Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

[HIKAYAT CIREBON] BERDIRINYA KESULTANAN KASEPUHAN DAN KANOMAN

Berdirinya Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman

Ketelair Indonesia_ Berdasar naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah pedukuhan kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. Hatta, lama_kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), kaharena di sana bercampur baur lah para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian nan berbeda-beda dibuat bertempat tinggal dan berdagang.

Mengingat pada awalnya sebahagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembang pula lah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai_rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.

Dengan dukungan pelabuhan hilir mudik yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman melimpah, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa, baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bahagian dunia lainnya. Hatta, Cirebon pun tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

Awal Mula Ki Gedeng Tapa Bermukim
Ki Gedeng Tapa atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati ia lah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang, gelagah dan jati_jati yang berjulur_julur dikulitnya. Hatta, ia pun membangun sebuah bedeng gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulai lah para pendatang  menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.

Ki Gedeng Alang-Alang
Hatta, Kuwu atau kepala desa Caruban nagari yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu ialah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain ialah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)

Pangeran Cakrabuana (…. –1479)
Pangeran Cakrabuana ialah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama Subanglarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya ialah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang atau Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.

Hatta, Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak pula mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran itu. Hal ini disebabkan oleh karana ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang _ibunya itu), sementara saat itu abad 16 ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan yaitu agama leluhur orang Sunda, Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.

Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan dikemudian ia mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Sesudahnya walangsungsang pun mendapat amanat dari Syekh Nurjati untuk meneruskan Pengguron Tharekatnya di Pasambangan Gunung jati . Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon ialah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai “raja” Cirebon pertama yang memerintahkan dari keraton Pakungwati dan di situ pula lah menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Cirebon berkembang.

Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.

Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulai ialah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja_raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadi ialah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam di Caruban nagari. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.

Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karana ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

denah komplek pemakaman Gunung Sembung

Panembahan Ratu 1 (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, tahta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.

Panembahan Ratu 2 (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Maka, Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.

Hatta, Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.

Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makomnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makom Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makom Sultan Agung di Imogiri.

Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunojoyo, yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa kembali ke Cirebon untuk kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon.

Perpecahan awal (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
  1. Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
  2. Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
  3. Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri.

Pada Masa Sultan Kanoman I beliau mempunyai putra mahkota Pangeran Raja Adipati Kaprabon yang sekarang disebut sebagai kaprabonan meneruskan Ilmu-Ilmu Agama Islam Khususnya di bidang Tharekat Penerus Pengguron Tharekat Agama Islam , yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, Pada masa Pangeran Adikusuma Adiningrat dan putranya Pangeran Angkawijaya dan Pangeran Moch Appiah adikusuma II, Pengguron Tharekat berkembang menjadi 4 pengguron sekarang.dimana seorang sultan pada waktu itu akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.

Perpecahan kedua (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.

Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).

Masa Kolonial dan Masa Kemerdekaan
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surut pula lah peranan dari keraton_keraton Kesultanan Cirebon di wilayah_wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun_tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.

Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing_masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.

Paska Kemerdekaan
Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan namun masih tetap dalam pengembangan agama islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan.

Sejarah Kasultanan Cirebon
Syarif Hidayatullah atau yang sering disebut dengan Sunan Gunung Jati merupakan salah satu anggota Wali Songo; penyebar agama Islam di Jawa di era Majapahit akhir. Dia adalah seorang raja (pemimpin rakyat), sekaligus wali (pemimpin spiritual, muballigh, da’i) dan sufi, dialah penerus dari KH abdul Imam Mbah Kuwu Cerbon Pangeran Cakrabuwana yang mengukuhkan berdirinya Negara kesultanan Cirebon.

Syarif Hidayatullah adalah Putra dari Maulana Syarif Abdillah, penguasa kota Isma’iliyah Mesir Bangsa Arab –bukan dari Aceh. Dia juga bukan Fatahillah atau Faletehan seperti yang disebut-sebut dalam sebagian catatan sejarah. Faktanya adalah terdapat makam Fatahillah (Ki Bagus Pasai) di sisi makam Sunan Gunung Jati. Lagipula, Sunan Gunung Jati hidup di era Raden Patah, Sultan Demak pertama. Sedangkan Fatahillah datang dari Aceh pada masa pemerintahan Sultan Trenggana, sultan Demak ke-3 setelah Dipati Unus.

