Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hikayat Buyung Besar

kapal Buyung Besar

Namanya Buyung. Karena badannya yang subur dan bongsor, warga sekitar Desa Pantai Labu akrab memanggil namanya Buyung Besar. Kegemaran bocah itu juga terbilang unik. Beda dengan sesama bocah desa lainnya. Buyung besar suka menyendiri. Mainannya kampak kecil. Dengan membawa kampak kesayangannya itu, Buyung Besar sering memanjat pohon kemudian menatah-natah batang pohon dengan kampaknya.

“Tidak ada paksa dicari-cari. Ada paksa dibuang-buang”. Kalimat mirip syair itu, sering dilantunkan Buyung Besar saat berada di atas pohon sambil menatah pohon dengan kapak kecilnya.

Orang tuanya sempat menanyakan pada Buyung Besar, ihwal maksud syair yang dinyanyikan Buyung Besar itu. Namun setiap kali ditanya begitu, Buyung hanya nyengir tidak member jawaban.

Tabiat aneh Buyung besar membuat orangtuanya gusar. Apalagi kebiasaan aneh itu berlangsung hingga Buyung Besar ber5anjak remaja. Padahal, sang ibu menginginkan Buyung Besar tumbuh dengan perilaku normal. Wanita itu ingin anaknya menjadi seseorang yang maju berkembang sebagaimana anak-anak lainnya. Ia mengharapkan anak lelakinya itu kelak bisa hidup sukses dan berguna buat orang lain.

Guna mencapai keinginannya itu, sang ibu membawa Buyung Besar pada Datuk Pengulu agar mendapat bimbingan. Daerah Pantai Labu (pesisir timur Sumatera Utara, sekitar 30 kilometer arah Timur Laut Kota Medan) pada zaman dahulu merupakan kekuasaan seorang pemimpin dengan jabatan Datuk Pengulu yang amat disegani masyarakat. Datuk Pengulu merupakan seorang yang adil bijaksana dan mengayomi rakyatnya.

“Yang Mulia Datuk Pengulu, kami datang keharibaan Datuk menyerahkan anak kami bernama Buyung Besar guna mendapat bimbingan Datuk. Tolonglah kami Datuk, bimbinglah anak kami agar menjadi seorang yang bijaksana lagi berguna,”kata orangtua Buyung Besar.

“Baiklah saya terima amanahmu. Saya berjanji akan membimbing anakmu si Buyung Besar agar menjadi seorang yang sukses, bijaksana lagi berguna. Percayakan padaku,” kata Datuk Pengulu.

Sejak saat itu, Buyung Besar dititipkan orang tuanya pada Datuk Pengulu. Resmilah Buyung Besar menjadi murid Datuk Pengulu. Setiap hari Datuk Pengulu tak bosan-bosannya memberi bimbingan pada Buyung Besar berupa ilmu pengetahuan, kepemimpinan dan ilmu perdagangan.

Berkat Bimbingan Datuk Pengulu tabiat Buyung Besar telah berubah menjadi sosok pemuda yang cerdas dan bijaksana serta berpengetahuan.

Kini saatnya Datuk Pengulu menguji kemampuan Buyung Besar dengan tanggung jawab sebagai seseorang yang akan menjadi pemimpin dalam kehidupannya. Suatu hari Datuk Pengulu meminta Buyung Besar agar menemui dirinya di singgasana.

“Tabik Datuk Pengulu, hamba siap menghadap menunggu arahan dan bimbingannya,” kata Buyung Besar saat menemui Datuk Pengulu.

“Terima kasih sudah datang memenuhi panggilanku. Ada tugas pekerjaan yang harus engkau lakukan guna mengabdikan ilmu pengetahuan yang kuajarkan padamu, wahai Buyung Besar,” kata Datuk Pengulu.

 “Titah Guru Datuk Pengulu siap hamba laksanakan. Tugas apakah gerangan yang harus hamba lakukan Datuk?” Tanya Buyung Besar penasaran.

“Begini Buyung, engkau kutugaskan memimpin pelayaran ke beberapa pulau negeri seberang untuk misi perdagangan. Engkau akan dibantu sejumlah anak buah kapal untuk berniaga kelapa dari Pantai Labu ini ke negeri yang engkau temui nanti,” ujar Datuk Pengulu.

“Baiklah Datuk, hamba bersedia melaksanakan tugas yang diberikan,” jawab Buyung Besar.

