Ronggeng Dukuh Paruk
Srintil |
Sepasang burung bangau melayang meniti angin berputar_putar tinggi di langit. Tanpa sekali pun mengepak sayap, mereka mengapung berjam_jam lamanya. Suaranya melengking seperti keluhan panjang. Kedua unggas itu telah melayang beratus_ratus kilometer mencari genangan air. Telah lama mereka merindukan hamparan lumpur tempat mereka mencari mangsa; katak, ikan, udang atau serangga air lainnya.
Namun kemarau belum usai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi Dukuh Paruk telah tujuh bulan kerontang. Sepasang burung bangau itu takkan menemukan genangan air meski hanya selebar telapak kaki. Sawah berubah jadi ladang kering berwarna kelabu. Segala jenis rumput, mati. Yang menjadi bercak_bercak hijau di sana_sini adalah kerokot, sajian alam bagi berbagai jenis belalang dan jangkrik. Tumbuhan jenis kaktus ini justru hanya muncul di sawah sewaktu kemarau berjaya.
Di bagian langit lain, seekor burung pipit sedang berusaha mempertahankan nyawanya. Dia terbang bagai batu lepas dari ketepel sambil menjerit sejadi_jadinya. Di belakangnya, seekor alap_alap mengejar dengan kecepatan berlebih. Udara yang ditempuh kedua binatang ini membuat suara desau. Jerit pipit kecil itu terdengar ketika paruh alap_alap menggigit kepalanya. Bulu_bulu halus beterbangan. Pembunuhan terjadi di udara yang lengang, di atas Dukuh Paruk.
Angin tenggara bertiup. Kering. Pucuk_pucuk pohon di pedukuhan sempit itu bergoyang. Daun kuning serta ranting kering jatuh. Gemersik rumpun bambu. berderit baling_baling bambu yang dipasang anak gembala di tepian Dukuh Paruk. Layang_layang yang terbuat dari daun gadung meluncur naik. Kicau beranjangan mendaulat kelengangan langit di atas dukuh Paruk.
Udara panas berbulan_bulan mengeringkan berjenis biji_bijian. Buah randu telah menghitam kulitnya, pecah menjadi tiga juring. Bersama tiupan angin terburai gumpalan_gumpalan kapuk. Setiap gumpal kapuk mengandung biji masak yang siap tumbuh pada tempat ia hinggap di bumi. Demikian kearifan alam mengatur agar pohon randu baru tidak tumbuh berdekatan dengan biangnya.
Pohon dadap memilih cara yang hampir sama bagi penyebaran jenisnya. Biji dadap yang telah tua menggunakan kulit polongnya untuk terbang sebagai baling_baling. Bila angin berhembus, tampak seperti ratusan kupu terbang menuruti arah angin meninggalkan pohon dadap. Kalau tidak terganggu oleh anak_anak Dukuh Paruk, biji dadap itu akan tumbuh di tempat yang jauh dari induknya. Begitu perintah alam.
Dari tempatnya yang tinggi kedua burung bangau itu melihat Dukuh Paruk sebagai sebuah gerumbul kecil di tengah padang yang amat luas. Dengan daerah pemukiman terdekat, Dukuh Paruk hanya dihubungkan oleh jaringan pematang sawah, hampir dua kilometer panjangnya. Dukuh Paruk, kecil dan menyendiri. Dukuh Paruk yang menciptakan kehidupannya sendiri.
Dua puluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh orang_orang seketurunan. Konon, moyang semua orang Dukuh Paruk adalah Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang sengaja mencari daerah paling sunyi sebagai tempat menghabiskan riwayat keberadaannya. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah dagingnya.
Semua orang dukuh Paruk tahu Ki Secamenggala, moyang mereka, dahulu menjadi musuh kehidupan masyarakat. Tetapi mereka memujanya. Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan kubur Ki Secamenggala membuktikan polah_tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di sana.
Di tepi kampung, tiga orang anak laki_laki sedang bersusah_payah mencabut sebatang singkong. Namun ketiganya masih terlampau lemah untuk mengalahkan cengkraman akar ketelair.com yang terpendam dalam tanah kapur. Kering dan membatu. Mereka terengah_engah, namun batang singkong itu tetap tegak ditempatnya. Ketiganya hampir berputus asa seandainya salah seorang di antara mereka tidak menemukan akal.
"Cari sebatang cungkil," kata Rasus kepada dua temannya. "Tanpa cungkil mustahil kita dapat mencabut singkong sialan ini."
"Percuma. Hanya sebatang linggis dapat menembus tanah sekeras ini," ujar Warta.
"Atau lebih baik kita mencari air. Kita siram pangkal batang singkong kurang ajar ini. Pasti nanti kita mudah mencabutnya."
"Air ?" ejek Darsun, anak yang ketiga. "Di mana kau dapat menemukan air ?"
Kemudian Rasus, Warta, dan Darsun berpandangan. Ketiganya mengusap telapak tangan masing_masing. Dengan tekad terakhir mereka mencoba mencabut batang singkong itu kembali.