Permulaan abad XV agama Islam sudah berkembang di Jawa, terutama di Gresik, Jawa Timur dengan Maulana Malik Ibrahim -anggota sekaligus sesepuh Wali Songo- yang membuka pesantren bagi siapa saja yang berminat belajar Islam. Para santri datang dari berbagai penjuru, dan hanya sedikit yang datang dari Jawa Barat. Saat itu, Jawa Barat di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang Hindu, termasuk Gunung Jati yang masuk wilayah administratif Singapura (Celancang), bawahan Pajajaran Gunung Jati yang terletak di tepi pelabuhan Muara Jati sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang dari manca negara. Penguasa negerinya sangat bijaksana, adalah Ki Gede Surawijaya dengan syahbandar bernama Ki Gede Tapa atau Ki Jumajan Jati yang juga santri di Pengguron Islam Syekh Quro’ Krawang. Pedagang banyak yang datang dari Cina, Gujarat (barat India), dan Arab yang berdagang sambil berdakwah Islam. Lambat-laun, terjadi evolusi perubahan agama dari Budha ke Islam.

Sekitar tahun 1420M datanglah serombongan pedagang dari Baghdad yang dipimpin Syekh Idlofi Mahdi. Oleh Ki Surawijaya, Syekh Idlofi diijinkan menetap dan tinggal di kampung Pasambangan yang terletak di Gunung Jati. Dia berdakwah, dan ajaran Islam berkembang begitu cepat. Itulah awal mula Gunung Jati sebagai Pangguron Islam. Muridnya diantaranya adalah Raden Walangsungsang dan adiknya, Ratu Rarasantang, serta istrinya Nyi Endang Geulis. Keduanya adalah putra Raja Pajajaran, Raden Pamanarasa (Prabu Siliwangi) dengan Nyi Mas Subanglarang putri Ki Jumajan Jati, Syahbandar Pelabuhan Muara Jati. Karena pengaruhnya yang sangat besar bagi masyarakat sekitar, Syekh Idlofi juga disebut Syekh Dzatul Kahfi (“sesepuh yang mendiami gua”) atau Syekh Nur Jati (“sesepuh yang menyinari atau menyiarkan Gunung Jati”).

Setelah dianggap mumpuni, Walangsungsang bersama adik dan istrinya diperintahkan oleh Syekh Idlofi agar membuka hutan untuk dijadikan pedukuhan yang lokasinya di selatan Gunung Jati Setelah selesai babat alas, pedukuhan itu disebut Tegal Alang-Alang.Raden Walangsungsang sebagai penerus pengguronislam diangkat sebagai Kepala Dukuh dengan gelar Ki Kuwu dan dijuluki Pangeran Cakrabuana.

Pedukuhan itu berkembang pesat. Banyak pedagang membuka pasar dan kemudian menetap di pedukuhan itu. Karena multi ras, maka nama Tegal Alang-Alang lambat-laun luntur menjadi Caruban (pertautan). Di samping itu, nama ini disebabkan karena sebagian besar warganya bekerja sebagai pencari ikan dan mmebuat petis dari air udang yang dalam bahasa Sunda disebut “Cai Rebon”, maka lama-lama menjadi Cirebon.

Atas perintah Syekh Nurjati, Cakrabuana dan Rarasantang pergi ibadah haji, sementara istrinya yang lagi mengandung tetap di Caruban. Pedukuhan kemudian diserahkan ke Ki Pengalang-Alang (Ki danusela). Di Mekkah, keduanya bermukim beberapa bulan di rumah Syekh Bayanillah. Rarasantang kemudian disunting oleh seorang pembesar Kota Isma’iliyah bernama Syarif Abdillah bin Nurul Alim dari suku Bani Hasyim. Rarasantang kemudian berganti nama Syarifah Muda’im. Dari perkawinan ini lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah

Sekitar tahun 1456 M, Cakrabuana pulang kampung. Pedukuhan Caruban yang berkembang pesat kemudian diganti namanya menjadi Nagari Caruban Larang. Negeri ini diresmikan oleh Prabu Siliwangi -meskipun secara prinsip Raja Pajajaran ini kurang berkenan atas tindakan anaknya tersebut- dan Cakrabuana diberinya gelar “Sri Manggana“. Cakrabuana lalu membangun Istana Pakungwati, sesuai nama puterinya yang lahir ketika dia masih di Mekkah.