Sebuah kapal layar berukuran besar sandar di dermaga Pantai Labu. Kapal itu dipersiapkan Datuk Pengulu untuk misi perdagangan kelapa yang akan dipimpin Buyung Besar. Belasan anak buah kapal akan ikut dalam pelayaran membantu Buyung Besar. Mereka bertugas mengurus keperluan selama pelayaran, mulai menyediakan perbekalan makanan hingga menurunkan dan memuat komoditas yang diniagakan.

Kapal juga dilengkapi dengan meriam. Meriam ini akan disulut saat kelak Buyung Besar pulang, sehingga menjadi bahwa penanda mereka telah kembali dengan selamat.

Sesuai amanat Datuk Pengulu, hari itu kapal memuat buah kelapa, komoditas pertanian yang banyak ditemui di Pentai Labu. Setelah berpamitan dengan Datuk Pengulu dan kedua orangtuanya, Buyung Besar memasuki kabin kapal memimpin pelayaran. Para anak buah kapal mengangkat jangkar dan mengembangkan layar. Tak lama kapal meninggalkan dermaga Pantai Labu mengarungi lautan. Diperkirakan kapal akan berlayar sekitar enam bulan mengarungi lautan, sebelum mereka menemukan pulau-pulau untuk berniaga kelapa.

berlayar

Siang berganti malam. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Setelah enam bulan bergulat dengan ombak lautan, anak buah kapal melaporkan pada Buyung Besar, bahwa mereka melihat pulau di hadapan.

“Tuanku Buyung Besar, hamba melihat pulau di seberang sana,” ujar salah seorang anak buah kapal.

“Baiklah, kita putar  haluan secepatnya menuju pulau itu,” perintah Buyung Besar.

Benar saja. Beberapa jam berlayar, kapal tiba di tepi pantai pulau yang dimaksudkan. Ternyata itu adalah pulau yang ramai penduduknya.

Kedatangan kapal asing, membuat para penduduk pulau itu beramai-ramai mendekati kapal ingin mengetahui apa maksud kedatangan kapal ke pulau yang jarang dikunjungi orang asing itu.

“Wahai tuanku, dari manakah asalmu dan apa gerangan misi kedatangan tuan dan rombongan ke daerah kami,” tanya penduduk.

“Kami datang dengan misi dagang. Kami berasal dari Pantai Labu membawa buah kelapa terbaik. Silahkan dilihat dan dipilih kami akan menjualnya untuk kalian dengan harga yang pantas,” kata Buyung Besar menawarkan.

“Oh, maaf tuanku. Kami di pulau ini, nyaris tidak menggunakan uang untuk transaksi perdagangan. Saat ini kami tidak punya uang untuk membayarnya,”kata  penduduk.

kapal mas

“Kalau begitu ya sudah. Ambil saja kelapaku cuma-cuma buat kalian, tapi dengan syarat kulit dan tempurung kelapanya tolong kalian kembalikan ke kapal  kami sebagai bukti bahwa kami sudah menjual kelapa-kelapa ini pada kalian,” kata Buyung Besar.

“Cuna-cuma?” Mendengar jawaban  Buyung Besar yang menggratiskan kelapa yang mereka muat ke kapal dengan susah payah, membuat para anak buah kapal kecewa dengan sikap mendadak dermawan yang ditunjukkan Buyung Besar. Itu artinya, Buyung Besar majikannya tidak akan mendapatkan uang dari perdagangannya. Artinya, para anak buah kapal bakalan tidak mendapatkan gajinya.

Sebaliknya, mendengar tawaran Buyung Besar membuat penduduk girang bukan main. Mereka kemudian mendatangi kapal beramai-ramai mengambil buah kelapa, mungupasnya kemudian meninggalkan sampah berupa sabut dan tempurung kelapa di kapal layar Buyung Besar.

Dalam tempo sekejap, buah kelapa di kapal ludes dan tinggal kulit, sabut serta tempurung saya yang ditinggalkan penduduk di kapal itu. Karena komoditas dagangan telah habis,, Buyung Besar dan anak buahnya saatnya untuk pulang ke Pantai Labu bersama kapal yang penuh dengan sampah kelapa.

Menjelang tepian pantai, meriam di kapal disulut, sehingga menimbulkan suara dentuman berkali-kali. Suara dentuman meriam menjadi penanda Buyung Besar telah kambali dengan selamat. Kepulangan Buyung Besar dan anak buah kapal disambut suka cita oleh keluarga dan masyarakat.

