pasukan!” Raja memutuskan untuk tetap menghalau kawanan gajah itu. Ia yakin akan akan berhasil karena jumlah pasukan sangat banyak. Gajah-gajah itu pasti akan lari ketakuatan. 
“Panglima, segera persiapkan dua ribu pasukan untuk menghalau kawanan gajah!” perintah Raja pada Panglima. 
Belum sempat Panglima menjawab, Gangsa sudah menimpali. “Bukan dua ribu pasukan, Baginda! 
Seribu lima ratus pasukan Negeri Banjit akan segera saya kirim pulang.” Raja sangat terperanjat. “Engkau tidak bisa mengirim mereka pulang,” katanya ketus. “Tentu saja bisa, Baginda!” Gangsa berkata tegas. Raja menyadari bahwa dengan sisa pasukan lima ratus prajurit, akan sulit bagi mereka untuk dapat menghalau kawanan gajah. Raja berpikir sejenak. Akhirnya, ia mengalah dan mengikuti saran Pangeran Gangsa. Raja pun memerintahkan agar penduduk menutup daerah perladangan baru itu dan mencari tempat berladang lain. Seminggu kemudian, perkataan Gangsa terbukti. Tidak ada lagi kawanan gajah yang menerobos Negeri Kasui. Negeri Kasui pun menjadi aman tenteram seperti sediakala. “Itulah kehebatan jurus rendah hati. Segala permasalahan dapat diselesaikan dengan cara yang baik, tidak perlu dengan kekerasan.” Gangsa berguman. 

Akhirnya, ia menyadari bahwa ia telah menemukan hikmah dari pesan mendiang kakeknya. Jurus rendah hati hanya perlu ditanamnya dalam diri dan dipraktikkan dalam kehidupan.

EPILOG

Waktu terus bergulir. Kehidupan pun terus berjalan di Negeri Kasui dan Negeri Banjit. Pangeran Muda Gangsa telah diangkat menjadi Putra Mahkota Negeri Kasui karena sang Raja tidak mempunyai keturunan. Kelak, Gangsalah yang akan menjadi Raja Negeri Kasui. Hubungan Gangsa dan Putri Malu tetap terjalin layaknya kakakadik hingga mereka dewasa. Ketika Raja Negeri Kasui meninggal, Putra Mahkota Gangsa diangkat menjadi raja yang baru. Sementara itu, Putri Malu pun dinobatkan menjadi ratu karena Raja Negeri Banjit tidak memiliki seorang anak laki-laki. Hubungan kedua negeri terjalin akrab hingga ke anak-cucu. Raja Gangsa dan Ratu Putri Malu serta seluruh penduduk kedua negeri saling membantu jika menghadapi berbagai masalah.

Selesai

Post a Comment for "Kumpulan Cerpen Lampung Tentang Raja Gangsa dan Putri Malu Karya Sarippudin"