Untuk kunjungan tetapnya ke Syekh Nurjatii, Cakrabuana membangun tempat peristirahatan yang disebut pertamanan Gunung Sembung. Lokasinya berada di sebelah barat Gunung Jati, jaraknya sekitar 200m. Pada akhirnya pertamanan ini menjadi pemakaman pendirinya berikut keturunannya.

Syarifah Muda’im dan Syarif Hidayatullah -yang saat itu berusia 20 tahun- mudik ke Cirebon, sementara Syarif Nurullah sang adik, menggantikan posisi ayahnya sebagai pembesar Kota Isma’iliyah. Sekitar tahun 1475 M mereka tiba di Caruban. Oleh Cakrabuana, keduanya diperkenankan menetap di pertamanan Gunung Sembung, sekaligus sebagai penerus Pangguron Islam Gunung Jati yang saat itu Syekh Idlofi/Syekh Nurjatisudah wafat.Pangeran Cakrabuana kemudian menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Nyi Ratu Pakungwati. Tahun 1479M, Cakrabuana yang sudah berusia lanjut digantikan oleh keponakan sekaligus menantunya yaitu Syaikh Syarif Hidayatullah dinobatkan menjadi Panetep Agama dan Kepala Negara, Syaikh Syarief Hidayatullah Bergelar Susuhunan Jati Cirebon menjadi kepala negara sekaligus menjadi penetap Panata Agama di Cirebon, dan bergelar:” Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panata Agama Awliyai Allah Kutubid Khalifatur Rasulullah SAW

Di awal pemerintahannya, Syarif Hidayatullah sowan ke kakeknya, Prabu Siliwangi sekaligus mengajak untuk memeluk agama Islam Kembali. Namun, Sang Prabu menolak, tapi tetap mengijinkan cucunya untuk menyebarkan Islam di wilayah Pajajaran. Dia kemudian mengembara ke Banten. Di sana, dia disambut dengan baik, bahkan dinikahkan dengan putri Adipati Banten, Nyi Ratu Kawungaten. Dari pernikahan ini lahirlah Nyi Ratu Winaon dan Pangerang Sabakingking.

Peran dakwah Syarif Hidayatullah didengar sampai di Kerajaan Demak yang baru berdiri 1478M. Dia kemudian diundang ke Demak dan ditetapkan sebagai “Penetap Panata Gama Rasul” di tanah Pasundan dengan gelar Sunan Gunung Jati, sekaligus berdirilah Kesultanan Pakungwati dengan gelar Sultan. Karena merasa mendapatkan dukungan dari Demak, Cirebon tidak lagi mau membayar upeti -sebagai bukti ketundukan- pada Pajajaran. Marahlah Prabu Siliwangi. Dikirimlah 60 pasukan di bawah pimpinan Tumenggung Jagabaya untuk menangkap cucunya. Tapi usaha ini sia-sia. Pasukan Pajajaran itu berhasil dilumpuhkan oleh Cirebon. Mereka menyerah bahkan bergabung dengan Cirebon. Wilayah Cirebon semakin luas. Negeri-negeri yang sebelumnya di bawah Pajajaran seperti Surantaka, Japura, Wanagiri, Galuh, Talaga dan Singapura melebur bergabung dalam kedaulatan Cirebon.

Pembauran multi ras terjadi di Cirebon. Kakak Ki Gede Tapa (Ki Jumajan Jati) -kakek Sunan Gunung Jati, Nyi Rara Rudra menikah dengan saudagar Tiongkok/Cina, Ma Huang yang kemudian bergelar Ki Dampu Awang. Oleh Kaisar Tiongkok, Sunan Gunung Jati dijadikan menantu dinikahkan dengan Ong Tien (1481M), yang kemudian ganti menjadi Nyi Ratu Rara Sumanding. Pernikahan ini dilakukan setahun setelah Mesjid Agung Sang Ciptarasa dibangun (1480M).

