Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PANGERAN GEUSAN ULUN PRABU SUMEDANG LARANG (bag.2)

putri Harisbaya


Empat orang panakawan Geusan Ulun, yaitu; Nangganan, Sang Hyang Hawu, Kondang Hapa, dan Terongpeot datang dengan keris terhunus. Setelah mereka masuk dan saling mengenal satu sama lain mereka menyarungkan senjata lagi. Kecuali Batara Lengser dan Sang Hyang Terongpeot.

Kondang Hapa
Telah kami susuri seluruh lereng dan bukit di selutuh kota Cirebon Raya. Telah kami susupi setiap bayang yang telah dijatuhkan gumpalan mega. Karena Gusti lenyap dimata kami, dan bahaya membayang di mata kami.

Nangganan
Izinkan kami menjemput Gusti. Pulang segera ke Pesanggrahan, atau izinkan kami menjaga Gusti, hidup atau mati disisi Tuan.

Geusan Ulun
(kepada dirinya) Malam, Rumah, segala yang menyenangkan cumalah bagi kanak_kanak atau orang yang sederhana, yang menerima dunia seperti adanya, yang menerima hidup dengan kedua tangan. Pulanglah Mamanda lebih dulu......

Kondang Hapa
Tanpa Gusti tak kan pulang. Gustilah permata yang dititipkan oleh rakyat Sumedang Larang. Gustilah azimat Ibunda Suri Pucuk Umun di Sumedang Larang menantikan Gusti di Kutamaya.

Terong Peot
Marilah segera pulang. Atau sedikitnya keluar dari gerahan maut ini, karena sebagaimana Gusti mengetahui Pamanda Girilaya melarang. mengancam dengan hukuman mati, barang siapa masuk ke dalam taman, mendekati Tuan Putri. Marilah pulang bersama kami sebelum para penjaga mendengar atau melihat bayang_bayang kita jatuh di tanah terlarang.

Geusan Ulun
(setelah halilintar berbunyi). Rupanya sepasukan Gurindam dan sepasukan siluman sedang berjuang di padang_padang angkasa gemuruh. Langkah_langkah besi, angin bagai ringkik kuda, berdentum_dentum bunyi senjata beradu, berkilat_kilat mata pedang dan lembing. O, adakah perjuangan yang lebih hebat daripada peperangan yang terpendam di medan_medan dalam kalbu manusia ?

Nangganan
Ada sesuatu yang salah dengan Tuanku. Gusti sudah berhari_hari membisu. Awan menjatuhkan bayang menyuramkan muka Gusti. Sudah berhari_hari membisu. Kamilah yang saling bertanya_tanya karena cemas meramal malapetaka. Dan kini, Gusti pertaruhkan jiwa Sumedang Larang menantang maut di taman terlarang.

Kondang Hapa
Bukalah hati Tuanku kepada kami. Bagilah segala duka melalui kata_kata. Demi hidup mati cumalah bagi Gusti semata.

Terong Peot
Sesungguhnyalah, marilah kita dengar supaya pertimbangkan. Supaya kami carikan jalan keluar dari segala persoalan yang menyusahkan hati Gusti. Supaya kami mencari jalan keluar dari Taman ini dan dari ancaman hukuman mati.

Kondang Hapa
Berilah kami sepatah kata walaupun Gusti meminta nyawa sebagai ganti. Gusti lah hidup_mati Sumedang Larang. Tiada lah harga kami disisi Gusti.

Geusan Ulun
Lepaskan hamba memandang sekali lagi. wajah jelita Putri Harisbaya. Dan, besok marilah kita pulang ke Kutamaya.

Nangganan
Demi segala penghuni angkasa. Tak ada_lah halilintar lebih mengejutkan daripada sabda Gusti Prabu.

Sang Hyang Hawu
Marilah kita satukan usul dalam kata_kata, lalu kita ajukan pada sang Prabu.

Nangganan
Sudah kutemukan jawab yang baik bagi Gusti Prabu dan Sumedang Larang. Kita akan pulang ke Kutamaya. Di sana memilih sepasang dara jelita sebagai penglipur hati Sang Prabu dalam menghapus kenangan.

Terong Peot
Biarlah segera kami dengar usulmu, Sang Hyang Hawu. Ingatlah, kita berada dalam taman malapetaka. Katakanlah sebelum penjaga melihat kita, supaya kita cepat_cepat keluar tanpa terluka.

Sang Hyang Hawu
Putri Harisbaya hidup sebagai tawanan Putri Pajang yang dijadikan bunga istana Mataram. Sayang, Putri dipersembahkan kepada Raja Cirebon, Girilaya. Sebagai tanda persembahan agar Girilaya membantu Mataram dalam menghadapi Banten, sebagai burung jelita yang terkurung dalam sangkar emas, betapa kita saksikan dukanya Sang Putri. Bagaimana kalau kita mencari Sang Putri, lalu kita melarikannya ke Sumedang Larang dan menyembunyikannya dalam puri dalam kutamaya.

