Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERPEN SIRKUS

area sirkus

SIRKUS

Ketelair Indonesia_  Rombongan sirkus itu muncul ke kota kami….
Gempita tetabuhan yang menandai kedatangan mereka membuat kami–anak-anak yang lagi asyik bermain jet-skateboard–langsung menghambur menuju gerbang kota. Rombongan sirkus itu muncul dari balik cakrawala. Debu mengepul ketika roda-roda kereta karnaval berderak menuju kota kami. Dari kejauhan panji-panji warna-warni terlihat meliuk-liuk mengikuti musik yang membahana. Dan kami berteriak-teriak gembira, “Sirkus! Sirkus! Horeee!!!”

Sungguh beruntung kami bisa melihat rombongan sirkus itu. Mereka seperti nasib baik yang tak bisa diduga atau diharap-harapkan kedatangannya. Rombongan sirkus itu akan datang ke satu kota bila memang mereka ingin datang, menggelar pertunjukan semalam, kemudian segera melanjutkan perjalanan. Rombongan sirkus itu layaknya kafilah pengembara yang terus-menerus mengelilingi dunia, melintasi benua demi benua, menyeberangi lautan dan hutan-hutan, menembus waktu entah sejak kapan.

Kisah-kisah ajaib tentang mereka sering kami dengar, serupa dongeng yang melambungkan fantasi kami. Banyak yang percaya, sirkus itu ada sejak mula sabda. Merekalah arak-arakan sirkus pertama yang mengiringi perjalanan Adam dan Eva dari firdaus ke dunia. Mereka legenda yang terus hidup dari zaman ke zaman. Ada yang percaya. Ada yang tidak. Karena memang tak setiap orang pernah melihatnya. Sirkus itu tak akan mungkin kau temukan meskipun kau telah tanpa lelah terus memburunya hingga seluruh ceruk semesta. Bukan kau yang berhasil menemukan rombongan sirkus itu. Tapi merekalah yang mendatangimu. Dan itulah keberuntungan. Merekalah sirkus gaib berkereta nasib. Kau hanya dapat berharap diberkahi bintang terang untuk bisa melihatnya. Banyak orang hanya bisa mendengar gema gempita suara kedatangan mereka melintasi kota, tapi tak bisa melihat wujudnya. Orang-orang yang tak diberkati keberuntungan itu hanya mendengar suara arak-arakan mengapung di udara yang makin lama makin sayup menjauh….

Beruntunglah siapa pun yang dikaruniai kesempatan menyaksikan bermacam atraksi dan keajaiban sirkus itu. Menyaksikan para hobbit bermain bola api melintasi tali, centaur dan minotour, mumi Tutankhamun yang akan meramal nasibmu dengan kartu tarot; peri, Orc, Gollum, unta yang berjalan menembus lubang jarum; mambang, kadal terbang Kuehneosaurus – bermacam makhluk yang kau kira hanya bisa kau temui dalam dongeng.

Kami belum pernah melihat sirkus itu. Tapi kami yakin kalau yang muncul dari balik cakrawala itu memang rombongan sirkus yang melegenda itu. Kami bisa mengenali dari riang rampak rebana dan lengking nafiri yang menyertai kemunculannya. Gempita tetabuhan itu bagai muncul dari kenangan kami yang paling purba.

Rasanya, di kota kami, hanya satu orang yang pernah melihat sirkus itu. Peter Tua yang tak henti bercerita, bagaimana lima tahun lalu ketika ia berada di New Orleans– sehari setelah kota itu dilanda badai Katrina untuk kesekian kalinya–ia menyaksikan rombongan sirkus itu muncul dan waktu seperti beringsut mundur: mendadak semua benda porak-poranda yang dilintasi rombongan sirkus itu langsung untuk kembali. Reruntuh puing rumah perlahan saling rekat, gedung-gedung yang roboh kembali tegak, debu lengket pada dinding, lumpur surut ke sungai, kaca-kaca pecah jadi utuh seperti sediakala. Peter Tua selalu menceritakan peristiwa itu dengan mata menyala- nyala.

Dan kini, betapa beruntungnya, rombongan sirkus itu singgah di kota kami.

