Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PEREMPUAN KEDUA

perempuan kedua

Perempuan berumah di ujung gang itu benar_benar membuat sekujur tubuhku tegang. Cara bicaranya yang lembut, membuat aku kalang kabut. Sungguh aku tak mengira akan jatuh cinta macam anak_anak SMA.

Aku bertemu perempuan itu, ketika menghindari tabrakan dengan ojek. Motor yang aku kendarai dengan membocengkan Dina, anak perempuanku itu, terjerembab di salah satu got, deket rumahnya. Tangis anakku yang meraung_raung, membuat perempuan itu datang menawarkan bantuan. Gini, nama perempuan itu. Dia menggandeng Dina ke rumahnya dengan kasih sayang seorang ibu.

Aroma sabun wangi badan Gini tercium tanpa sengaja olehku, ketika dia memberikan secangkir air putih.

Sejak pertemuan itu, hidupku tak tenang. Aku mulai membanding_bandingkan keadaan perempuan itu dengan Gami, istriku. Seandainya istriku bisa serapi Gini, pastilah aku tambah betah di rumah. Seandainya perut istri serata Gini, pastilah aku tak harus mencari_cari foto_foto wanita cantik di FB ataupun di tabloid. Tetapi, semua membuatku frustasi. Begitu membuka mata, yang kulihat hanyalah tubuh Gami yang mulai berlemak di sana_sini.

Otakku mulai berputar_putar tak karuan. Bagaimana cara agar aku bisa mengunjungi Gini tanpa ada yang curiga. Sungguh ! Dua hari tak bertemu Gini, membuatku seperti orang gila. Mulailah kuatur rencana demi rencana untuk bisa menemuinya. 

Masa SMA

Kucukur habis bulu_bulu yang ada di wajahku. Kusemprotkan minyak wangi di tubuhku. Ah, ternyata aku masih ganteng juga. Kutatap wajahku di cermin. Tak kalahlah dengan Doni Damara," pikirku. Melihat penampilanku, istriku bertanya_tanya. Katanya, aku seperti orang yang sedang puber kedua. Aku bilang saja, semuanya kulakukan karena aku harus foto buat kartu identitas di kantorku besok pagi. Istrikupun tampak paham.

Aku tidak bohong. Memang besok paginya ada acara foto_foto untuk melengkapi kartu identitas perusahaan. Hanya saja, sepulang dari kantor, aku mengajak Dina untuk mengunjungi Gini.

Gini dan dua anaknya, Tono dan Tini menyambut kedatangan kami dengan gembira. Dina langsung bermain sepeda dengan mereka. Aku pun duduk berdua dengan Gini di ruang tamu. Dari percakapan sore itu, aku tahu kalau Gini seorang pengajar bahasa Inggris di salah satu lembaga bahasa. Satu ide melintas. Saat itu, aku meminta Gini untuk memberikan kursus bahasa Inggris untuk Dina, karena Dina berumur 4 tahun. Sudah saatnya belajar bahasa Inggris. Gini setuju untuk memberi kursus Dina setiap hari Senin dan Rabu. Ketika pulang ke rumah dan kurundingkan dengan Gami tentang kursus itu, dia tak keberatan sedikitpun.

Sejak itu, hari Senin dan Rabu merupakan hari yang sangat kutunggu_tunggu. Kursus berlangsung selama satu jam saja, tetapi Dina selalu meminta untuk tinggal di rumah Gini agak lama, karena dia ingin bermain bersama Tini dan Tono. Jadilah aku punya alasan untuk ngobrol panjang lebar dengan Gini.

Berbicara dengan Gini, aku serasa menemukan masa mudaku lagi. Ternyata Gini suka puisi. Lantaran bicara puisi_puisi Gibran, kami menjadi akrab dan terbuka.

Gini juga bercerita tentang seorang duda, yang menjadi direktur lembaga bahasa tempat ia bekerja itu, beberapa kali memintanya untuk menjadi istrinya. Bagi Gini, penampilan duda itu tak menarik. Dia lebih suka lelaki yang suka menghadiahinya puisi, seperti almarhum suaminya.

Tahu akan hal itu, aku pun getol menghadiahi satu puisi buat Gini setiap pagi. Puisi itu aku serahkan sebelum aku pergi ke kantor. Sepulang kerja, aku pun sering mampir ke rumahnya hanya untuk mencekoki Gini dengan kata_kata yang menghiba_hiba tentang penderitaanku sejak menikahi Gami.

"Jangankan merawat anak dan suami, merawat diri pun dia tak mampu. Daster kumalnya menjadi pemandanganku sehari_hari. Makanan hambar alakadarnya menjadi menuku sehari_hari. Tempat tidur bau ompol anak, menjadi alas tidurku sepanjang malam. Dengkuran istriku menjadi musik pengantar tidurku. Secangkir teh atau kopi sepulang kerja hanyalah impian. Aku sangat menderita !"

Gini memandangku dengan muka murung. Sepertinya aku sudah berhasil menarik simpatinya dengan rahasia_rahasia rumah tanggaku. 

"Seandainya istriku itu adalah kamu, Gini....."

Pipi Gini merona. Matanya berkejapan. aku merasa terbang ke langit ketujuh. Seperti berdendang, kata_kata itu terus ku ulang_ulang.

Lama_kelamaan, aku punya keyakinan, kalau Gini juga menaruh perhatian terhadapku. Oleh karenanya, dengan mengumpulkan segala keberanian, aku menyatakan cinta di beranda rumahnya ! Gini tersentak. Tetapi di wajahnya, aku melihat kebahagiaan yang menggelegak.

