Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Duduk di Tepi Sungai

duduk di tepi sungai

Cucunya tertawa terkekeh_kekeh. Ia meraup remah_remah roti dari telapak tangannya yang bergurat kasar. Melemparkannya ke pasir putih. Lantas merpati itu mematukinya. Angin menggelepar ditingkah bunyi sayap mereka, yang datang dan pergi sesekali. Suara sungai seperti aliran mimpi.

"Terbangnya cepat dan tinggi ?" tanya si cucu, sambil terus memandangi makhluk bersayap itu tanpa berkedip.

"Tentu saja, coba lihat matanya...."

Dan lelaki tua yang telah merasuki hidup itu pun bercerita tentang mata, paruh, dan bulu_bulu dan warna_warna, dan segala macam hal tentang merpati yang diketahuinya. Ia memindahkan seluruh pengalaman hidupnya pada si anak. Dan si anak merekam seluruh pengalaman hidupnya pada si anak. Dan si anak merekam seluruh pengalaman hidup orang tua itu.

"Merpati juga sering disebut burung dara, kamu tahu kenapa ?"

"Tidak."

"Aku juga tidak. Orang_orang tua seperti aku tidak pernah diberi pelajaran Bahasa Indonesia. Mestinya kamu lebih tahu."

"Aku akan tahu nanti, sekarang belum." Anak itu menjawab sambil menatap mata kakeknya. Mata anak itu bening, tajam dan bercahaya, bagaikan memancar langsung dan menyelusup ke dalam mata kakeknya. Mata kakeknya juga bercahaya, tapi tidak lagi begitu bening dan tidak lagi begitu tajam. Mata itu juga menusuk langsung ke dalam mata cucunya. Kakek itu melihat masa lalu lewat mata cucunya. 

Dulu ia juga mengenal banyak hal dari kakeknya. Ia mengenal lumpur sawah. Ia mengenal kerbau. Ia mengenal bunga rumput. Ia mengenal seruling. Ia mengenal suara sungai. Itu semua dari kakeknya. Lantas terpandang telapak tangannya sendiri yang keriput. Ia teringat telapak tangan kakeknya. Telapak tangannya sendiri dulu juga seperti telapak tangan cucunya.

"Itu semua sudah berlalu," batin kakek itu sambil terus memandang mata cucunya. Ia seperti mencari sesuatu dari dirinya sendiri dalam diri cucunya.  "Tentu ada sesuatu dari diriku, batinnya lagi, "seperti juga ada sesuatu dari diri kakekku dalam diriku."

"Apakah kakek dulu juga bersekolah seperti aku ?"

"Aku tidak pernah sekolah, Nak, aku dulu belajar mengaji."

"Mengaji ?"

"Ya, mengaji. Kamu tahu kan ? Sebetulnya itu sekolah juga. Ayat_ayat kitab suci mengajarkan bagaimana hidup yang benar."

"Kenapa bapak tidak mengajari aku mengaji sekarang ?"

"Tanyakan saja sendiri. Mungkin karena waktumu habis untuk sekolah. Kamu selalu pergi sampai sore."

"Kalau memang kitab suci mengajarkan hidup yang benar, sesungguhnya bapak menyuruh aku belajar mengaji."

"Ya, tapi banyak orang berpikir belajar mengaji itu aneh di zaman sekarang. Mungkin bapakmu juga berpikir begitu. Ia berpikir kamu lebih baik belajar bahasa Inggris."

"Apakah hidup kita akan tidak benar kalau tidak pernah belajar mengaji sama sekali ?"

Kakek itu terpengaruh. Keningnya berkerut. Ia menatap mata cucunya yang bening dan polos bercahaya. Itulah pertanyaan yang pernah ia ajukan pada kakeknya dulu. Tapi ia tak ingin menjawab pertanyaan cucunya dengan jawaban kakeknya. Ia sendiri sudah lama berusaha menjawab pertanyaan_pertanyaan. Sekarang ia merasa harus berusaha keras menjawab pertanyaan cucunya itu, karena ia berpikir akan teringat sampai mati. Sering kali ia merasa sudah menemukan jawaban, tapi ia takut itu merupakan jawaban yang tidak sesuai untuk cucunya. Selama ini ia memang sudah menemukan keyakinan, namun ia juga ingin cucunya menemukan keyakinan sendiri.

"Tanyakan saja pada gurumu, Nak. Tentunya ia punya jawaban yang bagus."

"Guruku tidak pernah menjawab, Kek, ia hanya mengajarkan bagaimana caranya agar aku menemukan jawaban."

"Wah, kalau begitu sekolahmu itu pasti sekolah yang bagus. Kamu beruntung sekali, Nak, kamu sangat beruntung...."

Anak kecil itu masih memandang mata kakeknya tanpa berkedip. Mereka saling bertatapan dan saling merasuki lorong kehidupan yang panjang ke masa lalu dan ke masa depan. Orang tua itu teringat kembali ia dulu juga menatap mata kakeknya begitu lama dan ia waktu itu merasakan rekaman sebuah perjalanan panjang sedang memasuki dirinya dan kini ia tengah memindahkan perjalanan kakeknya dan perjalanannya sendiri dalam diri cucunya dan ia membayangkan apakah cucunya kelak setelah menjadi kakek akan memindahkan perjalanan leluhurnya ke dalam diri cicitnya.

Sungai itu mendesah. Burung dara mengepakan sayap. Desah sungai selalu seperti itu dan kepak sayap burung juga selalu seperti itu tapi manusia selalu berubah.

Kakek itu mendengar cucunya tertawa terkekeh_kekeh. Burung_burung mematuki remah roti di telapak tangannya dan anak kecil itu merasa geli dan karena itu ia tertawa terkekeh_kekeh. Kakek itu memandang cucunya berlari_lari melintasi kerumunan burung_burung sehingga burung_burung itu beterbangan sebentar sebelum merendah kembali mematuki remah_remah roti di antara kerikil. Cucunya berlarian di atas kerikil bercampur pasir putih yang bersih.

"Ini sebuah tempat yang bagus, "pikir orang tua itu. Di seberang sungai itu ada pohon_pohon yang rindang, ada pagar bambu saung Seruni dan di luarnya ada villa Seruni membayang hamparan hijau bertengger pepohonan tua diantara gedung Balai desa Tempel _ Lelea dan Taman ke sebelah utara.

Mata orang tua itu berkedip_kedip karena silau.

"Kakek ! Ke sini !"

Terdengar cucunya memanggil.

Orang tua itu duduk mendekat. Ia melihat cucunya duduk di tepi sungai. Sungai itu airnya jernih. Dasarnya terlihat jelas. Terlihat ikan bergerak_gerak di celah batu. Ia memandangi cucunya, ingin tahu anak itu mau berkata apa. Tapi anak kecil itu hanya membenamkan dagu di antara kedua lututnya. Seperti mendengarkan sungai. Remah_remah roti yang mereka bagikan telah habis. Burung_burung melayang pergi. Mereka berdua memandang burung_burung itu beterbangan di langit. Makin lama makin menjauh dan menghilang seperti masa yang berlalu. Tak terdengar lagi kepak sayap burung. Tinggal suara sungai yang gemercik dan udara yang bergetar ditembus cahaya matahari. (oleh Seno GA)

Post a Comment for "Duduk di Tepi Sungai"