Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PANGERAN GEUSAN ULUN PRABU SUMEDANG LARANG (bag_4)

ilustrasi naskah Sumedang larang

Adegan_5

Geusan Ulun keluar dari tempat persembunyiannya, para panakawan diikuti lengser dengan kebingungan mengikuti dari belakang. Harisbaya dan Emban terkejut. Berdiri dan mundur. Telekung Harisbaya terbuka memperlihatkan wajahnya. Dari jauh seruan para penjaga, suara senjata, tameng yang tertanggal...

Geusan Ulun
Kalau kau raja, jadilah raja terhadap dirimu, terhadap dunia ini. 

Harisbaya
Siapakah kau ? Hai satria yang malang ! mengapa menyia_nyiakan usia hijau di taman terlarang ? Dengan jeritan para Pujangga kau datang menghabisi harimu di mata lembing dan pedang.

Geusan Ulun
Hamba, Geusan Ulun. Putra Sumedang Larang yang memutuskan untuk menjadi raja terhadap nasibnya, terhadap dunia.

BABAK II

Adegan _1

(Dalam sebuah taman di samping Istana Kutamaya, Sumedang Larang. Pepohonan dan sebuah tempat duduk. Kawung Anten duduk. Sancawiru berdiri tidak beberapa jauh daripadanya dengan bunga di tangannya).

Sancawiru
Langit mengerlipkan bintang pilihan pada kedua malam, bumi merekahkan kuntum mawar, pada bibirmu adalah para Pohaci lupa memberikan padamu sebuah hati, sebuah jantung yang mendenyutkan hangat kasih. Tiga musim telah kau rangkai ratu aneka bunga, kupetik dari tangkai duri di rimba raya namun semua layu semata di tanganku. Tiada hujan tangis akan menghidupkannya kembali. Kali ini untuk terakhir sekali kubawa jalinan mawar dan melati akan kupersembahkan padamu untuk diterima atau dicampakkan di depan mataku sekali.

(Sancawiru bergerak untuk memberikan bunga, tapi Kawung Anten malu_malu)

Adegan_2

(Datang Layungsari. Sancawiru berusaha menyembunyikan bunga sambil menjauh dari Kawung Anten).

Layungsari
Tak pernah sekuntum bunga mekar di padang dunia tanpa disertai kuntum kasih dalam hati manusia. Demikianlah kudengar nyanyian burung pergi tentang kebenaran hidup, tentang kemolekan hari.

Sancawiru
Burung_burung kecil, burung_burung yang bahagia selalu menemukan nada dalam kelopak bunga dan setelah mereguk sedalam_dalamnya tentu mereka berkata manis tentang dunia.

Layungsari
Adakah dunia yang lebih cantik daripada yang ini, adikku ? Tunjukkan kiranya padaku, di bawah langit mana ?

Sancawiru
Ada dunia yang lebih buruk dan itu terdapat dalam hatiku sendiri.

Layungsari
Demi Sunan Ambu ! Demi isi khayangan. Semoga cuma lidahmu saja yang mengucap kata_kata sepahit itu !

Sancawiru
Dan kalaupun hamba bicara dari hatiku tak ada telinga yang mau mendengar, tak ada rasa yang akan tergugah.

Layungsari
O, Tidak, Sancawiru, Adikku ! hatiku telah mendengar duka yang tak kau ucapkan dalam kata. Apakah yang telah terjadi diantara kalian berdua ?

(Memandang ke arah Kawung Anten, lalu bergerak dan duduk disampingnya).

Kawung Anten
Tak ada yang terjadi, Kakanda. Tak ada......

Sancawiru
Tak ada yang terjadi. Sesungguhnyalah, tak ada. Kecuali bunga_bunga yang buruk dan hina ini akan layu di tanganku untuk selama_lamanya.

Kawung Anten
O, Tidaklah sekali_kali bunga_bunga itu buruk dan hina. Tak pernah hamba lihat bunga yang lebih indah daripadanya.

Layungsari
Alangkah indahnya, mawar dan melati. Lambang gairah kasih dan kesucian hati.
(Mengambil bunga itu darri tangan Sanca Wiru).
Marilah kuhiaskan dirambutmu, Anten. Ingatlah kuntum ini hanya kembang semusim saja. Mengapa ragu_ragu menerimanya ? Kalau dalam mimpimu sebenarnya engkau telah berulang_ulang menekannya ke hati, menyuntingkannya dalam jalinan rambutmu....

Kawung Anten
Kakanda, ah.. Kakanda..........

(Layungsari berjalan hendak menghiaskan bunga itu di rambut Kawung Anten. Kawung Anten tertunduk malu).

Sancawiru
Lebih baik bunga_bunga itu layu saja daripada mekar di rambut yang tidak menginginkannya. Walaupun bumi tak akan menumbuhkannya sekali lagi.

Layungsari
Aku mendengar apa yang kau ucapkan dengan lidahmu, tapi kudengar juga bisikan dalam hatimu berdua sekarang, adikku berdua buanglah pengalaman pahit masa lalu. Akan jadi kenangan manis dan daripadanya hatimu akan mereguk bahagia sampai hari tua.

(Ketika Layungsari akan meletakkan bunga itu, terdengar suara telapak kaki kuda, mereka semua berpaling, Kawung Anten berdiri dari tempat duduknya).

Post a Comment for "PANGERAN GEUSAN ULUN PRABU SUMEDANG LARANG (bag_4)"