Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cara Kerja Bahasa Koran, Korektor Bahasa, Redaktur Bahasa & Media Masa

Bagaimana Tulisan Teks Artikel Sampai ke Meja Redaktur


Ketelair Indonesia_ Di koran, majalah, dan tabloid umumnya punya penjaga gawang editing. Setelah selesai di tangan redaktur atau penanggung jawab rubrik, tugas terakhir itu dipegang bagian khusus. Ada yang namanya korektor bahasa, penyelaras bahasa, bahkan redaktur bahasa. Di Kompas, setahu saya menggunakan penyelaras bahasa. Koran Tempo dan Media Indonesia memakai redaktur bahasa. Koran-koran lokal umumnya korektor bahasa. Istilah kerennya: copy editor. Semua sama tugasnya: mengoreksi ejaan, tanda baca, huruf kapital-kecil, dan sebagainya.

Seharusnya, semua yang berkenaan dengan editing tuntas di tangan redaktur. Sebab, dialah yang punya otoritas terhadap halaman. Redaktur atau editor yang baik mengerjakan tugas penyuntingan dengan paripurna. Sayangnya, tak selamanya proses dalam sistem keredaksian media massa berlaku seperti itu. Ada redaktur yang tak cakap dalam mengedit sehingga naskah dan konten artikel berita dan nonberitanya banyak salah.

Nah, untuk itu, rata-rata media mempekerjakan pegawai yang bertugas teknis memperbaiki salah ketik dan tanda baca. Tugas ini kelihatannya sepele. Gampang. Remeh banget. Tapi, ternyata, di tangan merekalah nasib bahasa koran dipertaruhkan. Koran yang memberikan otoritas penuh ke bagian bahasanya acap unggul dalam bahasa tulisnya. Koran Tempo yang punya lebih dari enam redaktur bahasa menjadi media cetak dengan penggunaan bahasa Indonesia terbaik di Indonesia versi Pusat Bahasa. Empat kali berturut-turut pula!

Para redaktur, karena merasa ada yang membaguskan bahasa, kadang kerjanya asal. Habis membuat judul, membikin lead, edit sekadarnya, kirim ke bagian bahasa. Mereka maunya terima beres saja. Seolah kalau tidak menyerahkan naskah mentah, tidak afdol. Boleh dibilang lima puluh persen saja hasil penyuntingannya. Nah, di sinilah dilemanya. Copy editor yang mestinya cuma mengoreksi huruf besar-kecil, salah ketik, tanda baca, dan logika bahasa; malah ketempuhan dengan ikut pening menyusun kalimat. Memang bisa saja dikerjakan, tapi apa redakturnya tak berpikir bahwa halaman itu tanggung jawabnya.

Korektor bahasa acap dihadapkan pada naskah sampah, naskah yang belum bersih. Mereka kadang mengoreksi naskah berita yang hancur lebur: judulnya salah ketik dan “tidak bunyi”, bodi teksnya tidak enak dibaca, nama narasumber yang berubah-ubah di beberapa alinea, dan lain sebagainya. Ujung-ujungnya, yang menjadi redaktur malah copy editor ini, ke mana redakturnya? Masih syukur kalau penyelaras bahasanya ini pandai: punya sedikit pengalaman menulis, memahami dengan baik keterpaduan antarparagraf, jeli memperhatikan detail kesalahan dalam teks, dan sebagainya. Media yang punya deretan korektor bahasa semacam ini, wajib bersyukur! Sebab, tak semua copy editor punya keterampilan yang seperti itu. Yang parah, kalau redaktur tak cakap, korektor tak awas. Itu koran bakal dimaki-maki pembaca karena kesalahan ketik yang banyak, hampir di semua halaman!

Satu hal yang kadang luput dari para redaktur ialah memverifikasi data. Mereka rata-rata lemah di titik ini. Ada memang yang ketat dalam verifikasi, tapi jumlahnya mungkin cuma sepuluh persen, selebihnya abai. Gawat!

