Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mencari Ratu Adil di Indonesia

Patih

Tersebutlah Patih Danurejo II yang sebenarnya adalah menantu Sultan Hamengku Buwono II sendiri yang diperkatakan dengan perasaan anyel dan mangkel oleh Ratu Ageng pada malam yang agak gerimis ini tampak duduk di dalam kereta kuda bersama Raden Mas Sunarko sang tolek (juru bicara), menuju Vredenburg menemui Jan Willem van Rijnst.

Yang disebut namanya terakhir di atas ini, baru sepekan berada di negoro (wilayah kota yang didiami raja). Dan kelihatannya dia bisa begitu cepat menyukai pekerjaannya di sini; di salah satu pusat kerajaan Jawa yang selama ini hanya diketahuinya dari catatan_catatan VOC. Dari catatan_catatan itu pula dia mengenal pusat kerajaan Jawa yang lain, di timur Yogyakarta, yaitu Surakarta, yang penguasa_penguasanya terus saling cemburu walaupun sudah dibuat Babad Palihan Negari, atau lebih dikenal sebagai "Perjanjian Giiyanti" pada 13 Februari 1755.

Terlebih dahulu mestilah dibilang, bahwa Jan Willem van Rijnst adalah seorang oportunis bedegong. Asalnya dari Belanda tenggara. Lahir di Heerlen, daerah Limburg yang seluruh penduduknya Katolik. Tapi masya Allah, demi mencari muka pada pemegang kekuasaan di Hindia Belanda, sesuai dengan agama yang dianut oleh keluarga kerajaan Belanda di Amsterdam sana yang Protestan bergaris kaku Kalvinisme, maka dia pun lantas gandrung bermain_main dengan bunglon, membiarkan hatinya terus bergerak_gerak sebagaimana air di daun talas.

Ndilalah sifat_sifat Jan Willem van Rijnst ini bagai pinang dibelah dua dengan sifat_sifat Danurejo II yang bagai kedelai di pagi tempe di sore.

Nanti, pada enam belas tahun yang akan datang Jan van Rijnst bakal berubah lagi warnanya, yaitu di masa jatuhnya tanah air Nusantara ke tangan Inggris sehubungan dengan peperangan yang berlangsung di Eropa sana, dimana Inggris berhasil mengalahkan Prancis sehingga Indonesia yang berada dalam Bataafsche Republiek di bawah kendali Prancis terhadap Belanda, karuan menjadi milik Inggris. Di saat itulah nanti Jan Willem van Rijnst akan bermuka topeng kepada Letnan Gubernur Jendral Inggris, Sir Thomas Stamfors Raffles.

menanti pemimpin adil

Ketika Danurejo II datang kepadanya, dia menyambut dengan bahasa Melayu yang fasih, sementara pejabat keraton Yogyakarta yang merupakan musuh dalam selimut dari Sultan Hamengku Buwono II ini lebih suka bercakap bahasa Jawa.

"Sugeng", kata Danurejo II, menundukan kepala dengan badan yang nyaris bengkok seperti udang rebus.

Jan Willem van Rijnst bergerak menyamping, membuka tangan kanannya, memberi isyarat kepada Danurejo untuk masuk dan duduk. Agaknya untuk penampilan yang berhubungan dengan bahasa Belanda beschaafdheid yang lebih kurang bermakna 'tata krama santun sesuai peradaban', alih_alih Jan Willem van Rijnst sangat peduli, dan hal itu merupakan sisi menarik darinya diantara sisi_sisi lain yang menyebalkan.

"Jadi informasi apa yang bisa Tuan kasihkan kepada saya ?" kata Jan Willem van Rijnst sambil duduk.

