Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bu Opi

SMAN Losarang

Bu Opi, guruku. Zaman kelihatannya berubah begitu hebat, tapi di hadapanmu aku sebenarnya tetap murid. 

Aku termangu_mangu seperti orang bodoh, sambil susah payah menahan agar air mata tidak runtuh. 

Mungkin orang bosan, setiap kali aku cerita mengenai kota kelahiranku. Kini aku datang lagi ke kota kecil di Jawa Barat, Indramayu untuk membawa pesan teman_teman di Jakarta yang berencana mengadakan reuni. Dalam rapat diputuskan guru_guru SMAN  Losarang tempat sebagian dari kami bersekolah dulu akan diundang ke Jakarta. Berhubung jenis pekerjaanku mereka anggap paling bebas, akulah yang "ditugaskan" untuk pulang kampung, menghubungi guru_guru kami dulu.

Kawasan belakang sekolah masih digunakan untuk para penjual jajanan. Bedanya, kalau dulu penjual paling populer adalah Bang Oleh (kalau nggak salah ayahnya Abdul Kholiq yang juga bersekolah disitu). Ia menjual gorengan, nasi, singkong rebus, mie goreng dalam bungkusan daun pisang kering, sekarang yang kulihat penjual ice cream, burger, dan lain_lain.

"Bu Opi ?" kata seorang penjual makanan ketika kutanya apakah Bu Opi masih mengajar di situ. Oha..., masih. Guru bahasa Inggris kelas tiga," ujarnya sambil menengok jam tangannya. "Sebentar lagi juga akan bubaran. Kelasnya yang itu...."

Berarti, ruang kelasnya pun masih ruang kelas yang dulu, ketika kami duduk di bangku kelas Biologi. Bu Opi yang pandai bercerita, adakah di siang menjelang bubar sekolah seperti ini, ibu masih seperti dulu, membuat murid tidak mengantuk dengan cerita_cerita yang masih kuingat sampai kini, ataukah karena memang tidak membosankan lantaran wajahnya mirip artis Atik CB ? entahlah....

Kami sama_sama termangu. Bu opi tengah mengemasi barang_barangnya ketika aku muncul di kelas, sementara seluruh murid sudah berhamburan ke luar.

"Sudah berapa tahun jadi kamu meninggalkan sekolah ini Cah Bagus ?"

"Sekitar tiga puluh tahun, Bu."

"Sekarang ibu di mana ?" ia menanyakan ibuku. Dulu, aku menyesal sekali, ketika kakakmu An meninggal, tidak bisa datang, saat itu aku juga sedang sakit," lanjutnya.

Aku tertunduk. Peristiwa itu sudah begitu lama, tapi beliau masih mengingatnya, bahkan masih bisa menyatakan penyesaalannya hanya karena tidak bisa datang melayat.

Betapa mulia hatinya. Sementara aku ? peristiwa yang mengitari diriku pun aku sudah banyak yang tidak ingat. Beberapa diantara guru_guruku yang lain sudah meninggal aku juga tak tahu. Aku jadi malu, mengapa tadi kutanya tentang Pak Yanto, Pak Yayan, Pak Ukat yang semuanya ternyata telah meninggal. 

"Aku bisa memaklumi. Kamu pastilah sangat sibuk," katanya tak ada suara menyindir atau apa pun. Semuanya kutangkap semata_mata sebagai pengertian dari kebesaran hatinya. 

Dalam hati, aku malu bukan hanya pada diri sendiri, tetapi juga terhadap seluruh teman_teman di Jakarta yang hendak mengadakan reuni dan menyuruhku kemari. Bahkan untuk membicarakan biaya pengangkutan guru_guru kami sempat ada perdebatan, naik bus, kereta api, atau apa, katanya mahal.

Aku pasti tak rela Bu Opi terseok_seok naik bus, atau terlalu lama dalam perjalanan. Apalagi, kini ia bahkan harus menopang tubuhnya dengan tongkat. Kuputuskan sendiri seketika itu, mengundang Bu Opi ke Jakarta dengan menyewa mobil mewah, di Jakarta boleh memilih tinggal di hotel mana saja, meski kutawarkan aku akan lebih bahagia, kalau beliau mau tinggal di rumahku.

"Baru jatuh dari sepeda, dua minggu lalu. Untung sekarang sudah membaik dan harus banyak latihan jalan, agar segera pulih," katanya mengenai keadaan kakinya.

Itu pula salah satu yang membuat dia harus berpikir_pikir untuk menerima undangan kami, meski aku sudah merayu_rayu sedemikian rupa. 

"Lagi pula, ini bukan saat yang tepat karena Jakarta zona merah penyebaran covid. Dan aku tidak mungkin meninggalkan anak_anak. Kasihan kan mereka....., walaupun saat ini sistem shift per kelasnya. Aku ingin mendampingi anak_anak lebih dari biasa, karena anak_anak butuh perhatian disaat belajar online seperti saat_saat ini.

Aku terdiam kehilangan kata_kata kecintaan seperti itulah yang pernah kunikmati dulu. 

"Tapi percayalah, meski ibu tidak bisa datang, doa ibu untuk kalian tak pernah putus. Setiap malam, ibu berusaha mengingat satu per satu anak_anakku yang mudah_mudahan semua telah jadi orang. "Itulah kebahagiaan terbesar ibu," ujarnya.

Serentak aku merasakan malam_malamnya yang sunyi dan penuh doa. Aku hanya bisa tertunduk, sambil melirik tangannya. Rasanya, ingin sekali menciumnya.

Sebelum kami berpisah siang itu, ia mengajakku berdoa, untuk mengucapkan syukur pada Allah atas pertemuan yang disebutkan sangat indah ini. Tersentuh oleh seluruh kata_kata yang diucapkannya dan doa_doa yang dipanjatkan membuat mataku tak terasa menitikkan air mata.

"Tuhan, betapa kerdilnya aku......" ucapku dalam hati. (terima kasih Bu Opi...)


Post a Comment for "Bu Opi"