Tiba di dermaga Pantai Labu, saatnya Buyung Besar dan anak buahnya turun guna melaporkan hasil misi niaga mereka kepada Datuk Pengulu.

“Datuk Pengulu yang mulia, kami telah pulang dari berniaga kelapa,”kata Buyung Besar.

“Apakah kelapa-kelapa yang kalian bawa sudah laku terjual semua?” tanya Datuk Pengulu.

“Ludes semuanya, Datuk.” jawab Buyung Besar.

“Apa buktinya kalau daganganmu sudah habis terjual semuanya?” Datuk pengulu kembali bertanya.

“Buktinya ada di kapal, penduduk setelah mengambil buah kelapa untuk keperluan masing-masing, kemudian mengembalikan sampah kelapa ke kapal layar kami” jawab Buyung Besar lagi.

“Tapi kami tidak memperoleh uang dari hasil dagang kelapa, karena tuan Buyung Besar bertingkah laku aneh. Beliau tidak menerima bayaran dari mereka. Kami juga tidak mau ikut berlayar lagi, karena gaji kami juga tidak dibayarkan Tuan Buyung Besar,” protes anak buah kapal di hadapan Datuk Pengulu. Mendengar laporan anak buah kapal, Datuk Pengulu cuma senyum-senyum saja.

Beberapa hari setelah Buyung Besar kembali dari pelayaran pertamanya, Datuk Pengulu kembali menyiapkan agenda pelayaran kedua Buyung Besar. Tentu saja anak buah kapal yang akan membantu pelayaran Buyung Besar sudah berganti orangnya. Pasalnya, orang-orang yang menjadi anak buah kapal pada pelayaran pertama tidak mau ikut lagi pada pelayaran kedua yang dinahkodai Buyung Besar dengan alasan mereka kapok karena tidak dibayar gajinya.

“Apakah engkau sudah siap untuk misi pelayaran yang kedua wahai Buyung Besar,” tanya Datuk Pengulu ingin memastikan.

“Hamba telah siap berlayar tuanku Datuk Pengulu,” jawab Buyung Besar.

“Barang dagangan apakah gerangan yang akan kami bawa berrlayar Datuk?”

“Kali ini engkau akan membawa padi yang merupakan komoditas andalan Pantai Labu”

“Baiklah Datuk, hamba pamit pergi berlayar membawa padi yang sudah dimuat di kapal”

Setelah berpamitan Buyung Besar dan anak buahnya segera bergegas memasuki kapal dan bersiap berlayar menuju pulau di seberang Selat Malaka.

Berbulan-bulan berlayar, akhirnya mereka menemukan pulau yang tak kalah ramainya dari pulau yang ditemukan dalam pelayaran pertama dulu. Tampaknya pulau kali ini sudah memiliki peradaban yang modern.

Penduduk setempat mendatangi kapal layar Buyung Besar.

“Barang apakah gerangan yang Anda bawa di lambung kapal Tuan?” tanya penduduk.

“Kami membawa padi banyak sekali. Kalau kalian memerlukan bahan pangan ini, ambillah. tidak usah dibayar. Kalian harus menumbuk padi sendiri hingga menjadi beras. Berasnya boleh kalian ambil, sementara dedaknya kalian kumpulkan dan dimuat di kapal,” ujar Buyung Besar.

terdampar

Mendengarkan tawaran dari Buyung Besar, masyarakat di pulau itu berbondong-bondong menghampiri kapal dengan suka cita. Mereka bergotong royong menumbuk padi  di dekat kapal. Setelah selesai, berasnya mereka ambil dan dedaknya mereka serahkan kepada Buyung Besar.

Karena muatan padi di kapal sudah habis, Buyung Besar memerintahkan anak buahnya untuk  berkemas pulang. Mereka pulang hanya membawa dedak, limbah dari masyarakat menumbuk padi. Para awak kapal menggerutu oleh sikap Buyung Besar yang dianggap bodoh itu. Mereka juga kecewa karena dari pelayaran berbulan-bulan tidak mendapatkan apa-apa disebabkan sikap Buyung Besar yang sok baik dengan mendermakan seluruh barang dagangnya kepada warga.

Seperti biasa, kepulangan kapal Buyung Besar ditandai dengan beberapa kali suara dentuman meriam. Mendengar dentuman meriam, keluarga dan warga menyongsong kepulangan mereka. Seperti pelayaran pertama pula, Buyung Besar tidak mendapat keuntungan apa pun dari dagangaannya kerena habis dibagi-bagikan secara gratis pada masyarakat.