***
SEKETIKA, kami–seluruh warga Oklahoma–berjajar sepanjang jalan mengelu-elukan rombongan sirkus yang bergerak pelan memasuki kota. Kami menyaksikan selusin kurcaci menari-nari di atas kereta karavan, singa berambut api yang rebahan setengah mengantuk di kandang. Dan itu…, lihat! Dumbledore! Memakai jubah dan topi penyihir warna ungu gemerlapan, berkacamata bulan separuh, tersenyum melambai- lambaikan tangan. Konfeti serangga mendadak berhamburan. Semua orang bersorak riang. Karnaval keajaiban terus mengalir. Badut-badut. Penari ular. Putri duyung berkalung mutiara air mata. Astaga, kami bahkan menyaksikan Hippogriff, unicorn, Aragog, burung phoenix yang lahir kembali dari abu tubuhnya, beberapa ekor pixie mungil, Dementor yang telah dijinakkan, serimbun perdu wolfsbane yang terus melolong–lolong, bola Bludger, sapu terbang Nimbus–semua yang bertahun lampau hanya bisa dibaca di buku cerita klasik Harry Potter.

Kemudian kami melihat raksasa troll berkepala empat, yang tiap kepala menghadap ke satu penjuru mata angin, beruar-uar sambil memukuli canang, “Saksikan! Keajaiban manusia terbang! Grrhhhhh Terbang! Manusia terbang! Manusia terbang! Saksikan!

Grrhhhh…. “
Kami bersorak. Kami bersorai.

***

INILAH malam paling menakjubkan dalam hidup kami yang fana. Kami memenuhi tenda raksasa, yang sepertinya tiba-tiba sudah berdiri begitu saja di tengah kota. Keriangan mengalir seperti cahaya yang menjelma sungai fantasi. Bermacam akrobat atraksi pertunjukan membuat kami seperti tersihir, seakan-akan kebahagiaan ini tak akan pernah berakhir. Lima kuda sembrani berputaran. Kembang api naga. Kungfu pisau terbang. Bayi bersayap jelita. Kami begitu diluapi ketakjuban dan berharap semoga semua keajaiban yang kami saksikan tak akan pernah berakhir, ketika seorang gipsi tua tukang cerita muncul ke tengah arena.

“Saya akan menghantar Anda ke pertunjukan utama. Keajaiban yang kalian nanti- nantikan. Tapi, terlebih dulu, izinkan hamba bercerita.”

Ia merentangkan tangan, hingga semua terdiam.

“Dari zaman ke zaman sirkus kami memperlihatkan bermacam keajaiban, yang hamba harap, bisa memberi sedikit pencerahan. Apalah guna keajaiban, bila semua itu tidak membuat Anda jadi makin menyadari betapa mulia dan berharganya hidup ini. Seperti yang terjadi pada manusia terbang ini. Kami menemukannya bertahun lalu, selepas melintas Samudra Hindia. Kami tiba di Flores, Nusa Tenggara. Dan kami melihatnya, makhluk-makhluk malang itu! Melayang-layang di antara reruncing stalaktit gua kapur Liang Bua. Kami mula-mula menduga, itu kalong raksasa.” Gipsi tua itu sejenak menarik nafas dalam-dalam, sampai kemudian ia menghembuskannya sembari berteriak, “Ternyata manusia!”

“Aku tahu!” seorang penonton berteriak memotong, “Itu pasti Homo Floresiensis.”

Gipsi tua itu tersenyum sabar, “Ini spesies Homo sapiens yang lebih modern. Kita tahu, sampai saat ini tak ada satu manusia modern pun yang bisa terbang. Kecuali dengan bantuan mesin. Namun, kali ini Anda akan menyaksikan sendiri manusia- manusia yang bisa terbang melayang-layang!! Selamat menyaksikan “

Musik membahana. Cahaya tumpah ke arena. Dari kotak-kotak yang mulai terbuka perlahan bermunculan tubuh-tubuh yang begitu ringan, seperti ular keluar dari keranjang. Tubuh-tubuh itu melenting ringan, mengapung mengambang seperti balon gas yang membumbung. Di pinggang mereka ada sabuk berkait yang diikat sejuntai tali, di mana masing-masing tali itu dipegangi satu orang kate bertopi kerucut. Sesekali ada yang membumbung sampai nempel di langit-langit tenda, dan segera orang kate yang memegangi tali itu menariknya turun. Orang-orang kate itu berlarian berputar- putar, persis kanak-kanak yang gembira dengan balon warna-warni di tangan mereka.

“Kami terpaksa mengikat mereka. Bila tidak, mereka akan membumbung terusss ,

lenyap ke langit. Mungkin ke surga. Sudah jutaan yang lenyap, seperti generasi yang menguap. Yang tersisa memilih tinggal di gua-gua. Di situlah, kami menemukan mereka. ” Gipsi tua itu terus bercerita.

