Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MENGENANG SOSOK H. HARMOKO MANTAN MENTERI PENERANGAN RI

H. Harmoko is an Indonesian politician who served as Minister of Information during the New Order era, and Chairman of the MPR during the reign of BJ Habibie.
H. Harmoko
H. Harmoko adalah politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan Indonesia pada masa Orde Baru, dan Ketua MPR pada masa pemerintahan BJ Habibie. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia, dan kemudian menjadi Menteri Penerangan dibawah pemerintahan Soeharto.
[dikutip dari beberapa sumber, baik itu tulisan media nasional maupun referensi lain]

Julius Caesar mendelik sambil memegangi tubuhnya yang ditikam pisau. “Et tu Brute?” Caesar heran. Tak menyangka keponakan yang dianggap sebagai anak angkatnya itu bersekutu dengan sejumlah Senat Roma untuk membunuhnya. Berakhirlah hidup penguasa Romawi yang gemilang itu. Mati karena pengkhianatan orang yang sangat dipercayainya. Pembunuhan Caesar juga menobatkan Brutus sebagai salah seorang pengkhianat terbesar sepanjang masa. 

Di Indonesia, banyak yang menyebut peristiwa ini seperti kisah Soeharto dan Harmoko. Pada era Orde Baru, 14 tahun lamanya Harmoko menjadi Menteri Penerangan sebagai corong utama penguasa. Tentu rakyat yang hidup saat Orde Baru berkuasa sangat akrab dengan ciri khas Harmoko. “Menunggu petunjuk Bapak Presiden.” Inilah kata_kata yang sering kita dengar pada masa itu atau sebagai ciri khas beliau. 

Ia yang menjabat sebagai Menteri Penerangan selama 14 tahun itu memang bertugas menjelaskan apa yang menjadi perhatian Presiden lewat ucapan khas “Menurut petunjuk Bapak Presiden…” Harmoko memang demikian. Aksi panggungnya yang menghibur dan teatrikal pernah menjadi senjata utama Partai Golongan Karya dalam menaikkan pamor di peta politik Indonesia. Harmoko, bagi warga Indonesia kelahiran Orde Baru mungkin tahu namanya sebagai akronim yang menggelitik: hari-hari omong kosong. Tapi, Harmoko pun tahu ia punya julukan itu. “Tenang saja, nggak ada beban buat saya,” katanya. Tersenyum, ia mengaku bangga menyandang julukan Harmoko apabila diartikan dengan hal-hal yang ia percayai sendiri. “Bisa saja hari-hari omong koperasi, hari-hari omong komunikasi, nggak ada beban buat saya,” ujarnya terkekeh.

Menjelang Pemilu 1998, Soeharto sebenarnya sudah berniat mundur. Dia bertanya apakah rakyat masih menginginkan dia jadi presiden, kalau tidak Soeharto siap lengser keprabon. Nah, Harmoko merupakan salah satu orang yang mengusulkan agar Soeharto kembali menjabat sebagai presiden untuk periode 1998-2003 sebelum pelaksanaan Sidang Istimewa MPR. 

Harmoko berusaha meyakinkan dengan memberikan data-data bahwa rakyat masih menginginkannya menjadi presiden dan tidak ada calon lain yang pantas menduduki jabatan itu. Karena penjelasan Harmoko, Soeharto mau kembali dicalonkan. Sesuai rencana, sidang yang digelar pada tanggal 10 Maret 1998, sebagai Ketua MPR, Harmoko sukses mengendalikan Sidang Umum MPR untuk memperpanjang masa kepresidenan Soeharto sekali lagi. “Mencalonkan Bapak Haji Muhammad Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia kembali,” teriak Harmoko saat membacakan keputusan sidang. Disambut gemuruh tepuk tangan para peserta sidang umum MPR. Tepuk tangan semu itu tak lama waktunya. Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa dan elemen masyarakat mendesak Soeharto turun tahta. Aksi demo kemudian diikuti tragedi kerusuhan Mei 1998 yang penuh darah dan air mata.

sumber Tempo

Massa mengepung dan menduduki Gedung MPR/DPR selama beberapa minggu. Tanpa diduga, dalam hitungan kurang dari tiga bulan atau tepatnya pada 18 Mei 1998, Harmoko mengeluarkan keterangan pers dan meminta agar Soeharto mundur. “Pimpinan Dewan baik Ketua maupun Wakil-Wakil Ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,” kata Harmoko dalam pidatonya ketika itu. 

Banyak yang menduga, pernyataan itu keluar karena Harmoko merasa ketakutan. Rumah keluarga Harmoko di Solo memang sudah dibakar massa. Apakah kondisi itu membuat Harmoko memilih untuk balik badan dan melawan orang yang telah membesarkan namanya? Atau Harmoko tahu akhir Soeharto dan Orde Baru sudah dekat. Soeharto mundur tanggal 21 Mei 1998. Keluarga Cendana menganggap Harmoko orang yang paling berdosa atas lengsernya The Smiling General dari tahta . 

