CERPEN KEJAMNYA KEHIDUPAN
ilustrasi gambar menunggu |
Hari menjelang senja ketika Hakam berjalan di sepanjang pantai. Bunyi ombak yang memecah di pasir lembut seperti membelai hatinya yang rawan. Pikirannya seperti jauh melayang, melintas permukaan laut dan mengikuti angin menuju suatu tempat yang jauh. Di sana istri dan anak laki_laki berumur sembilan bulan, mungkin tengah termenung juga mengharap kedatangannya. Riyan dan ibunya, sudah sekian lama tidak dijemputnya.
Dua hari lalu ia sudah ingin meninggalkan kota yang pengap ini. Ingin menjenguk mereka, tetapi pekerjaan belum datang lagi dan itu berarti ia belum mempunyai pemasukan uang. Jangankan untuk diberikan kepada mereka yang menantinya di rumah, untuk ongkos saja pun tidak ada. Bahka sudah sekian kalinya ia terpaksa harus menebalkan muka berutang pada tukang warung di sebelah pondoknya.
"Bu, catat saja dulu," katanya setelah makan siang tadi, "nasi, ikan goreng...sudah tidak ada lagi."
Ia hanya melihat wajah memberengut pada diri perempuan warung itu. Ya, ia dapat memahami hal ini. Perempuan janda setengah baya itu pun tidak mempunyai modal besar. Kalau terlalu banyak orang yang berutang dan jangka waktunya lama, tentu ia akan pusing memutar roda perusahaannya.
"Apa yang kau renungi, Bung?" tiba_tiba terdengar suara mengejutkan.
Hakam menoleh, tampak Cecep sedang duduk di batang kayu, di atas pasir. Beberapa puntung rokok telah berserak dekat kakinya.
"Sini, duduk," kata Cecep lagi. "mau merokok ?" katanya sambil mengulurkan tangan.
"Tidak, aku sudah merokok tadi," Hakam berdusta.
"Ah, jangan jual mahal," Cecep mengejek, "aku tahu perutmu sudah beberapa hari ini tidak terisi dengan betul."
Hakam duduk diam_diam. Tidak menjawab. Ia sudah yakin begitu yang akan didengarnya dari Cecep. Teman sekampungnya itu memang lebih sering mempunyai uang daripada tidak. Akan tetapi uang itu diperolehnya bukan dengan cara baik.
"Cobalah rokok tidak halal ini. Barangkali rasanya lebih enak dari rokok halal," kata Cecep lagi,"kalau memang yang halal tidak ada.""Ah, kau ! Di kota ini kita tidak bisa hidup kalau tidak ulet. Dan keuletan kadang_kadang memaksa kita untuk melepas semua ukuran yang kita tahu" kata Cecep sambil menghembus asap rokoknya.
"Itulah yang aku tak mau."
"Dan begitulah kau jadinya. Kelaparan, perenung, padahal di kampung anak istrimu menunggu dari hasil kerjamu!"
"Ya, memang" kata Hakam memandang ke tengah laut, "aku sedang merenung, menimbang_nimbang apakah aku kembali saja bekerja di kampung seperti biasa, meski penghasilan tidak terlalu besar."
"Dan kemudian kita lapuk dimakan penghidupan yang menjemukan" ejek Cecep lagi, "Persoalannya, bukanlah kembali. Kita harus ulet."
"Huh ulet, katamu. Bukankah itu berarti kata lain untuk jahat dan tidak jujur ?" Hakam memandang tajam kepada teman bicaranya.
"Terserahlah. Yang jelas, aku punya uang, kapan waktu bisa makan enak, merokok, dan ha, ha mengapa harus melabuhkan diri hanya pada istri di kampung kalau di kota ini banyak sekali pelabuhan yang dapat kita singgahi dengan uang ?"
Cecep pergi setelah menginjak puntung rokok, meninggalkan Hakam yang masih termeneung.
Di dekat kakinya, puntung rokok berserakan. Dipikiranyan dua insan seolah melambai dan tersenyum manis. Hakam tersenyum. Ia sudah memutuskan.
Post a Comment for "CERPEN KEJAMNYA KEHIDUPAN"