Anak buahnya pun kembali kapok, karena tidak digaji. Kecuali Datuk Pengulu yang tidak kapok-kapoknya memberi modal berdagang bagi Buyung Besar. Setelah berdagang kelapa dan padi, Datuk Pengulu masih menginginkan Buyung Besar untuk kembali berlayar ketiga kalinya. Kali ini Buyung Besar dimodali untuk berdagang barang-barang furniture, perabot rumah tangga dan aneka kerajinan perhiasan.

Berbeda dengan pelayaran pertama dan kedua, pada pelayaran ketiga ini, Datuk Pengulu mengikutsertakan para anak buah kapal dengan keahlian khusus. Mereka masing-masing memiliki keahlian sebagai tukang kayu, pandai besi dan pembuat ukiran perhiasan.

“Mengapa pembantu hamba orang baru lagi Datuk?” tanya Buyung Besar berlagak pilon.

“Para pembantu terdahulu tidak mau lagi berlayar denganmu,” jawab Datuk Penghulu.

“Mengapa tidak mau ikut lagi denganku?”

“Aku tidak tahu,” kata Datuk angkat bahu.

Singkat cerita, sebelum kapal berlayar, Datuk Pengulu mengumpulkan para anak buah kapal dengan keterampilan khusus yang akan membantu misi pelayaran Buyung Besar.

“Pimpinan kalian Buyung Besar dan jangan membantah setiap perintah Buyung Besar. Siapa berani membantahnya akan mendapat hukuman. Karena itu jangan lakukan sesuatu tanpa restu dan perintah Buyung Besar” pesan Datuk Pengulu.

Para anak buah kapal yang terdiri para tukang itu mengangguk dan menunduk diam.

“Kalian mengerti?” bentak Datuk Pengulu ingin memastikan.

“Mengerti Datuk” jawab mereka serentak.

Setelah memastikan perlengkapan sudah beres, Datuk Pengulu melepas keberangkatan Buyung Besar dan anak buahnya dengan diiringi doa keluarga. Kapal pun berlayar menjauhi dermaga Pantai Labu.

Selama dalam perjalanan anak buah kapal menuruti perintah Buyung Besar. Tak ada seorang pun membantah, sesuai titah Datuk Pengulu.

“Tuan Buyung Besar, hamba melihat pulau di depan kita,” lapor juru mudi.

 “Kalau begitu, arahkan kapal ke pulau itu,” perintah Buyung Besar.

Tak berapa lama kapal merapat ke pulau yang ternyata banyak ditemukan bahan-bahan baku kerajinan dari besi. Para tukang pandai besi dan ahli ukir kerajinan logam sudah tidak sabar ingin mengolah bahan-bahan itu untuk menjadi barang-barang kerajinan bernilai seni tinggi. Barang-barang kerajinan itu bisa dijual dengan harga yang cukup mahal.

Namun sudah berjam-jam di pulau itu, Buyung Besar tidak mengeluarkan perintah apa pun. Si bos hanya tidur-tiduran saja hingga satu hari, dua hari, tiga hari terlewati sia-sia tanpa kerja. Para tukang dan pengrajin mulai gelisah.

“Kita sudah berhari-hari di sini, sekarang saatnya kita mulai bekarja,” ajak salah seorang pandai besi ketika Buyung Besar sedang tertidur lelap.

“Tapi kita belum ada perintah dari Buyung Besar, kalau kita bekerja mendahului perintahnya alamat akan mendapat hukuman dari Datuk Pengulu,” jawab tukang yang lain.

“Kapan Buyung Besar akan memerintahkan kita. Saya lihat beliau hanya tidur-tiduran dan tidak memerintahkan apa-apa sampai hari ini”

“Betul kata kawan kita yang ahli ukir logam ini, kalau menunggu perintah Buyung Besar yang tidak tahu kapan, bisa-bisa kita tidak akan mengerjakan apa-apa di sini dan pulang dengan tangan hampa”.

“Betul itu, kawan-kawan. Bukankah kita datang ke sini untuk bekerja agar menghasilkan barang untuk dijual dan pulang membawa uang untuk keluarga kita?”

Perdebatan antar tukang dan pengrajin kian seru. Akhirnya mereka sepakat untuk bekerja tanpa menunggu perintah Buyung Besar. Para pekerja mulai mengerjakan barang-barang kerajinan dari besi sesuai keahlian masing-masing. Siang malam mereka bekerja keras dan bercucur keringat agar menghasilkan karya terbaik dan maksimal. Harapannya barang-barang yang dihasilkan bisa dijual ke beberapa pulau di sekitarnya dan mereka pulang berlayar akan membawa uang yang banyak.