Malaka diduduki Portugis pada tahun 1511M. Kerajaan Demak mengirim pasukan yang dipimpin Dipati Unus (Pangeran Sabrang Lor) dengan dibantu oleh negeri-negeri sahabat. Cirebon bertugas mempertahankan Sunda Kelapa (Jayakarta). Pasukan Demak bisa dipukul mundur. Mereka balik ke Jawa. Di antara rombongan tersebut, terseliplah Kyai Fathullah atau Fatahillah atau Feletehan, ulama dari Aceh. Pasca Dipati Unus gugur 1521M, Demak dipegang oleh Sultan Trenggono. Fatahillah diangkat sebagai panglima pasukan Demak untuk mempertahankan Sunda Kelapa.

Dengan dibantu pasukan Cirebon, Fatahillah mampu memukul mundur Pajajaran yang berkolaborasi dengan Portugis. Mereka bisa diusir dari Sunda Kelapa di tahun 1522M. Banten di bawah kendali Pangeran Sabakingking, putra Sunan Gunung Jati juga memberikan dukungan yang hebat. Karena keberhasilan Fatahillah dalam memimpin Sunda Kelapa, maka ia juga disebut Kyai Bagus Pasai. Hanya beberapa bulan saja, Fatahillah kemudian kembali ke Cirebon -alasan utamanya adalah ditunjuk oleh Sunan Gunung Jati dalam rangka memperluas wilayah Isllam ke negeri-negeri sekitar Cirebon (seperti: talaga, Rajagaluh). Padat saat yang bersamaan, Sunan Gunung Jati menikah lagi dengan Nyi Ageng Tepasari putri Ki Ageng Tepasan, seorang mantan pembesar Majapahit. Hal ini karena Nyi Pakungwati meninggal -tidak punya anak- dan Nyi Ong Tien juga tidak dikaruniai anak. Dari perkawinan ini lahirlah Ratu Wulung Ayu dan Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean) yang kelak akan menggantikannya.

Selesai penaklukan negeri sekitar, Fatahillah menikah dengan putri Sunan Gunung Jati, Ratu Wulung Ayu. Bupati Jayakarta diserahkan ke Ki Bagus Angke. Pangeran Pasarean naik menggantikan Sunan Gunung Jati menjadi Sultan ke-2 Cirebon dengan penasehat politiknya, Fatahillah. Pangeran Sabakingking dinobatkan sebagai Sultan Banten pertama dengan gelar Sultan Maulana Hasanuddin. Tahun 1552M,.kemudian setelah pangeran pesarean wafat diteruskan Pangeran Suwarga yang manjadi Adipati Cirebon bergelar Pangeran Pakungja atau Pangeran Sedang Kemuning Sultan ke-3 Cirebon dengan gelar Dipati Cirebon

I. Menikah dengan Nyi Ratu Wanawati putri Fatahillah.
Tahun 1568M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun. Dua tahun kemudian Fatahillah menyusul. Keduanya dimakamkam secara berdampingan dan tidak diperantarai apapun. Ini menjadi bukti bahwa kedua tokoh tersebut memanglah beda. Pada masa pemerintahan Sultan ke-VI Pangeran Karim (Panembahan Girilaya), Mataram yang sudah pro-VOC (Sunan Amangkurat I) mengundang menantunya itu untuk datang ke Mataram. Bersama istri dan kedua anaknya -kecuali Pangeran Wangsakerta- hadir ke Mataram. Karena kecurigaan Mataram, keempatnya ditahan untuk tidak kembali ke Cirebon.

Panembahan Girilaya meninggal dan dimakamkan di Bukit Wonogiri (1667M), sedang kedua putranya pulang ke Cirebon. Atas kebijakan Sultan Banten, An-Nasr Abdul Kohar, agar tidak terjadi pertumpahan darah, maka dipecahlah Cirebon menjadi tiga bagian; Kasepuhan dipegang Pangeran Martawijaya yang kemudian bergelar Sultan Raja Syamsudin, Kanoman dipegang Pangeran Kertawijaya bergelar Sultan Moh. Badridin, dan Pangeran Wangsakerta diberi bagian Kacirebonan dengan gelar Panembahan Tohpati. Peristiwa ini terjadi di tahun 1667M. Sesuai kesepakatan, hanya Kasepuhan dan Kanoman yang memakai gelar Sultan. Adapun Kaprabonan adalah pengguron thareqat ,Pangeran Raja Adipati Kaprabon, adalah putra sulung dari sultan Kanoman I, yang lebih memilih kepeduliannya terhadap bidang Thareqat Agama Islam ketimbang ke pemerintahan.