Dia berkata, "Mas 'kan sudah punya istri....."

"Tapi kau kan tahu kalau aku menderita ?"

"Selesaikan baik_baik hubungan mas dengan istri. Kalau memang Mas tak bahagia, Mas harus menceraikannya secara baik_baik atau minta izin kepadanya untuk menikahiku."

Aku bersorak. Masalah dengan istriku ? Gampanglah diatur.

Dengan hati berbunga_bunga, aku pulang ke rumah. Begitu malam tiba, kutidurkan Dina sebelum jamnya. Selain itu, kubuatkan istriku mi instant, makan sepiring berdua, Gami menatap curiga tetapi dia tampak bahagia.

Pada minggu ketiga, mulailah aku bercerita tentang banyaknya orang_orang yang perlu disantuni. Anak yatim dan janda yang terlunta_lunta. Gami yang mudah tersentuh sangat terharu, tetapi menjadi pilu ketika aku mulai mengemukakan pintu surga bagi istri yang merelakan suaminya menikahi janda miskin.

Dari tatapan matanya, aku tahu hatinya teriris. Tapi tekadku tak terkikis. Kupeluk dia. Di telinganya, kubisikan betapa aku mencintai dia dan berjanji semuanya takkan berubah. Istriku menatapku. Dia bilang, dia ingin bertemu Gini. Aku pun setuju. Kucium keningnya. Kuusap_usap rambutnya sampai dengkurnya terdengar. Malam itu, dia terlelap di pelukanku.

Akhirnya di rumahku, kedua perempuan itu bertemu. Dari jendela rumahku, aku bisa melihat kalau istriku tampak tegang dan Gini tampak salah tingkah. Tetapi, beberapa saat kemudian mereka bersalaman, mulai bicara dan akhirnya tertawa_tawa. Sejak itu, keduanya memang tambah akrab. Aku lega. Hajadku ada di depan mata !

Pagi ini, ketika aku hendak menyelipkan satu puisi di rumah Gini, aku mendapati rumah Gini lengang. Suara keributan anak_anak Gini karena hendak bersiap_siap berangkat ke sekolah, tak kudengar.

Kuketuk rumahnya berkali_kali. Tak ada yang menjaawab. Aku semakin keras mengetuk pintunya. Sepi !

Kugedor dan kugedor lagi pintunya. Kali ini, ibu Karto, tetangga sebelah rumahnya, muncul dan mengabarkan bahwa Gini dan anak_anaknya pulang ke kampung halaman untuk mempersiapkan pernikahannya dengan direkturnya !

Gini, perempuan ranum yang hendak kujadikan istri keduaku, hendak menikah dengan tanpa memberitahuku sama sekali.

Kurasakan perasaan tersinggung mulai menggelegak di dadaku ! Dalam keadaan limbung, aku ingat istriku. Perempuan setia yang selalu menerimaku apa adanya. Boleh jadi tubuhnya menjadi tak terawat, karena waktunya habis buat mengurus rumah tangga dan uang belanja yang kuberikan dihabiskannya buat urusan keluarga daripada untuk dirinya sendiri. Tiba_tiba, aku ingin memeluk istriku dan meneriakkan betapa tak ada perempuan lain yang lebih aku butuhkan didalam hidupku selain dirinya.

Sepeda motor pun kukebut dengan kecepatan tak kira_kira. Sampai di rumah, kembali aku terpana. Kudapati rumahku tak berpenghuni. Kuperiksa pot tanaman, tempat Gami biasa menyimpan kunci kalau dia harus pergi. Di situ kutemukan kunci rumahku dan sepucuk surat.

Mas Poli, 

Merangkai kata, aku memang tak pandai tetapi semoga yang akan kusampaikan ini bisa kau mengerti.

Beberapa bulan yang lalu, ada seorang pria yang perhatiannya membuatku berbunga_bunga.

Tetapi kemudian aku sadar bahwa cinta itu seperti tanaman. Dia bisa mati kalau kita tak merawatnya. Nah ! Cinta yang kita bina sudah layu ! Hampir mati ! Kalau aku mencoba merawat tanaman lain, bagaimana mungkin aku bisa yakin kalau dua_duanya tak mati ? Sedang merawat satu tanaman saja, aku tak bisa ?

Oleh karenanya, aku memutuskan untuk merawat cinta kita dan mematikan cinta_cinta yang lain. Bagiku keluarga di atas segala_galanya.

Tetapi, takdir bicara lain. Mas memilih hendak membawa tanaman lain dengan cara menikah lagi. Bagiku, dua orang istri terlalu banyak dalam satu pernikahan dan susah bagiku untuk berbagi perasaan. Daripada aku tertekan, akhirnya kuputuskan untuk melayangkan gugatan cerai ke pengadilan agama. Dengan demikian, kita bisa berbahagia dengan merawat satu cinta di keluarga masing_masing. Mas menikah dengan Gini. Aku pun akan bahagia karena Mas Mono, tetangga kita yang pernah memberikan perhatiannya kepadaku itu, berjanji akan menikahiku begitu selesai masa idahku.

Salam,

Gami.

Aku merasa tubuhku dipukul_pukul dengan martil hingga lenyap terkubur rencana_rencanaku sendiri. Kupandangi rumah Mono. Tiba_tiba, aku ingin membunuh perjaka tua itu ! 

Sekian, semoga kita mengambil hikmahnya !


Post a Comment for "PEREMPUAN KEDUA "