Sebulan berada di pulau itu para tukang dan pengrajin itu berhasil membuat lemari besi, tempat tidur, kursi tamu dan sejumlah perangkat rumah tangga lainnya. Mereka berhasil membuat beberapa set barang-barang bernilai seni yang tinggi.

Tiba waktunya Buyung Besar memerintahkan anak buahnya bersiap-siap untuk kembali berlayar. Para tukang dan pengrajin girang. Mereka berharap Buyung Besar akan memerintahkan barang-barang yang dihasilkan segera dimuat ke kapal untuk diperdagangkan. Ternyata tidak!, Buyung Besar tidak memperkenankan barang-barang hasil kerja para tukang dibawa serta. Barang-barang kerajinan berjumlah puluhan set lemari, kursi, tempat tidur dan lainnya ditinggalkan begitu saja di pulau itu.

Para pekerja kecewa, karena hasil jerih payah dan kerja keras mereka sia-sia. Tidak dapat menjualnya. Meski kecewa berat dengan sikap Buyung Besar, namun mereka tidak dapat berbuat banyak. Pesan Datuk Pengulu, mereka tidak boleh membantah perintah Buyung Besar.

Dari  pulau yang banyak menyimpan material besi, sebutlah “Pulau Besi” kapal berlayar memecah gelombang mencari pulau tujuan lainnya. Berhari-hari berlayar, akhirnya juru mudi melaporkan telah melihat cahaya merah di hadapan. Saat itu Buyung Besar sedang tertidur.

“Tuan Buyung Besar, bangunlah. Saya melihat cahaya kemerahan berkilau di depan. Itu seperti api yang menyembul dari laut. Sepertinya kita sedang menghadapi bahaya” kata juru mudi diaminkan anak buah kapal lainnya yang mulai was-was.

Buyung Besar terbangun dari tidurnya kemudian berjalan menuju haluan sambil mengucek-ngucek matanya melihat ke arah cahaya merah di depan kapal mereka.

“Ooo…tidak apa apa itu. Kita segera ke sana” perintah Buyung Besar dengan santainya.

“Apa? Tapi itu api berbahaya, tuan Buyung Besar,” kata awak kapal tersentak akan jawaban Buyung Besar yang tidak terduga itu.

Karena perintah Buyung Besar tidak boleh dibantah, dengan ragu-ragu juru mudi mengarahkan kapal ke arah cahaya merah yang diduga kobaran api alam itu. Semula mereka mengira, cahaya merah  itu lahar dari letusan gunung api bawah laut. Setelah kapal merapat lebih dekat, ternyata sumber cahaya kemerahan yang berkilau tadi adalah cahaya gunung emas.

Kecemasan awak kapal berganti dengan perasaan takjub.

“Luar biasa. Ini adalah pulau emas dan kita akan kaya raya,” teriak seorang tukang ahli pembuat perhiasan.

“Sekarang waktunya kalian mengerjakan tugas membuat apa saja sebanyak mungkin. Perhiasan atau barang-barang apa pun terbuat dari emas. Aku minta kalian buatkan kapal dari emas dan peti mas berukuran satu kali dua meter dengan kunci dari dalam. Kerjakan sekarang!” perintah Buyung Besar.

Tidak banyak bicara, para tukang kemudian mengerjakan apa yang diperintahkan Buyung Besar. Dalam waktu yang singkat, kapal emas dan peti emas sudah siap dikerjakan. Para tukang juga membuat barang-barang kesukaan mereka masing-masing, mulai dari piring, panci, lemari, cangkir, teko dan beraneka ragam  perhiasan terbuat dari emas.

Barang-barang dari emas tersebut akan menjadi oleh-oleh para pekerja saat pulang ke Pantai Labu. Mereka akan menjadi kaya raya. Buyung Besar membawa kapal emas dan peti emas. Dalam perjalanan pulang, rupanya kapak kesayangan Buyung Besar terjatuh ke laut.

Buyung Besar sangat sedih. Ia tidak bisa berpisah dengan kapak kecil yang amat disayanginya itu. Ia kemudian memerintahkan kapal berhenti di tengah laut.

