JARAN LUMPING
Sepuluh gadis penari berbusana merah dan celananya berpotongan sedikit di bawah lutut berjalan menuju parkiran Goa Sunyaragi. Semuanya berambut panjang tergerai, kain merah terikat di kepala sebagai penghias. Selendang berwarna hijau menyala tersampir di pinggang.
Setiap penari membawa anyaman bambu berbentuk kepala kuda dijepit dengan sebuah bambu panjang yang dilengkungkan, di ujung lain dijepitkan anyaman lain yang mengambarkan ekor kuda. Dicat warna hitam dan dihiasi rumbai-rumbai berwarna kuning.
Jaran Lumping tak hanya sekadar tarian, tapi ada filosofi di balik tampilan dan gerakannya. Setiap umat muslim hendaknya memiliki kebaikan yang tercermin dalam pikiran, perkataan, perilaku, atau perbuatan sehari-hari. Kacamata hitam yang dikenakan menyiratkan agar mata hati tidak tertutup oleh tipu daya dan hawa nafsu keduniawian yang akan menjerumus pada kesesatan.
Saat sedang tampil, ada kalanya beberapa penari menjadi tidak sadarkan diri. Sambil terus menari mereka akan memakan gabah, rumput, dan pecahan kaca —yang tentunya sudah disediakan oleh dukun, pawang, atau dalang pertunjukan.
Ketiga benda tersebut dikaitkan dengan ajaran-ajaran Islam yang mudah diterima oleh masyarakat kala itu. Gabah dikaitkan dengan ghibah atau membicarakan aib orang lain, hal yang dilarang dalam ajaran agama Islam. Sedangkan rumput atau suket dalam bahasa setempat dikaitkan dengan sukut (bahasa Arab yang berarti sifat malas), hal yang seharusnya tidak dituruti karena bisa merugikan diri sendiri. Sementara pecahan kaca atau beling diartikan sebagai eling. Dimaksudkan agar setiap manusia jangan sampai lupa diri, teguh dalam keimanan dan selalu ingat pada Sang Pencipta.
Demikian, semoga bermanfaat !
Post a Comment for "JARAN LUMPING"