Urat_urat kecil di tangan dan di punggung menegang. Ditolaknya bumi dengan hentakan kaki sekuat mungkin. Serabut_serabut halus terputus. Perlahan tanah merekah. Ketika akar terakhir putus ketiga anak Dukuh Paruk itu jatuh terduduk. Tetapi sorak_sorai segera terhambur. Singkong dengan umbi_umbinya yang hanya sebesar jari tercabut.
Adat Dukuh Paruk mengajarkan, kerja sama antara ketiga akan laki_laki itu harus berhenti di sini. Rasus, Warta, dan Darsun kini harus saling adu tenaga memperebutkan umbi singkong yang baru mereka cabut.
Rasus dan Warta mendapat dua buah, Darsun hanya satu. Tak ada protes. Ketiganya kemudian sibuk mengupasi bagiannya dengan gigi masing_masing, dan langsung mengunyahnya. Asinnya tanah.
Sambil membersihkan mulutnya dengan punggung lengan, Rasus mengajak kedua temannya melihat kambing_kambing yang sedang mereka gembalakan. Yakin bahwa binatang gembalaan mereka tidak merusak tanaman orang, ketiganya berjalan ke sebuah tempat di mana mereka sering bermain. Di bawah pohon nangkaitu mereka melihat Srintil sedang asyik bermain seorang diri. Perawan kecil itu sedang merangkai daun nangka dengan sebatang lidi untuk dijadikan sebuah mahkota.
Karena letak Dukuh Paruk di tengah hamparan sawah yang sangat luas, tenggelamnya matahari tampak dengan jelas dari sana. Angin bertiup ringan. Namun cukup meluruhkan dedaunan dari tangkainya. Gumpalan rumput kering menggelinding dan berhenti karena terhalang pematang.
Hilangnya cahaya matahari telah dinanti oleh kelelawar dan kalong. Satu_satu mereka keluar dari sarang, di lubang_lubang kayu, ketiak daun kelapa atau kuncup daun pisang yang masih menggulung. Kemarau tidak disukai oleh bangsa binatang mengirap itu. Buah_buahan tidak mereka temukan. Serangga pun seperti lenyap dari udara. Pada saat demikian kampret harus mau melalap daun waru agar kehidupan jenisnya lestari.
Pelita_pelita kecil dinyalakan. kelap_kelip di kejauhan membuktikan di Dukuh Paruk yang sunyi ada kehidupan manusia. Bulan yang lonjong hampir mencapai puncak langit. Cahayanya membuat bayangan temaram di atas tanah kapur Dukuh Paruk. Kehadirannya di angkasa tidak terhalang awan. Langit bening.
Udara kemarau makin malam makin dingin. Pegelaran alam yang ramah bagi anak_anak. Halaman yang kering sangat menyenangkan untuk arena bermain. Cahaya bulan mencipta keakraban antara manusia dengan lingkup fitriyahnya. Anak_anak, makhluk kecil yang masih lugu, layak hadir di halaman yang berhias cahaya bulan. Mereka pantas berkejaran, bermain dan bertembang. Mereka sebaiknya tahu masa kanak_kanak adalah surga yang hanya sekali datang. (Dikutip dari Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari)
Nama: Iis Diana Wati
ReplyDeleteKelas: XII- Tata Busana1
NOVEL SEJARAH
Nama : Isnaeni
ReplyDeleteKelas : XII TB 1
NOVEL SEJARAH
Nama:Nia kuswati
ReplyDeleteKelas:Xll TB 1
Jawab:Ronggeng sejarah
Nama: Dina Barokah
ReplyDeleteKelas: XII-TB 1
Jawab: SEJARAH
Nama : fatimah
ReplyDeleteKls : XII TB 1
JAWAB : SEJARAH
Nama: Dede rupiyah
ReplyDeleteKelas: XII TB 1
Jawab: sejarah
Nama : ELIS MAWANTI
ReplyDeleteKelas : XII TB 2
Jawab: Sejarah
Nama : FITRI
ReplyDeleteKelas : Xll-Tb2
Jawab : Sejarah
Nama : Tarwati
ReplyDeleteKelas. : XII TB 2
Jwb : NOVEL SEJARAH
Nama: Windy Octavia
ReplyDeleteKelas: XII TB 1
Jawaban: sejarah
Nama: Rosana
ReplyDeleteKelas:XII TB2
Jawab:Sejarah
Nama:Anita silviani
ReplyDeleteKelas:XII TB 1
Jawab:Sejarah
Nama:Siti Hauliyah
ReplyDeleteKelas:Xll-TB2
Jawab:Sejarah
Nama : KALPIAH
ReplyDeleteKelas : XII-TB 2
Jawab : Sejarah
Nama : Wulan suci
ReplyDeleteKelas :XII Tb2
Novel sejarah
Nama: Melina wati
ReplyDeleteKelas: XII TB 2
Jwb : novel sejarah
Nama:Ajeng Suciandini
ReplyDeleteKelas:XII TB 1
Jawab:novel sejarah