Berikut adalah silsilah raja-raja Cirebon:

SILSILAH SULTAN KERATON KASEPUHAN
Sunan Gunung Jati Syech Hidayahtullah ,Pangeran Pasarean Muhammad Tajul Arifin ,Pangeran Dipati Carbon,Panembahan Ratu,Pangeran Mande gayam ,Dipati Carbon,Panembahan Girilaya.

Para Sultan :
  1. Sultan Raja Syamsudin
  2. Sultan Raja Tajularipin Jamaludin
  3. Sultan Sepuh Raja Jaenudin
  4. Sultan Sepuh Raja Suna Moh Jaenudin
  5. Sultan Sepuh Safidin Matangaji
  6. Sultan Sepuh Hasanudin
  7. Sultan Sepuh I
  8. Sultan Sepuh Raja Samsudin I
  9. Sultan Sepuh Raja Samsudin II
  10. Sultan Sepuh Raja Ningrat
  11. Sultan Sepuh Jamaludin Aluda
  12. Sultan Sepuh Raja Rajaningrat
  13. Sultan Pangeran Raja Adipati H. Maulana Pakuningrat, SH
  14. Sultan Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat SE
SILSILAH SULTAN KERATON KANOMAN
Sunan Gunung Jati Syech Syarif Hidayahtullah ,Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin, Panembahan Sedang Kemuning, Panembahan Ratu Cirebon, Panembahan Mande Gayem, Di pati carbon,Panembahan Girilaya.

Para Sultan :
  1. Sultan Kanoman I (Sultan Badridin)
  2. Sultan Kanoman II ( Sultan Muhamamad Chadirudin)
  3. Sultan Kanoman III (Sultan Muhamamad Alimudin)
  4. Sultan Kanoman IV (Sultan Muhamamad Chadirudin)
  5. Sultan Kanoman V (Sultan Muhamamad Imammudin)
  6. Sultan Kanoman VI (Sultan Muhamamad Kamaroedin I)
  7. Sultan Kanoman VII (Sultan Muhamamad Kamaroedin )
  8. Sultan Kanoman VIII (Sultan Muhamamad Dulkarnaen)
  9. Sultan Kanoman IX (Sultan Muhamamad Nurbuat)
  10. Sultan Kanoman X (Sultan Muhamamad Nurus)
  11. Sultan Kanoman XI (Sultan H Muhamamad Jalalludin)
  12. Sultan Kanoman XII ( Sultan H Ir.Muhammad Saladin )
SILSILAH KERATON KACIREBONAN
Sunan Gunung Jati Syech Syarif Hidayahtullah Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin, Panembahan Sedang Kemuning, Panembahan Ratu Cirebon, Panembahan Mande Gayem, Di pati carbon, Panembahan Girilaya.

Para Sultan :
  1. Sultan Anom Raja Mandurareja Kanoman
  2. Pangeran Raja Hidayat Raja Madenda
  3. Pangeran Raja DendaWijaya Raja Madenda
  4. Pangeran Partaningrat Raja Madenda
  5. Pangeran Raharjadireja
  6. Pangeran Sidek Arjadiningrat
  7. Pangeran Harkat Nata Diningrat
  8. Pangeran Moh Mulyono Amir Natadiningrat .
  9. Pangeran Abdulgani Natadiningrat SE
RAMA GURU-GURU PENGGURON CIREBON AWAL HINGGA SAAT INI.
Syekh Nurjati , K.H. Abdul Imam P.Cakrabuwana,Sunan Gunung Jati Syech SyarifHidayahtullah, Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin, Panembahan Sedang Kemuning, Panembahan Ratu Cirebon, Panembahan Mande Gayem, Di pati carbon, Panembahan Girilaya.

