Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tari Topeng, Sejarah Literasi yang Tertunda

Tari Topeng, Sejarah Literasi yang Tertunda

latihan tari keraton

Topeng Cirebon adalah topeng yang terbuat dari kayu yang cukup lunak dan mudah dibentuk namun tetap dibutuhkan ketekunan, ketelitian yang tepat, serta membutuhkan waktu yang tidak sebentar dalam proses pembuatannya. Bahkan seorang pengrajin yang sudah ahli pun untuk membuat satu topeng membutuhkan waktu hingga satu hari. Kayu yang biasa digunakan adalah kayu jarang . Topeng ini biasanya digunakan untuk kesenian tari topeng

Semua jenis topeng ini akan dikenakan pada saat pementasan tari topeng Cirebonan yang diiringi dengan gamelan. Tepeng Cirebon yang paling pokok ada enam, diantaranya yaitu :
  1. Panji, wajahnya yang putih bersih melambangkan kesucian bayi yang baru lahir
  2. Samba (Pamindo), topeng anak-anak yang berwajah ceria, lucu, dan lincah
  3. Rumyang, wajahnya menggambarkan seorang remaja
  4. Patih (Tumenggung), topeng ini menggambarkan orang dewasa yang berwajah tegas, berkepribadian, serta bertanggung jawab
  5. Kelana (Rahwana), topeng yang menggambarkan seseorang yang sedang marah
  6. Punakawan (pewayangan), topeng yang menggambarkan watak manusia, sederhana, penuh humor dan menghibur.
Dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia seperti mengenakan topeng, misalnya saja pada saat marah seperti sudah mengganti topeng berwajah ceria dengan topeng kemarahan. Kalau ada orang dewasa yang sikapnya kekanak-kanakan maka ia seperti sedang mengganti topeng dewasanya dengan topeng anak-anak.
Atau seringkali pementasan yang bertema humor, dibawakanlah topeng_topeng Punakawan sebagai watak menghibur.

Topeng Cirebon yang semula berpusat di Keraton-keraton, kini tersebar di lingkungan rakyat petani pedesaan. Dan seperti umumnya kesenian rakyat, maka Topeng Cirebon juga dengan cepat mengalami transformasi-transformasi. Proses transformasi itu berakhir dengan keadaannya yang sekarang, yakni berkembangnya berbagai “gaya” Topeng Cirebon, seperti Losari, Selangit, Kreo, Palimanan dan lain-lain.

Untuk merekonstruksi kembali Topeng Cirebon yang baku, diperlukan studi perbandingan seni. Berbagai gaya Topeng Cirebon tadi harus diperbandingkan satu sama lain sehingga tercapai pola dan strukturnya yang mendasarinya. Dengan metode demikian, maka akan kita peroleh bentuk yang mendekati “aslinya”. Namun metode ini tak dapat dilakukan tanpa berbekal dasar filosofi tariannya.

Dari mana filsafat tari Topeng Cirebon itu dapat dipastikan? Tentu saja dari serpihan-serpihan tarian yang sekarang ada dan dipadukan dengan konteks budaya munculnya tarian tersebut. Konteks budaya Topeng Cirebon tentu tidak dapat dikembalikan pada budaya Cirebon sendiri yang sekarang. Untuk itu diperlukan penelusuran historis terhadapnya.

Siapakah Empu pencipta tarian ini? Karena masyarakat Indonesia lama tidak akrab dengan budaya tulis, maka sesungguhnya pencetus tarian ini belum dapat ditelisik. Meskipun budaya tulis dikenal di Keraton-keraton Indonesia, tetapi tidak terdapat kebiasaan mencatat pencipta-pencipta kesenian, kecuali dalam beberapa karya sastranya saja. (baca; kisah sang maestro tari mimi Rasinah)

Post a Comment for "Tari Topeng, Sejarah Literasi yang Tertunda"