Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Singapore Windows

Good morning, Singapore

"Good morning, Singapore !" teriakku sambil merentangkan kedua lengan dan menjulurkan kepala ke luar jendela. Fiuuuh, segar juga udara pagi ini. Kucoba menjulurkan kepala lebih keluar, tetapi seram. Ini tingkat dua belas, kalau terjatuh aku mungkin sudah jadi bubur.

Ah, sebenarnya pagi ini sama seperti pagi kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarin dulu. Pagi ini nenek di gedung seberang kembali tertawa lebar memamerkan gigi ompongnya. Rupanya setiap hari jadwal menengok jendela nenek itu sama denganku.

Ritualku setiap pagi ? Sudah sebulan aku tinggal di "rumah susun" ini dan dari hari ke hari tidak ada yang berubah. Pukul enam pagi, biasanya aku bangun, itu juga ketika Jigme, suamiku selesai sholat subuh. Sebagai seorang istri yang baik aku pun terbangun. Terkadang sholat subuh terkadang tidak, tetapi yang selalu adalah menyiapkan sarapan pagi dan memastikan pakaian sang suami tidak kusut.

"Sayang, I love you soooo very much," kata Jigme setiap pagi.

Bangun pagi melihat Jigme yang selalu tertawa dan menaburkan kata_kata cinta, seperti memberi bensin pada motor tubuhku. Tanpa itu, mungkin rasa jadi seorang istri, agak kurang. 

"Aku tidak mau meninggalkan kamu sendiri, tapi ya bagaimana. Take care, Sayang," begitu kira_kira ucapan Jigme setiap kalinya.

Setelah ucapan "sayang," atau "Aku cinta kamu," Jigme berangkat sekitar pukul delapan pagi. Begitu sosok tegapnya menghilang, ritual harianku pun dimulai. Aku mulai mencuci pakaian kami secara manual, itu lho... dengan tangan. Dengan payah, tangan berkerut_kerut dan badan sedikit menggigil, biasanya aku berhasil juga harus menggantungkan pakaian ke tiang bambu sedemikian rupa supaya terjajar rapi. Kemudian, sekuat tenaga aku mengangkat dan mendorongnya untuk dimasukkan ke dalam lubang di dinding luar jendela. Inilah menjemur pakaian ala Singapura, maklum tidak ada pekarangan. Melelahkan ? Ya, tapi tidak, tidak akan pernah aku mau lagi menumpuk cucian dua hari seperti nasehat Mama, soalnya jauh lebih melelahkan. Aku juga tidak mau menumpuk pakaian dan menunggu bantuan Jigme di akhir pekan. Ini tugas baruku, sebagai seorang ibu rumah tangga. Tentunya tanpa pembantu.

Setelah ritual yang melelahkan inilah biasanya aku "bertengger" di jendela. Walaupun pemandangan di hadapanku hanya gedung yang berhiaskan pakaian berkibar_kibar, paling tidak aku bisa melihat ke angkasa, ke biruanya langit, atau bergumpalnya awan seperti bulu domba, juga melihat gaya genit burung berkicau. Bisa pula aku melihat ke bawah, ke lapangan parkir dan memperhatikan orang_orang yang mondar_mandir. Pokoknya melihat apa saja selain dua ruangan tempat kami tinggal, maksudku, selain ruang tamu merangkap tempat tidur dan ruang dapur merangkap ruang serba guna tempatku berdiri sekarang ini. O ya, masih ada kamar mandi sempit tempatku melakukan ritual mencuci pakaian di samping ruang ini. Jadi, total dua setengah ruangan jika mau dihitung_hitung. Tapi tempat ini, apalagi ruangan depan, tampak lebih besar dari ukuran sebenarnya karena kami tidak memiliki mebel dan tempat tidur, hanya kasur tipis yang bisa digulung. (karya Fira Basuki dengan perubahan seperlunya)

Post a Comment for "Singapore Windows"