Nah, di noktah ini, ketika ada kesalahan dalam penyebutan nama narasumber, kekeliruan menulis nama tempat, kalimat yang berulang atau redundant, yang disalahkan justru bagian bahasanya. Mungkin sudah jadi nasib profesi di “kasta terbawah” dalam soal keredaksian. Hal yang sama tak dilakukan kepada redaktur. Ujaran semisal, “Hei, itu nama narasumbernya kok berubah-ubah. Ada Achmad, Ahmad, Akhmad, dan Amat. Mana yang benar?” tak asing lagi didengar. Lucunya, kok kadang cuma kepada editor bahasa saja para pimpinan di skop redaksi menanyakan atau menggugat hal itu. Kepada yang lain tidak demikian. Padahal, tugas pokok dan fungsi bahasa itu teks dan soal data, redakturlah yang punya kewajiban memverifikasinya. Maka itu, buat para copy editor, ada kiat yang bisa diperhatikan.

Pertama, ketat dalam koreksi
Untuk menghindari ocehan pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, dan jajaran pimpinan lain, bekerjalah sesuai dengan tugas pokok. Curigai kata yang tak sesuai dengan kosakata baku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Penting juga memperhatikan beberapa data. Yang penting itu konsisten! Salah tidak masalah, asal konsisten! Kalau ada narasumber di awal pakai “Burhanuddin”, pakai saja meski di bodi teksnya ada tertulis “Burhanudin”, “Boerhanoeddin”, “Burkhanuddin”. Pilih salah satu. Kalau salah, besok bisa diralat. Mata copy editor mesti lebih awas daripada manusia biasa. Sebab, mencari kesalahan ketik dalam naskah yang segunung bak mencari sebatang jarum kecil di tumpukan jerami. Sangat sulit. Namun, itulah tugasnya. Sudah risiko dan tanggung jawab korektor bahasa.

Selain mengoreksi di layar komputer, para penyelaras bahasa mesti mengoreksi hasil cetak korannya sebelum masuk ke mesin untuk diperbanyak. Print out ini wajib juga dilihat karena mengoreksi dalam bentuk tercetak lebih gampang daripada di layar komputer. Judul dilihat yang teliti. Jangan sampai salah. Salah dalam judul, misal kurang huruf, itu kesalahan terbesar kompartemen bahasa. Jangan sampai itu terjadi. Makanya, setiap judul yang tercetak di print out kudu dipelototi.

Kedua, cerewet dengan para redaktur
Jangan sungkan menanyakan kepada redaktur, apa maksud dalam kalimat yang mereka edit. Kalau ada nama tempat, kronologi, dan lain-lain yang tidak jelas, tanyakan. Para redaktur pasti akan berterima kasih kalau kita bertanya dan mencoba meluruskan. Judul yang kira-kira kurang menarik dan tak sesuai dengan logika, boleh juga diberi masukan. Intinya, cerewet dengan naskah yang tampak buruk. Bukan apa-apa, naskah itu adalah wajah media. Buruk naskahnya, buruk pula media. Maka itu, berkomunikasi dengan para redaktur adalah kuncinya, Paham !

Kalau ada redaktur yang sok pintar padahal hasil kerjanya salah, lawan! Kalau perlu, simpan hasil kerja dia yang berantakan itu dan bandingkan setelah dikoreksi. Kalau ikut rapat bujet di redaksi, sesekali paparkan itu. Bilang bahwa editing para redaktur parah. Kalau pemimpin redaksi butuh bukti, sodorkan naskah suntingan para redaktur yang buruk-buruk itu dan bandingkan setelah dikoreksi. Itu adalah bukti yang tak terbantahkan. Redaktur yang bersangkutan biasanya akan diminta bekerja lebih baik oleh pemrednya. Boleh jadi juga, para copy editor akan diminta untuk memberikan pelatihan kebahasaan untuk para redaktur. Tidak menutup kemungkinan, korektor bahasa cepat naik pangkat menjadi asisten redaktur, bahkan jadi redaktur!