Kami terpana didera kengerian dan perasaan hampa. Ada yang ganjil dari orang-orang yang melayang-layang itu. Mulut mereka kosong setengah terbuka. Kulit cokelat- kusam mereka terlihat seperti buah sawo matang yang mulai membusuk. Sampai kami menyadari, sesungguhnya mereka tak bisa terbang, tapi hanya melayang-layang. Gerangan apakah yang membuat mereka jadi seperti itu? Mata mereka penuh kesedihan. Ini keajaiban ataukah kesengsaraan? Lidah kami pahit, dan kami mulai terisak. Di barisan depan, gadis-gadis menunduk tak tega. Seorang ibu dengan gemetar memeluk anaknya. Nenek bergaun hijau terisak sebak. Seperti ada kesenduan yang pelan-pelan menangkupi kami. Ya, kami, kami disesah kesedihan yang sama. Kami semua, semua…juga aku! Aku yang turut menyaksikan pertunjukan itu dan menceritakan semua ini kepadamu.

Aku melirik Mom dan Dad, yang duduk di sebelahku. Mom mengatup dan memejam. Dad terlihat menahan tangis…

***
ROMBONGAN sirkus itu telah pergi. Mungkin sekarang di Montana atau Wisconsin atau Toronto atau terus melintasi Teluk Hudson, Laut Labrador, Green Land sampai Kutub Utara. Tapi aku selalu terkenang sirkus itu. Teringat manusia-manusia terbang itu: kulit sawo matangnya, hidungnya yang kecil. Mirip aku.

Aku hanya diam bila kini teman-teman sekolah sering meledekku. “Hai, lihat itu keturunan manusia terbang”, dan serentak mereka tertawa bila aku melintas. Hanya karena kulitku cokelat, dan rambutku tak pirang seperti mereka. Aku tak marah, hanya merasa geli dan agak jijik dipersamakan seperti itu. Rasanya tubuhku jadi seperti dihuni makhluk ganjil. Mom menegurku, karena belakangan sering melamun. Kubilang, aku baik-baik saja. Sampai suatu malam Dad mengajakku rebahan di atap loteng. Agak lama kami hanya diam memandangi bintang-bintang

“Kamu memikirkan manusia-manusia terbang itu, kan?” Dad menepuk bahuku. Aku terus diam.

“Baiklah, Nak. Sudah saatnya kuceritakan rahasia ini padamu. Mereka berasal dari negeri yang telah collapse puluhan tahun lalu. Negeri yang terus-menerus dilanda kerusuhan. karena para pemimpinnya selalu bertengkar. Kerusuhan sepertinya sengaja dibudidayakan. Perang saudara meletus. Flu burung mengganas. Rakyat kelaparan sengsara. Sementara minyak mahal, dan langka. Orang-orang harus antre dan berkelahi untuk mendapatkan minyak, juga air bersih dan beras. Pengangguran tak bisa diatasi. Bangkai terbengkelai. Lebih dari 23 juta balita menderita kekurangan gizi. Terserang folio, lumpuh layuh, busung lapar. Menderita marasmik kuasiorkor akut. Otak balita-balita itu menyusut. Terkorak mereka kopong. Perut busung. Bahkan tak ada akar yang bisa mereka makan. Sebab tanah, hutan, sungai dan teluk rusak parah tercemar limbah. Karena tak ada lagi yang bisa dimakan, orang-orang kelaparan itu pun mulai belajar menyantap angin. Bertahun-tahun, paru-paru dan perut mereka hanya berisi angin hingga tubuh mereka makin mengembung dan terus mengembung, seperti balon yang dipompa. Jadi begitulah, Nak. Seperti yang kau lihat di sirkus, mereka sesungguhnya tak bisa terbang, tapi melayang-layang karena kepala dan tubuh mereka kosong “

Napas Dad terdengar merendah. Aku seperti merasa ada yang perlahan pecah dan tumpah.

“By the way…, ada juga penduduk negeri itu yang bisa menyelamatkan diri. Yakni sebagian kecil mereka yang pergi mencari jazirah baru dengan menjadi manusia perahu, seperti orang-orang Vietnam. Terombang-ambing di samudra, dan terdampar menjadi imigran. Salah satu dari para imigran itu, tak lain ialah kakekmu. Kamu wangsa pendatang, Nak. That’s why your skin not fair and your hair not blond like your friends that mock you. “

Dad terisak. Aku menatap langit. Berharap melihat tubuh-tubuh gembung busung itu melayang di antara bintang-bintang. Semoga, seperti kata gipsi tua itu, mereka memang menuju surga…. (cerpen ini ditulis oleh Agus Noor, 2005)

Post a Comment for "CERPEN SIRKUS"