Sultan Kanoman I (Sultan Moch Badridin).
PANGERAN RAJA ADIPATI KAPRABON
PANGERAN KUSUMAWANINGYUN I
PANGERAN BRATANINGRAT I
PANGERAN RAJA SULEMAN SULENDRANINGRAT
PANGERAN ARIFUDIN KUSUMABRATAWIREJA
PANGERAN ADIKUSUMA ADININGRAT

berputra:
PANGERAN ANGKAWIJAYA DAN PANGERAN MUHAMMAD APIAH ADIKUSUMA II

A.PANGERAN ANGKAWIJAYA 
Mempunyai putra diberi nama belakang Raja Kaprabon.
  1. P.Aruman Raja Kaparbon
  2. P.Herman Raja Kaprabon
B.PANGERAN MUHAMMAD APIAH ADIKUSUMA II 
Mempunyai 4 Putra yang Meneruskan sebagai Rama Guru /Syekhuna:
  1. P.Kamil adikusuma> 1.P.Harun Adikusuma(Pengguron Kaprabonan Kulon)
  2. P.Masoloen Sulendrakusuma>2.P.Sunaryo Sulendrakusuma(Pengguron Tradisionil Wetan)
  3. P.M.Arifudin Purbaningrat> 3.P.M.Nurbuwat Purbaningrat(Pengguron Pegajahan Thareqot Agama Islam)
  4. P.Sulaeman Sulendraningrat> 4.P.apiyah sulendraningrat(Pengguron Krapyak kaprabonan) (Sumber Babad Cirebon)
Hal-hal unik tentang pemakaman Gunung Sembung ini adalah; Pertama, pemakaman tersebut dibagi dalam 9 pintu untuk menuju makam Sunan Gunung Jati di bagian tertinggi. Masyarakat awam dengan alasan keamanan hanya diperbolehkan ziarah sampai di depan pintu ke_3. Kedua, untuk penziarah Tionghoa, disediakan ruangan khusus bagian barat serambi muka.

Ketiga, tiga kali seminggu makam-makam tersebut dibersihkan dan diperbarui bung-bunganya oleh para juru kuncen. Secara rutin pintu Selamatangkep (pintu ke_2) yang membuka pemandangan ke cungkup makam Sunan Gunung Jati dibuka setiap Jum’at. Dan juga dibuka setiap pergantian petugas pada sore hari setiap setengah bulan. Pada saat terbukanya pintu inilah yang biasanya dimanfaatkan oleh pengunjung umum untuk bisa melihat makam Sunan Gunung Jati.

Keempat, juru kuncen makam berjumlah 108 orang yang berprofesi secara turun-temurun. Mereka berasal dari Keling (Kalingga) kira_kira Kediri, Jawa Timur saat ini.

Berikut keterangan denah komplek pemakaman Gunung Sembung:
1. Sunan Gunung Jati, 2. Fatahillah, 3. Syarifah Muda’im, 4.Nyi Gedeng Sembung (Nyi Qurausyin), 5. Nyi Mas Tepasari, 6. Pangeran Cakrabuana, 7. Nyi Ong Tien, 8. Dipati Cirebon I, …9. Pangeran Jakalelana, 10. Pangeran Pasarean, 11. Ratu MAs Nyawa, 12. Pangeran Sedang Lemper, 13. Komplek Sultan Panembahan Ratu, 14. Adipati Keling, 15. Komplek Pangeran Sindang Garuda, 16. Sultan Raja Syamsudin (Sultan Sepuh I), 17. Ki Gede Bungko, 18. Komplek Adipati Anom Carbon (Pangeran Mas), 19. Komplek Sultan Moh. Badridin, 20. Komplek Sultan Jamaludin, 21. Komplek Nyi Mas Rarakerta, 22. Komplek Sultan Moh. Komarudin, 23. Komplek Panembahan Anom Ratu Sesangkan, 24. Adipati Awangga (Aria Kamuning), 25. Komplek Sultan Mandurareja, 26. Komplek Sultan Moh. Tajul Arifin, 27. Komplek Sultan Nurbuwat, 28. Komplek Sultan Sena Moh. Jamiudin, 29. Komplek Sultan Saifudin Matangaji

PINTU SEMBILAN:
I. Pintu Gapura, 
II. Pintu Krapyak, 
III. Pintu Pasujudan, 
IV. Pintu Pasujudan, 
IV. Pintu Ratnakomala, 
V. Pintu Jinem, 
VI. Pintu Raraoga, 
VII. Pintu Kaca, 
VIII. Pintu Bacem, 
IX. Pintu Teratai

Demikianlah hikayat Cirebon yang penulis ambil dari sumber Babad Cirebon, semoga bermanfaat.

Post a Comment for "[HIKAYAT CIREBON] BERDIRINYA KESULTANAN KASEPUHAN DAN KANOMAN "