Ketiga, bekerja cepat
Jangan lambat dalam bekerja. Dalam model kerja media yang dituntut efisien dalam hal waktu, bekerja dituntut cepat. Koreksi setiap naskah yang masuk dengan cepat. Sebab, pada dasarnya,copy editor menyempurnakan naskah. Jangan sampai kita menjadi titik lemah dalam proses produksi di media. Bikin moto sendiri: cepat dan benar.
Media massa itu bekerja dalam sistem. Semua mesti mendukung kerja keredaksian. Adanya tenggat atau deadline menjadi bukti kalau bekerja itu mesti punya target. Kalau halaman pendidikan, misalnya, mesti kelar jam tiga sore dari tangan kompartemen bahasa, ya diikuti. Para copy editor mesti mengikutinya. Lewat dari tenggat, pasti mengganggu kerja berikutnya. Mengapa? Sebab, naskah itu masih harus ditata letak oleh bagian setting dan ditambahkan ilustrasi oleh bagian grafis. Belum lagi print out halaman yang mesti dilihat lagi sebelum masuk proses film dan cetak. Telat dalam sistem kerja media berdampak pada terlambatnya produk diterima pelanggan. Telat setengah jam saja di bagian bahasa, bakal membuat koran sampai di kabupaten lain terlambat datangnya. Kalau sudah kesiangan, ya koran sudah basi. Kalah sama kompetitor. Tak dibaca orang. Ujung-ujungnya dikembalikan dan mubazir. Kalau begitu terus, pendapatan koran akan turun. Bisa-bisa berimbas pada nasib koran selanjutnya: terus atau mati.

Keempat, tingkatkan pengetahuan
Dunia kebahasaan itu juga berkembang. Soal ejaan, SPOK, dan model penulisan barangkali tak banyak berubah. Tapi, ada beberapa diksi yang mungkin sudah lazim dipakai tapi tak cepat direspons oleh otoritas kebahasaan. Misalnya, kata kuliner. Kata ini, karena lazim dipakai dan banyak acaranya di televisi, cepat dikenal, tetapi lambat dientri. Karena sudah jamak, tak apa dipakai. Tapi, kita mesti tahu darimana diksi itu muncul. Oh, rupanya kuliner itu muncul dari pengindonesiaan culinary.

Beberapa koran besar, Kompas dan Koran Tempo, memiliki rubrik bahasa setiap pekan. Nah, itu dibaca karena bagus untuk peningkatan mutu pekerjaan kita. Syukur-syukur bisa ikut menulis juga. Atau mengusulkan kepada pemimpin redaksi agar ada kolom bahasa di koran tempat kita bekerja. Kalau bisa setiap pekan, itu bagus. Tapi, kalau disetujui cuma sebulan sekali, itu langkah awal yang bagus.

Buku-buku soal kebahasaan pun menarik untuk dibaca. Input soal linguistik akan menjadi bekal berharga dalam bekerja.

Fact Checker
Apaan tuh? Begini. Buat korektor bahasa yang acap “disalahkan” ketika ada kekeliruan dalam data di koran, ada baiknya mengusulkan satu bidang kerja baru: pencari fakta atau fact checker. Orang yang bertugas di sini, fokus pada pengecekan fakta yang ditulis reporter dan diedit redaktur. Mereka bekerja dengan basis data komputer yang baik. Semua nama yang tertera dalam naskah akan diverifikasi, apakah pas atau belum. Demikian juga nama tempat, sama perlakuannya. Meski sangat teknis, fact checker ini sedikit banyak membantu menyeragamkan semua data yang ditulis para reporter. Peran pencari fakta ini urgen agar kesalahan yang kerap terjadi bisa diminimalkan.

Di luar negeri, hampir semua media punya pencari fakta. Kadang dari merekalah data tentang sesuatu hal diketahui cuma khayalan sang wartawan. Ketika Stephen Glass, jurnalis The New Republic, menulis soal pertemuan hacker, fact checker majalah Forbes Digital ikut berjasa menemukan beberapa kebohongan data dan fakta dalam tulisan Glass. Mereka menemukan bahwa perusahaan komputer Juke Micronics yang ditulis Glass, tidak ada. Fact checker Forbes Digital terbukti mampu meminimalkan kesalahan penulisan fakta dalam artikel berita.

Di Indonesia, pekerjaan ini boleh disebut belum ada. Padahal, perannya dalam memverifikasi fakta itu terasa sekali. Bagian ini juga bisa dipakai untuk jasa pengayaan bahan tulisan reporter. Saat wartawan menulis soal penangkapan Muhammad Nazaruddin, misalnya, fact checker bisa memberikan bobot kepada reporter yang akan menulis. Jadi, karya jurnalistik yang dinikmati khalayak semakin baik: sudahlah kontennya bagus, bahasanya enak dibaca, datanya akurat, pengayaan bahan pun matang. Waaahh.... Mantap tuh ! Wallahualam bissawab

Post a Comment for "Cara Kerja Bahasa Koran, Korektor Bahasa, Redaktur Bahasa & Media Masa"