Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

esai buat ayah

Conny Abdull

Ayahku bukan pelukis terkenal. Tetapi bagiku dia orang yang luar biasa, yang mempunyai daya rasa ke_enam yang tidak dimiliki oleh setiap orang. Dibuatnya di depan rumah semacam kolam dangkal dari batu sungai dan patung yang tidak jadi. Apapun yang disentuhnya tercipta manis dan sewajarnya, terutama karena aku tidak sedikit pun mewarisi bakatnya itu.

Dari kami berdua, adikku yang bungsulah yang berbahagia dapat berbicara melalui cat serta bahasa latin dari keahlian tangannya, krama dan aksara jawa tandingan para empu. 

Dari tangannya pulalah dua batu yang sederhana pun kelihatan amat layaknya jika dia yang meletakkan berjajar satu dengan lainnya di sudut kebun. Kadang_kadang ibuku membuang potongan alat dapur yang pecah atau usang. Mereka, ayah atau adikku; Michelle Clarache Caran Dache, mengumpulkannya dengan teliti di samping kandang itik. 

Dapat dibayangkan bahwa rumah kecil yang dari kayu itu tampak asri. Belum lagi kutengok di samping kanan kiri pekarangan ini. Lihat, sebuah topi tentara yang entah darimana asalnya, ia bertengger disela_sela rumput yang rata. Terasa muncul ia menampakkan diri paling depan karena warnanya yang dicat klasik coklat kemerahan. 

Atau di sudut lainnya, nampak olehku sebuah pohon yang terlihat akar_akarnya sengaja dibiarkan menyusuri kejar_mengejar tersusun rapih. Disusul pecahan gentong besar yang berselendang bali hitam putih kotak_kotak. Wow, ini surga berbentuk telaga. Rumpun bambu kuning dipojok itu seakan melambai_lambai tertiup angin. Menyapa setiap hembusan nafas penghuninya. Setiap waktu setiap detik memanjakan siapa saja yang memandangnya. 

Ayahku memajang beberapa lukisan kuno di dinding belakang. Seakan mencoba mengenang setiap peristiwa masa lampau yang ia lalui. Bukan hanya itu, Ayahkupun sering kudapati diam_diam memahami setiap peristiwa masa kini. Itu kuketahui saat dimana aku membicarakan tokoh anggota dewan. 

Ia bahkan pernah menceritakan bahwa anak anggota dewan yang aku bicarakan ternyata berguru melukis pada Ayah. Yah, Ia lah Shafa Salsabila anak dari wakil DPR Fadli zon. 

pondok sejuk tentram

Dan pada suatu hari yang baik, aku akan melihat munculnya sesuatu yang baru di kebun, dibangun dari sebuah periuk yang setengah hancur, senduk nasi yang usang atau batang sapu ijuk yang tak terpakai. Kami benar_benar mempunyai pondok yang sejuk temaram. Aku amat bangga olehnya. 

"Pantasnya ini dinamakan villa Seruni," pikirku dalam_dalam. 
Terima kasih ayah, diam_diam aku mengagumimu, swarandhika,-(29/01/21)

Post a Comment for "esai buat ayah "