Melalui toleknya Danurejo berkata "Seperti Tuan ketahui, bahwa baik de jure maupun de fakto sudah tidak ada lagi kerajaan Mataram. Sebab, semua keputusan dalam ketetanegaraannya menyangkut politik dan ekonomi sepenuhnya sudah diambil alih VOC. Tapi perlu Tuan ketahui, dan sebolehnya Tuan sampaikan kepada Gubernur Jendral di Batavia, bahwa semua raja, mulai dari Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai sekarang Sri Sultan Hamengku Buwono II, sama_sama secara diam_diam, dengan siasat yang berbeda, menyusun kekuatan untuk melawan kekuasaan Belanda."

Jan Willem van Rijnsttertegun. Pangkal hidungnya menekuk ganjat. Katanya dalam nada tanya yang datar, "Menyusun kekuatan ?"

"Ya Tuan," sahut Danurejo II dengan semangat asut.

"Kekuatan dalam pengertian daya tahan yang lebih asasi dari sekedar keteguhan dan ketegaran."

"Kekuatan macam apa itu ?"

"Kekuatan yang dibangun diatas landasan kebencian kepada musuh."

"Tuan," kata Danurejo II, menundukkan kepala untuk menunjukkan sikap rendah hati, tapi dengan meninggikan rasa percaya diri dalam niat hati untuk mengasut. "Barangkali Tuan akan menganggap enteng perkara ini. Tapi, sebaiknya Tuan ketahui _ sebab maaf, Tuan masih baru di sini _ bahwa kami, bangsa Jawa, sangat peka terhadap suara hati, yaitu perasaan dalam tubuh insani yang sekaligus menjadi wisesa ruhani."

Naga_naganya Jan Willem van Rijnst tidak begitu mudheng menangkap makna yang dikalimatkan oleh Danurejo II. Maka katanya dengan wajah tekun, Katakan tegasnya."

"Ya Tuan Van Rijnst," ujar Danurejo II, tetap menundukkan kepala dalam fitrah yang ajeg seperti tadi. "Sekarang ini Sri Sultan sedang repot membangun kekuatan dalam pikiran rakyat, bukan cuma dengan bedil, tapi juga dengan cara menanamkan perasaan kebangsaan yang membenci Belanda melalui peranti_peranti kebudayaan adiluhung, kebudayaan yang bernafas panjang."

"Apa maksud Tuan ?"

"Perasaan benci yang direka didalam piranti kebudayaan, yaitu kesenian, khususnya wayang dan tembang macapat, daya tahannya luar biasa, dan daya serapnya amat istimewa merasuk dalam jiwa dalam sanubari dalam ruh, sepanjang hayat dikandung badan."

"Tunggu ," kata Jan Willem van Rijnst, ragu, dan rasanya asan_tak_asan. "Tuan bilang wayang dan tembang punya nafas panjang ? Bagaimana caranya Tuan menyimpulkan itu ?"

"Maaf, Tuan Van Rijnst, perlu Tuan ketahui , wayang dan tembang berasal dari leluhur Hindu_Buddha Jawa. Sekarang, setelah Islam menjadi agama Jawa, leluri wayang dan tembang itu tetap berlanjut sebagai kebudayaan bangsa. Apakah Tuan tidak melihat itu sebagai kekuatan ?"

Jan Willem van Rijnst terdiam sejenak, menalar, lalu mengangguk_angguk. Pasti dia mendapat tanpa diduga, sesuatu yang amat berguna sebagai senjata rohani, senjata yang abstrak, tapi sebenarnya senjata yang ampuh untuk menangani perang urat saraf, perang dengan kata_kata yang tidak diucapkan.

Dalam terdiam yang sekilas begini, dia menemukan jawaban yang cerdik. Yaitu, dia anggap lebih baik bertanya, meminta pendapat atau saran dari Danurejo II. "Dus, apa saran Tuan ?"

 Merasa dikajeni, Danurejo II menjawab lurus, "Sebetulnya, melawan kompeni disadari Sri Sultan sebagai menimba air dengan keranjang."

"Hmm..?"

"Tapi, seandainya terjadi persatuan yang menggumpal antara rakyat Yogyakarta dan rakyat Surakarta, bagaimanapun hal itu bisa menjadi kekuatan yang tidak terduga."