“Aku akan turun menyelam ke dasar laut untuk menemukan kapak itu. Kalian tunggu aku sampai naik ke kapal membawa kapak itu. Maka turunkanlah tambang hingga ke dasar laut. Bila tambang kugoyang, tariklah ke atas. Itu tandanya aku telah menemukan kapak dan ingin naik ke kapal. Kalau tali tambang belum kugoyang, sabarlah menunggu walau berbulan-bulan lamanya. Itu berarti kapak belum berhasil kutemukan,” kata Buyung Besar.

Setelah meninggalkan pesan itu, Buyung Besar terjun ke laut kemudian menyelam hingga ke dasar laut. Ternyata lokasi jatuhnya kapak yang ia cari merupakan istana raja laut. Buyung Besar menemukan sebuah taman yang indah dan istana yang megah di dasar laut. Merasa takjub, Buyung Besar kemudian menyusuri taman laut dan istana kerajaan laut. Sebelum terlalu jauh, Buyung Besar dicegat oleh pengawal istana.

“Hei anak muda, siapa namamu.Maksud apa gerangan sehingga membuat dirimu sampai di istana kami,” tanya penguasa raja laut itu.

“Hamba Buyung Besar penghuni daratan, kedatangan saya ingin mencari kapak kesayangan hamba yang jatuh di taman istana ini”.

“Ikut prihatin atas kehilangan kapak kesayanganmu. Ada yang bisa saya bantu?”

“Bantulah mencari kapak kesayanganku sampai ketemu”

“Baiklah. Akan kuberitahukan pada raja, semoga beliau berkenan dan bisa membantumu”.

Raja laut mengumpulkan penduduk dan punggawa istana. Raja menanyakan kepada mereka, apakah ada salah seorang di antara mereka menemukan kapak milik si Buyung Besar penduduk daratan. Ternyata tak seorang pun di antara penduduk laut yang menemukan kapak tamunya itu.

Raja yang bijaksana berpikir sejenak. Matanya seperti mencari-cari seseorang yang tidak kelihatan di antara penghuni istana.

“Saya tidak melihat putriku, dimana dia. Coba panggil putriku untuk menghadap padaku,” kata raja.

Punggawa istana kemudian memanggil tuan puteri dan mengantarnya pada raja.

“Wahai puteriku, apakah ananda ada menemukan kapak kecil yang jatuh ke areal istana kita, ketahuilah kapak itu milik orang darat tamu kita” ujar raja.

“Benar ayahanda, hamba menemukan kapak kecil itu saat jatuh di taman istana dan masih saya simpan kapak itu” kata putri.

“Sekarang, ambilah kapak itu dan serahkan kepada pemiliknya, tuan Buyung Besar tamu kita ini” ujar raja lagi.

Buyung Besar kemudian memandang ke arah putri raja yang cantik jelita dengan tatapan memohon. Puteri raja balas menatap Buyung Besar dan membalas dengan senyuman kecil lalu berkata, “Baiklah ayahanda, saya akan mengembalikan kapak itu dengan satu syarat”.

“Apakah syaratnya, wahai putriku?”

“Pemilik kapak itu harus jadi milikku”

Syarat yang diajukan putri raja membuat hadirin tersentak. Namun Buyung Besar sama sekali tidak keberatan dengan syarat yang diajukan.

“Baiklah, saya bersedia kau miliki tuan puteri. Dengan senang hati, karena sebenarnya aku juga menginginkannya”

Semua maklum apa yang dimaksudkan Buyung Besar yang perjaka tingting dan puteri raja laut yang cantik jelita. Mereka berdua kemudian dinikahkan dengan pesta yang meriah. Buyung Besar tidak hanya menemukan kapak kesayangannya, namun ia telah menemukan jodohnya yang berparas cantik rupawan. Tampaknya mereka berdua menikmati pernikahan itu dan hidup bahagia di istana dasar laut.

Setelah beberapa bulan lamanya berbulan madu di istana dasar laut, Buyung Besar sadar akan anak buahnya yang menunggu di permukaan air. Keinginannya kembali ke daratan diutarakan kepada isterinya. Sang isteri tidak keberatan, asalkan ia dibawa serta ke daratan. Raja pun tak keberatan dan mengizinkan Buyung Besar membawa serta puterinya hidup bersamanya di daratan.

Saat itu raja laut memanggil Buyung Besar dan menyerahkan cincin serta kemenyan padanya. “Di darat banyak orang dengki dan bahaya yang mengancam. Pakailah cincin ini sebagai penangkal dengki dan bakarlah kemenyan saat terdesak dari ancaman bahaya,” kata raja laut sembali mengajarkan mantra untuk dirapalkan saat kemenyan dibakar.