Harmoko kini sudah sepuh, 78 tahun, dan kondisi fisiknya terus menurun. Ia beraktivitas dari atas kursi roda. Bicaranya pun pelan dan sudah tak jelas. Padahal, sosok Harmoko pernah menjadi orang nomor dua di Golkar (meski ia menjadi ketua umum, ada Soeharto di situ), partai nomor satu dan penguasa politik Indonesia selama 32 tahun. Nama Harmoko meroket didinamika politik Indonesia pada tahun 1983, saat ia ditunjuk menjadi Menteri Penerangan. 

Namanya terus berada di lingkaran kecil kekuasaan Soeharto, sampai tiba-tiba tahun 1997 dia dicopot Soeharto dari posisi kementerian yang melambungkan popularitas namanya itu. Ia kemudian dibuatkan pos sendiri oleh Soeharto, sebagai Menteri Negara Urusan Khusus. Harmoko hanya menjabat dari 6 Juni hingga 1 Oktober 1997, tak sampai empat bulan. Tak pernah benar-benar jelas untuk apa pos kementerian itu dibuat, karena posisi Harmoko berganti lagi menjadi Ketua DPR/MPR RI hingga tahun 1999. Di pos itulah Harmoko justru mengambil posisi antagonis dalam proses berakhirnya Orde Baru. Ia yang dikenal sebagai tangan kanan Soeharto selama berpuluh-puluh tahun tiba-tiba berganti posisi menjadi orang yang harus mendorong hancurnya Orde Baru.

Harmoko, pada 18 Mei 1998, mengumumkan bahwa Soeharto harus mau turun. “Dalam menanggapi situasi seperti tersebut diatas, pimpinan Dewan, baik Ketua maupun Wakil-wakil Ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,” kata Harmoko, mengeluarkan “vonis”-nya. Padahal, beberapa hari sebelumnya, Harmoko masih menolak ada orang lain yang pantas menggantikan Soeharto. Ia sendiri yang bersusah-payah melakukan Safari Ramadhan ke berbagai daerah di Indonesia untuk meyakinkan Soeharto bahwa rakyat masih menginginkannya menjadi presiden pada tahun 1997, di dekade ketiga Soeharto memimpin Indonesia.

Lalu mengapa Harmoko tiba-tiba berbalik mendorong Soeharto turun? “Harmoko berani mengeluarkan pernyataan yang meminta Presiden mundur (18 Mei pukul 14.00 WIB) karena ia telah mengantongi sikap Fraksi Golkar, ucap Hasan Sadzili, salah seorang anggota Partai Golkar di DPR, tahun 1998. 

Harmoko, yang memang Ketua Umum Golkar sekaligus Ketua DPR/MPR, mau tak mau mengumumkan keputusan bersama tersebut. “Misalnya waktu saya menyampaiken aspirasi rakyat, masyarakat, minta kepada Presiden Soeharto untuk mundur, dengan jelas, ‘Pak, ini aspirasi, Pak. Saya menganut ajaran Bapak, supaya DPR itu menyampaikan yang benar itu benar,” ucap Harmoko dalam wawancaranya dengan Watchdoc soal pernyataannya yang mendorong Soeharto mundur. “Makanya saya dituduh Brutus, dituduh mengkhianati, menohok dari belakang… Nggak ada itu!” ucap Harmoko, menolak tuduhan berkhianat. 

Tetap saja, julukan Brutus kadung tersemat didada Harmoko. Ia dianggap sama dengan Marcus Junius Brutus yang mengkhianati Julius Caesar, ribuan tahun lalu. Sikap Soeharto dan keluarganya yang tak mau ditemui sama sekali oleh Harmoko memperkuat adanya perasaan terkhianati dikubu Cendana. Bahkan ketika Harmoko hendak menjenguk Soeharto yang sekarat di RSPP, hanya istri dari adik tiri Soeharto, Probosutedjo, yang menemui Harmoko. 

Meski begitu, keretakan hubungan keduanya kemungkinan terjadi bahkan sebelum gonjang-ganjing reformasi. Masalah ini pulalah yang kemungkinan besar membuatnya kehilangan kursi Menteri Penerangan di tahun 1997. Saat itu Rancangan Undang-Undang Penyiaran sedang digodok. Disitu, Harmoko menjadi sasaran tembak dari anak-anak Soeharto. 

Anak-anak Soeharto yang banyak berbisnis dibidang pertelevisian Indonesia, mendorong agar izin stasiun swasta dibuat seumur hidup, bukan 5 tahun seperti yang disetujui Panitia Kerja di DPR. Namun begitu, Panitia Kerja yang membahas RUU tersebut menolak mentah-mentah usulan dari anak-anak Soeharto. Masalahnya, Harmoko yang menjadi wakil pemerintah justru setuju pada apa yang diusulkan oleh Panitia Kerja.

Alhasil, begitu menurut Tjipta Lesmana dalam buku Dari Sukarno Sampai SBY, Harmoko langsung didepak ke Kementerian Negara Urusan Khusus yang antah berantah itu. Harmoko yang dahulu rutin muncul di TVRI untuk memberikan pengumuman sesuai “petunjuk Bapak Presiden” kini hanya tinggal sejarah. Beliau wafat pada hari Minggu, 4 Juli 2021 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Selamat Jalan bapak Haji Harmoko.

Post a Comment for "MENGENANG SOSOK H. HARMOKO MANTAN MENTERI PENERANGAN RI"