"Bukankah persatuan itu sudah mustahil terjadi ?"

"Ya, Itu untuk sultan di Yogyakarta dan susuhunan di Surakarta. Tapi, bagaimana kalau rakyat yang sudah meresap diresapi kekuatan wayang dan tembang ? Lambat atau cepat toh akan terjadi gejolak yang berlanjut menjadi perang."

Jan Willem van Rijnst terpengaruh. Maunya dia berkata sesuatu, namun tak berhasil dilisankan. Dalam keadaan limbung ternyata dia memuji Danurejo II di dalam hatinya. Katanya dalam hati: "Yang dikatakan ular itu benar juga."

Sementara itu Danurejo II merasa didorong akal untuk menguji pikirannya sendiri. Katanya, "Apakah Tuan tidak curiga melihat keadaan itu ?"

"Curiga ?"

"Sebagai bahaya, Tuan Van Rijnst."

Semata didorong naluri Jan Willem van Rijnst menjawab, "Bahaya tidak selalu harus dianggap mengkhawatirkan. Kekhawatiran yang berlebihan malah membuat manusia tertawan dalam mimpi_mimpinya sendiri."

"Itu benar Tuan Van Rijnst," kata Danurejo II, terucap dengan taajul. "Persoalannya, Tuan, ketika semua orang sama_sama bermimpi, artinya sama_sama memiliki mimpinya masing_masing _ siapa lagi yang sanggup melihat mimpi bukan sebagai mimpi ?"

Jan Willem van Rijnst tertegun. Sempat jeda sekian ketukan. Merasa tidak punya simpanan kata_kata untuk menanggapi kata_kata Danurejo, akhirnya dia memilih mendengar apa yang dipunyai dalam pikiran menantu Sri Sultan ini.

Kata Jan Willem van Rijnst, "Apa saran Tuan ?"

"Mata saya dapat melihat sepak terjang Sri Sultan," kata Danurejo. "Beliau memang mertua saya. Jadi, harap Tuan mengerti, bahwa sebagai menantunya saya lebih tahu apa yang saya katakan tentang dirinya."

Jeda lagi sekian ketukan. Setelah itu Jan Willem van Rijnst bertanya, "Apa tuan menganggap Sri Sultan kurang cakap memegang kekuasaan ? Atau, apa dia juga secara langsung sudah melanggar perjanjian_perjanjian dengan pihak kompeni ?"

"Bukan cuma kurang cakap, Tuan Van Rijnst," kata Danurejo, jeraus sangat ucapannya. "Tapi, sesungguhnya Sri Sultan tidak becus. Makin hari makin besar jurang kemelut terjadi di lingkungan kraton. Ya, memang pelanggaran merupakan pemandangan sehari_hari yang menyepatkan mata."

"Hmm." Jan Willem van Rijnst menerka_nerka ambisi Danurejo di balik pernyataan yang kerang_keroh itu, sambil menatap lurus_lurus ke muka Danurejo, setelah membagi arah pemandangannya kepada Raden Mas Sunarko yang sangat tolek, Jan Willem va Rijnst berkata dalam hati, "Al wie kloekzinnig is, handelt met wetenschap, maar een zot breidt dwaasheid uit. Deza kakkerlak verwach zeker een goede positie, zodat hij mogelijk corruptie kan doen" (yang cerdik bertindak dengan pengetahuan, tapi yang bebal membeberkan ketololannya. Kecowak ini pasti berharap kedudukan yang memungkinkan baginya bisa melakukan korupsi).

Danurejo tak rumangsa dicerca. Sebab, ketika Jan Willem van Rijnst berkata begitu di dalam hatinya, dia melakukan dengan memasang muka manis atas kodratnya yang muka_dua. Dia mengira Belanda di hadapannya menghargainya. (diambil dari sumber novel Pangeran Diponegoro, Remi Sylado dengan perubahan seperlunya)

Post a Comment for "Mencari Ratu Adil di Indonesia"