Nangganan
Demi segala siluman yang menyiksa malam ini. Kata_kata apalah kau ucapkan Sang Hyang Hawu ? Mengapa pula kau racuni hati Sang Prabu ? Kondang Hapa, segeralah katakan kepada kami, bagaimana pikiranmu dalam menentukan nasib kita, nasib rakyat Sumedang Larang dan Kutamaya. Biarlah segera Sang Hyang Hawu mengetahui, bahwa lidahnya terpaksa melawan tiga lidah kita.

Kondang Hapa
Ketahuilah Nangganan, bahwa usulku adalah gema usul Sang Hyang Hawu. Bahwa kata_kataku adalah suara Sang Hyang Hawu. Kami punya dua lidah, tapi kata cuma satu. Lebih baik kita melariakan Sri Ratu, karena hal itu akan lebih baik bagi Sang Prabu. Yang berarti: lebih baik bagi Sumedang Larang, demikianlah pikirku.

Nangganan
Demi segala pujangga dan pohaci. Demi segala isi khayangan, Rupanya dunia sudah begini tua. Kalau tidak, tentu penghuninya. Akan lebih merelakan seorang Putri, daripada seluruh rakyat yang tak berdosa, yang tak tahu apa_apa di Sumedang Larang ! Kalau kita larikan Putri ke Sumedang Larang pasti itu berarti perang ! Perang ! Perang ! Berarti pembunuhan yang besar_besaran, dan pembakaran, perampokan, kelaparan dan penyakit ! Sungguhkah kalian rela, Kondang Hapa, Sang Hyang Hawu ? Mengorbankan beribu_ribu rakyat Kutamaya dan Sumedang larang mungkin menjadi abu demi seorang putri jelita.

Sang Hyang Hawu
Janganlah kau katakan demi Kutamaya. Jangan pula kau katakan demi Harisbaya. Katakanlah demi Sang Hyang Tunggal yang mengerahkan kemerdekaan bagi tiap manusia.

Nangganan
O, pemimpi, pemimpi yang tak pernah terjaga ! Engkau berkata kepada langit dan bukan kepada kami. Engkau berbicara pada para Pujangga dan para Pohaci, bukan pada manusia. Apa kau kira lidah manusia cukup suci untuk membentuk kata_kata merdu bagi telinga mereka yang sakit ? Berpikirlah seperti manusia, berkatalah pada manusia, isi khayangan tak akan mendengarkan katamu. Mereka cuma akan merasa terganggu dan akan menghukum kita dengan perang! Perang! Perang !

Sang Hyang Hawu
Andaikan anakmu seperti Tuan Putri. Dikurung di sini didalam puri sebagai tawanan dan mainan Girilaya. Akan kau tantang isi dunia !

Terong Peot
Demi siluman yang mengacaukan hati orang. Ingatlah, kita berada dalam taman terlarang. Kita sedang berunding dan bukan bertengkar. Cepat putuskan dan cepatlah keluar !

Kondang Hapa
Kata penghabisan adalah milik Sang Prabu. Mengapakah kita mesti bersaing dan bersilang lidah kalau tidak menyatulah hati ? Marilah segalanya kita serahkan kepada beliau. Lalu kita menanti segala perintahnya.

Bersama
Gusti, pada Gustilah terletak kata putus. Katakanlah apa yang harus kami perbuat bagi Gusti dan rakyat Sumedang Larang.

Geusan Ulun
(pada dirinya). Kalau kau seorang raja, jadilah raja terhadap hatimu, terhadap dirimu sendiri. Ketika Mamanda berdebat satu sama lain, Geusan Ulun berdebat dengan dirinya sendiri untuk sebuah kata putus yang dapat digantungi oleh nasib Sumedang Larang, mengurungkan maksudnya menemui Harisbaya.

Terong Peot dan Nangganan
Sesungguhnyalah Gusti dilahirkan sebagai seorang raja tidak sia_sialah pujaan rakyat Sumedang Larang yang kini menanti Gusti di Kutamaya. Akan Paman persembahkan sepasang dara jelita. (Nangganan). Akan Paman persembahkan kuda perkasa (Terong Peot). Sekarang marilah kita berlalu sebelum maut meminta nyawa kita, yang selama ini kita pertaruhkan dengan sia_sia di taman malapetaka.

Geusan Ulun
Marilah kita ke pasanggrahan, untuk bertapa, berlupa, berlupa.....

Post a Comment for "PANGERAN GEUSAN ULUN PRABU SUMEDANG LARANG (bag.2)"