Setelah berpamitan pada raja, Buyung Besar kemudian menggoyang-goyang tali tambang yang terhubung dengan para anak buah kapal yang setia berbulan-bulan menunggu Buyung Besar nimbul dari dasar lautan.

Sementara itu di atas kapal, anak buah Buyung Besar tersentak melihat tali tambang bergoyang-goyang.

“Hei lihat teman-teman, tali tambang bergoyang. Buyung Besar telah menemukan kapaknya dan bersiap untuk naik. Ayo, tali tambang kita tarik” ujar anak buah kapal.

Mereka bahu_membahu menarik tambang yang sudah berbulan_bulan terjulur ke dasar lautan. Tak lama menyembul Buyung Besar berpegangan tali tambang yang ditarik anak buahnya. Para anak buah kapal kaget ketika Buyung Besar tidak sendirian, melainkan bersama seorang wanita cantik yang tak lain puteri raja laut yang kini jadi isteri majikan mereka.

“Sekarang waktunya kita pulang ke Pantai Labu. O iya perkenalkan, ini isteriku. Agar tidak mengundang pertanyaan Datuk Pengulu, isteriku akan kumasukkan dalam peti emas yang akan berlayar bersamaku di kapal emas” kata Buyung Besar.

Para anak buah kapal tidak berani membantah dan melaksanakan semua perintah Buyung Besar. Tak berapa lama lagi kapal mendarat, anak buah kapal membunyikan meriam. Dentuman meriam terdengar ke daratan, sehingga Datuk Pengulu dan keluarga awak kapal mendengarnya. Mereka menyambut kedatangan Buyung Besar dan rombongan yang amat mereka rindukan.

Mereka menyambut gembira karena para awak kapal pulang dengan membawa keberhasilan yang gemilang. Mereka pulang membawa perhiasan emas dan perkakas rumah tangga yang terbuat dari emas. Terlebih Datuk Pengulu yang bangga melihat muridnya pulang merantau membawa kapal emas dan peti emas.

Buyung Besar pun dengan bangga meminta Datuk Pengulu naik ke kapal emasnya. Dengan senang hati Datuk Pengulu naik ke kapal emas yang dibawa Buyung Besar dengan terkagum-kagum.

“Sekarang saatnya kita bagi hasil dari usaha perniagaan yang Datuk modali. Bagaimana menurut Datuk?”

“Terserah kau sajalah” kata Datuk sembari mencermati isi perahu emas yang tidak habis-habisnya ia kagumi.

“Baiklah Datuk, saya akan membijaki pembagiannya. Perhiasan yang kecil-kecil, biarlah menjadi bagian para awak kapal. Bagian saya cukup peti emas  ini saja dan bagian Datuk Pengulu yang paling besar, yakni kapal emas, Bagaimana menurut Datuk,” tanya Buyung Besar.

Datuk Pengulu terdiam sejenak. “Boleh kuketahui dulu, apa isi peti emas itu?” tanya Datuk.

Buyung Besar tidak keberatan. Lagi pula ia ingin memberi kejutan pada Datuk Pengulu, kalau dia pulang kampung memboyong isteri.

Alangkah terkejutnya Datuk Pengulu atas apa yang dilihatnya. Setelah pintu peti terbuka, dari dalam keluar sosok perempuan yang cantik jelita.

“Usulmu tak kuterima, karena aku menginginkan peti emas beserta isinya itu saja,” kata Datuk.

Mendengar pernyataan Datuk, Buyung Besar menjadi lemas. Benar-benar diluar perkiraan. Ternyata Datuk Pengulu juga menginginkan puteri raja laut jadi isterinya.

Tidak ingin durhaka dengan guru yang banyak menolongnya, dengan berat hati Buyung Besar menyerahkan peti emas yang berisi isteri yang amat dicintainya itu pada Datuk Pengulu.

Hati puteri raja laut sungguh sedih menerima fakta itu. Sambil menunggu hari pelaksanaan pernikahan dengan Datuk Pengulu, ia menangis di dalam kamar meratapi nasib malang yang menimpa dirinya.

Hari pernikahan yang ditetapkan pun tiba. Datuk Pengulu dan puteri raja laut duduk bersanding untuk ijab Kabul di hadapan tuan Tadi disaksikan para hadirin, termasuk disaksikan oleh Buyung Besar yang diam-diam tidak tega melihat isterinya sedih dan berduka.

Saat itulah Buyung Besar berlari ke luar dari balairung tempat digelarnya pesta menuju tempat sepi merenungi diri. Tiba-tiba ia teringat kemenyan pemberian raja laut. Buyung Besar membakar kemenyan itu sambil merapal mantra.

“Hei elang putih…

Kibas dengan sayap…

Sapu dengan ekor…

Sidi guru sidilah aku…

Sidi berkat

Kasih sayangmu akan aku…”

Entah apa yang terjadi di balairung. Datuk Pengulu yang akan mengucapkan ijab kabul, tiba-tiba seperti kena tenung. Berkali-kali gagal mengucapkan ijab kabul, bagai kesurupun dan lupa ingatan. Bicaranya pun menjadi gagap.

“Sa…sa….sa…ya…yaaa….terrrr…terrr,,,,iiiiimaaa…nikahhhhhhh…..anuuu ehhhh elang…ehh” kata Datuk Pengulu.

Menyaksikan kejadian ini para hadirin heran. Tuan Kadi tak habis pikir dan menunda sementara pernikahan itu. Dia tampak berdoa. Mulutnya komat kamit, matanya terpejam. Setelah selesai berdoa, dia usap wajah dengan kedua telapak tangannya. Serta merta matanya terbuka dan hidungnya bergerak-gerak naik turun seperti mencium sesuatu.

Perutnya mual. Ia memang punya alergi terhadap bau-bauan tertentu. Tuan Kadi bangkit dan melangkah ke luar ruangan seperti mengikuti arah penciumannya. “Bau kemanyan,” bisiknya.

Kemenyan dibakar menimbulkan bau-bauan yang membuat perutnya mual. Tuan Kadi mempercepat langkahnya menuju balik pohon di halaman balairung. Di situlah arah bau kemenyan itu dan ia bermaksud mengusir pembakar menyan yang mengganggu konsentrasinya. Alangkah terkejutnya Tuan Kadi karena melihat Buyung Besar yang membakar kemenyan sambil merapal mantra.

“Apa yang kau kerjakan di situ Buyung?” gertak Tuan Kadi.

“Anu..anu…ehh…mengusir nyamuk…ahh” kelit Buyung gugup.

“Oalah Buyung, apa pun yang kau lakukan, membakar kemenyan sambil merapal sesuatu minta pertolongan selain Allah itu perbuatan setan. Syirik. Bertobatlah Buyung.”

“Mohon ampun tuanku, hamba insyaf”

“Minta ampunlah pada Allah”

“Ya sudahlah, sekarang mari kita tolong Datuk Pengulu”

“Baik tuanku”

Keduanya bergegas kembali ke balairung. Sebenarnya tuan Kadi tak mengetahui persis bila Buyung Besar mengguna-gunai Datuk Pengulu. Tuan Kadi semata-mata ingin mengusir bau kemenyan yang membuatnya mual karena alergi bau yang tak disukainya itu.

Mantra Sidi

Tak disangka. Ketika Tuan Kadi kembali ke balairung bermaksud mengulangi ijab kabul Datuk Pengulu dan puteri raja laut, tiba-tiba Datuk Pengulu yang melihat Buyung Besar datang menjadi sadar dan berubah pikiran. Datuk mengira, mulutnya yang tiba-tiba gagap bicara karena kualat telah merebut isteri orang. Isteri muridnya sendiri.

“Saya tidak ingin menjadi gagap berbicara, sehingga hilang wibawa. Itu memalukan,” bisik Datuk Pengulu dalam hati.

“Saya tak jadi menikah, maafkan saya Buyung..”kata Datuk Pengulu kepada muridnya Buyung Besar.

“Hamba memafkan Datuk, sudahlah lupakan kejadian ini. Ambillah kapal emas bagian Datuk, bagianku peti emas”

“Ambil saja kapal emas itu untukmu juga. Aku sudah tua, aku kurang tertarik dengan benda-benda dunia. Bahkan aku merencanakan turun tahta, dan jabatan Datuk Pengulu kuserahkan padamu Buyung Besar”.

Guru dan murid itu berpelukan. Para hadirin bersorak sorai. Pesta pernikahan meriah yang sedianya mempelai prianya Datuk Pengulu digantikan Buyung Besar. Proses ijab kabul pun lancar. Sejak saat itu juga Buyung Besar memimpin rakyat Desa Pantai Labu dengan aman sentosa, sementara Datuk Pengulu memilih menjadi penasihat saja.

Post a Comment for "Hikayat Buyung Besar"